Segenggam Tanah dan Air
Oleh: Prof Haedar Nashir
Tanah dan air anugerah Tuhan. Manusia lahir tak bermodal apa-apa. Anak cucu Adam hanya diamanati merawat dan mengolahnya selaku khalifah. Tugas utama memakmurkannya. Dilarang keras merusak dan menyalahgunakannya.
Sebagian orang menjadikan tanah dan air seolah sakral. Itulah tipe alam pikiran mitis, tulis C.A. van Peursen. Bagi yang berpikiran fungsional pragmatis, tanah dan air jadi objek uang, bisnis, dan eksploitasi tak berkesudahan.
Kadang paradoks. Tanah dan air yang sedikit dikeramatkan, yang luas dan aset vital malah diobral murah. Sekelompok kecil orang menguasainya melimpah. Rakyat banyak tak dapat jatah, sekadar jadi penonton himpunan bangunan megah.
Bagi petani, seonggok tanah dan air adalah nasib hidup. Mereka malah menjadi gurem, yang hidupnya dililit masalah. Ketika susah tak ada yang peduli, kecuali di pesta demokrasi saat suaranya diperlukan oleh para pemburu populisme. Sehabis itu dilupakan.
Di kota-kota besar sebagian anak bangsa tak bertanah dan tak berumah. Hidupnya nomaden di era modern. Jangankan sejengkal tanah, untuk dapat sesuap nasipun sangatlah susah. Bisa bertahan hidup merupakan sesuatu yang luar biasa.
Tanah dan air modal utama lahirnya tanah air. Tempat negara dan bangsa lahir, tumbuh, dan berkembang. Tanah air tidak lagi sekadar unsur fisik, tapi bernyawa kata Mr. Soepomo. Membangun pun tidak cukup ragawi, niscaya menyertakan jiwa. Sebab semegah apapun bangunan fisik, suatu saat akhirnya lapuk.
Tanah air Indonesia memiliki sumber nilai utama. Menurut Soekarno, “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung”. Itulah “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”.
Semoga seluruh warga dan elite bangsa menghayati tanah air itu bernyawa dan berfondasikan nilai utama Pancasila. Pancasila dalam kebijakan dan tindakan nyata, bukan jargon dan kemewahan retorika. Ketika alam pikir fungsional-pragmatis menguat, mudah-mudahan para aktor negara masih ada yang menghayati keberadaan tanah air. Sebagai satu kesatuan hidup yang berjiwa untuk kemakmuran bersama.
Jika tanah air dirawat dengan benar dan amanah tentu akan menjadi negeri nan jaya. Seperti harapan dalam lirik lagu Ibu Pertiwi: “Kulihat ibu pertiwi/Kami datang berbakti/Lihatlah putra-putrimu/Menggembirakan ibu/Ibu kami tetap cinta/Putramu yang setia/Menjaga harta pusaka/Untuk nusa dan bangsa.
Tanah air jangan bernasib buruk karena salah urus. Sekadar dibangun ragad fisiknya tanpa berjiwa. Apalagi dieksploitasi demi segala legasi. Seperti lirik perih bait awal lagu Ibu Pertiwi: Kulihat ibu pertiwi/Sedang bersusah hati/Air matanya berlinang/Mas intannya terkenang/Hutan gunung sawah lautan/Simpanan kekayaan/Kini ibu sedang lara/Merintih dan berdoa.
Jangan bikin Ibu Pertiwi lara karena tanah-airnya terkuras segala hasrat bermegahria. Tanah air itu ada pemiliknya, Dia Sang Khaliq. Manusia sekadar dititipi untuk memakmurkannya dan tidak boleh merusaknya. Hatta atasnama membangun, faktanya merusak (QS Al-Baqarah: 11). Tanah air dibangun mewah salah kaprah, buahnya nestapa dan musibah.
Setiap insan tak layak jemawa. Sebatas hamba di hadapan Kuasa-Nya. Hari ini kita perkasa, esok hari tak tahu nasib seketika. Sebagaimana peringatan Tuhan: “Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS Luqman: 34). La hawla wa la quwwata illa billah!