PALEMBANG, Suara Muhammadiyah – Jika waktu itu KH. Ahmad Dahlan tidak mensetujui usulan KH. Syuja’ yang saat itu mengetuai Majelis Penolong Kesengsaraan Umum (MPKU) untuk mendirikan rumah miskin, rumah yatim, hingga rumah sakit karena merasa belum mampu, tentu tidak akan kita temukan rumah sakit Muhammadiyah unggulan yang berdiri hampir di setiap daerah. Dengan kualitas yang tak kalah jika dibandingkan dengan rumah sakit lain milik pemerintah maupun swasta.
“Untungnya KH. Ahmad Dahlan memiliki pemikiran yang visioner sehingga usulan KH. Syuja’ tersebut disetujui. Itulah kenapa dalam teori kepemimpinan menyebutkan bahwa pemimpin yang baik adalah yang memiliki mimpi besar dan meyakini mimpi tersebut akan tercapai,” ungkap Agus Taufiqurrohman dalam agenda Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan tema “Transformasi Pembangunan Kesehatan Semesta: Tantangan Bagi Muhammadiyah” yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Palembang (24/3).
Sehingga pada tanggal 13 Januari 1920 berdirilah rumah miskin dan rumah yatim pertama atas usulan KH. Syuja’ yang disetujui langsung oleh KH. Ahmad Dahlan. Tak perlu waktu lama, rumah miskin dan rumah yatim yang digagas Muhammadiyah pun mulai menyebar luas hingga ke Papua. Meski dalam proses mewujudkannya banyak orang yang pesimis dan tak jarang juga mencemooh. Setelah tiga tahun berselang, pada tanggal 15 Februari 1923, poliklinik Muhammadiyah yang pertama pun berdiri di Yogyakarta, tepatnya delapan hari sebelum KH. Ahmad Dahlan meninggal. Dan setahun berikutnya disusul dengan berdirinya poliklinik Muhammadiyah kedua di Surabaya yang dipelopori langsung oleh dr. Sutomo.
Ketua Pimpinan Pusat yang membawahi Majelis Penolong Kesengsaraan Umum (MPKU) itu pun menjelaskan alasan dr. Sutomo mendirikan klinik bagi Muhammadiyah pada tahun 1924, yaitu atas asas kepedulian untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada siapa pun, tak terkecuali bagi mereka yang miskin. Dalam sekelumit pidatonya, dr. Sutomo pernah berkata, “Besok pagi akan kita buka poliklinik Muhammadiyah di Surabaya. Siapa pun juga, baik orang Eropa, baik orang Jawa, baik orang China atau orang Arab boleh datang kemari dan akan kita tolong dengan cuma-cuma, asalkan benar-benar miskin. Kami mengharap tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian mendukung berdirinya poliklinik ini.” Inilah yang menjadi ciri khas pelayanan kesehatan di Muhammadiyah yang menurut dr. Sutomo sangat menarik. Memberikan pelayanan kepada siapa pun tanpa memandang status sosial di masyarakat.
Agus menegaskan bahwa dalam pelayanannya Rumah Sakit Muhammadiyah harus memihak kepada dhuafa. Hal tersebut sejatinya telah tertuang dalam nilai utama PKU yang dirumuskan oleh KH. Ahmad Dahlan dan KH. Syuja’, di antaranya inklusif (terbuka untuk siapa pun), welas asih (kasih sayang), pro dhuafa (berpihak kepada orang miskin), berkemajuan (unggul namun tetap terjangkau), dan islami (tanpa melihat agama, suku atau golongan, Muhammadiyah tetap melayani dengan prinsip Islam).
“Pelayanan kesehatan yang islami itu bukan sekedar bertumpu pada pengobatan yang menggunakan madu dan habatussauda. Ilmu kedokteran modern juga menerapkan prinsip pelayanan kesehatan yang islami karena pencetusnya adalah seorang dokter Muslim yaitu Ibnu Sina. Beliau juga disebut sebagai bapak kedokteran modern oleh para ilmuwan di Barat,” jelasnya.
Agus menambahkan bahwa selain aspek fisik, pelayanan kesehatan di Muhammadiyah juga memperhatikan aspek penting lainnya seperti mental dan spiritual. Aspek-aspek tersebut juga menjadi media dakwah bagi Muhammadiyah dalam menyebar luaskan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Sebagaimana Rasulullah juga memberikan perhatian yang besar kepada kesehatan yang mencakup ketiga aspek di atas melalui sebuah hadist “Lima perkara sebelum lima perkara”. Di point ketiga beliau mengingatkan kepada umatnya tentang mahalnya harga sebuah kesehatan, Ingat sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Di dalam Al-Qur’an, Allah pun juga berfirman, Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS. Al-Maidah: 32).
“Bagi Muhammadiyah, urusan kesehatan merupakan bagian dari jihad kemanusian. Yang menjadi pertanyaan adalah, kesehatan yang seperti apa? Kesehatan yang dimaksud oleh Muhammadiyah adalah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 36 tahun 2009, yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis,” ujarnya.
Di akhir paparannya, Agus mengungkapkan, dalam buku berjudul Muhammadiyah Membangun Kesehatan Bangsa disebutkan bahwa salah satu semangat Muhammadiyah dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat adalah untuk mewujudkan kesehatan baik secara fisik maupun jiwa. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena keduanya memiliki peran yang saling terkait dalam menopang kesehatan manusia secara umum. (diko)