Majelis Dikdasmen Pertanyakan Landasan Filosofis Kurikulum Merdeka 

Kurikulum Merdeka 

Majelis Dikdasmen Pertanyakan Landasan Filosofis Kurikulum Merdeka

BANDUNG, Suara Muhammadiyah – “Lahirnya Kurikulum Merdeka tidak melalui alur logika yang terukur. Awalnya disebutkan bahwa Kurikulum 2013 perlu disederhanakan untuk menghadapi tantangan learning loss akibat Pandemi Covid-19, namun tiba-tiba muncul kurikulum yang samasekali baru,” ujar HR Alpha Amirrachman, MPhil, PhD, Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Alpha menyampaikannya pada Focus Group Discussion “Evaluasi Kurikulum 2013 dan Rencana Penerapan Kurikulum Baru dalam Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional” yang diselenggarakan Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) (15.03.2022).

Sementara dalam sambutannya, Ferdiansyah SE, MM, anggota Komisi X DPR RI, mengatakan bahwa dalam perencanaan kurikulum harus mengikuti prinsip-prinsip relevansi, efektivitas, efisiensi, kontinuitas dan fleksibilitas.

“Kurikulum harus relevan sesuai dengan karakteristik, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Harus juga efektif dan efisien di mana pelaksanaannya harus mudah dan praktis. Juga memliki sifat berkelanjutan antara satu jenjang pendidikan dengan tingkat di atasnya, juga harus fleksibel dapat menyesuaikan dengan karakteristik sekolah dan latar belakang siswa,” ujar Ferdiansyah.

Alpha mengakui memang terdapat kelemahan pada Kurikulum 2013, karena itu pembaharuan adalah keniscayaan, namun perlu ada kejelasan logika dan landasan filosofis yang jelas.

“Kurikulum Merdeka tidak memiliki landasan filosofis yang jelas,” tegas Alpha.

Menurutnya absurb bahwa pengembangan profil pelajar Pancasila yang merupakan program temporer kebijakan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi dijadikan tujun pendidikan nasional dan juga rancangan landasan utama kurikulum.

Ia juga menyoroti Kemendikbudristek yang memberikan pilihan-pilihan kurikulum namun lalu mengeluarkan kebijakan yang membuat sekolah hampir tidak punya pilihan kecuali menerapkan Kurikulum Merdeka. Menurut Alpha yang memungkinkan saat ini untuk menghadapi learning loss adalah menggunakan Kurikulum 2013 yang disederhanakan.

Alpha juga meyakini bahwa sekolah-sekolah penggerak yang menerapkan Kurikulum Merdeka berpotensi menjadi sekolah elit. Sekolah-sekolah yang tidak mampu melaksanakannya akan mengalami kesulitan untuk menerapkannya karena tidak punya sumber daya dan pendampingan yang cukup.

“Jikapun Kurikulum Merdeka dianggap berhasil, bisa jadi karena pendampingan dalam bentuk pelatihan dan pembiayaan pada Sekolah Penggerak, belum tentu karena kurikulumnya yang mumpuni,” ujarnya.

Alpha menyimpulkan bahwa sekolah-sekolah berbasis masyarakat memiliki kebebasan untuk mengambil langkah pragmatis dalam memiliih kurikulum yang tepat, namun tetap perlu memiliki kemampuan mitigasi dalam implementasinya. Sebagai sekolah berbasis masyarakat yang memiliki kekhasan perlu tetap jelas dan jernih dalam hal visi dan nilai-nilai utama yang diperjuangkan, pungkasnya.

Dalam diskusi terpumpun ini turut menjadi narasumber Pakar Kurikulum Prof Dr Saad Hamid Hasan, MA, Pakar Kurikulum/Ketua Prodi PPG SPs UPI Prof Dr Din Wahyudin, MA, Peneliti Hukum Pendidikan Prof Dr Ceep Darmawan, SPD, SIP, SH, MH, MSi UPI dan Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia Dr. Indra Charismiadji.

Bertindak sebagai moderator Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan dan Pendidikan Kedamaian, LPPM UPI Dr Syaifullah, SPd MSi.

Exit mobile version