Komitmen Bersama Menangkal Islamophobia

15 Maret Hari Internasional untuk memerangi Islamophobia

Islamophobia

Komitmen Bersama Menangkal Islamophobia

15 Maret Hari Internasional untuk memerangi Islamophobia

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketakutan terhadap Islam atau semangat anti Islam nampaknya terus berkembang di berbagai sudut bumi. Kendati bukan hal baru—bahkan telah ada sejak zaman Rasulullah, ketika banyak kaum Quraisy yang menentang ajaran Islam—fenomena islamophobia terus berkembang hingga saat ini. Lebih-lebih saat peristiwa serangan 11 September 2001 menggemparkan berbagai belahan dunia.

Imbasnya fenomena islamophobia semakin memuncak. Banyak fenomena menegaskan hal tersebut. Sebut saja penembakan masjid Christchurch di Selandia Baru yang turut menambah rentetan panjang dari fenomena semangat anti Islam tersebut. mengecam berbagai tindakan tersebut, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan Organization of Islamic Cooperation (OIC) melalui perwakilan yang ada di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menengarai berbagai langkah. Hasilnya, PBB menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk memerangi Islamophobia (International Day to Combat Islamophobia), sebagai salah satu langkah dalam menangkal islamophobia.

Meskipun demikian, bukan tidak mungkin semangat anti Islam akan semakin berkembang jika tidak dibarengi oleh kerja kolektif antar berbagai elemen, terutama dalam mengimplementasikan resolusi PBB tersebut.

“Sehingga mau tidak mau kita harus menyambut dan penuh komitmen untuk mengimplementasikan resolusi PBB ini, supaya tidak hanya sekedar menjadi dokumen yang tidak bernyawa, tetapi betul-betul hidup di dalam kehidupan kita, baik dalam kehidupan bernegara, berbangsa, maupun dalam kehidupan bermasyarakat.” Tegas Prof Dr H Syafiq A Mughni MA dalam Webinar Internasional yang diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Luar Negeri bekerja sama dengan Majelsi Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada Rabu (30/3).

Dalam Webinar bertajuk “Turn Back Islamophobia: Pengarusutamaan Moderasi untuk Menangkal Islamophobia” Syafiq menyarankan dalam langkah implementasi terhadap dokumen PBB tersebut, penting untuk memiliki kesamaan tentang definisi islamophobia sehingga peristiwa yang terkait dengan islamophobia tidak disalahartikan oleh kelompok tertentu.

“Nah oleh karena itu di dalam rangka implementasi ini, saya kira sangat penting kita memiliki definisi, ada kesamaan pengertian, sebab kalau tidak ada konsensus tentang definisi islamophobia, maka tentu orang bisa membikin judgement terhadap peristiwa apapun yang sesungguhnya tidak termasuk kategori islamophobia, tetapi dimasukkan atau justru sebaliknya yang seharusnya dipandang sebagai islamophobia tapi kemudian itu tidak dianggap. Sehingga secara nasional maupun secara internasional saya kira perlu kita memahami, atau memiliki pandangan kriteria islamophobia itu, indikasi dari islamophobia itu apa saja, sehingga bisa melakukan tindakan bersama-sama untuk memerangi itu.” Saran Syafiq.

Hal yang perlu dipikirkan ulang sebagai langkah menangkal islamophobia menurut Syafiq adalah pertama definisi tentang fight against islamophobia dan fight for wasatiah. Kedua hal tersebut perlu definisi yang jelas agar dapat menjadi pegangan bagi negara maupun masyarakat.

“Ada konsolidasi internal yang perlu dilakukan dalam rangka dua-duanya itu. Fight against islamophobia dan fight for wasatiah. Dalam segi ajaran, kita tentu harus mengajarkan Islam yang autentik, Islam yang benar, Islam yang benar-benar rahmatan lil’alamin.” Tandas Syafiq.

Kedua, faktor yang perlu didefinisikan ulang adalah sejarah. Hal ini penting dalam memberikan kesadaran kepada masyarakat. Sebab jika tidak, peristiwa sejarah terutama pada zaman awal Islam, akan terus menjadi sumber yang dapat menumbuhkan bibit kebencian dalam hubungan antar umat beragama.

“Perang-perang yang pernah terjadi mungkin akan dijadikan sebagai justifikasi sejarah, bagaimana kita harus membenci orang lain dan tidak akan ada saling percaya diantara itu. Karena itu maka sikap semacam ini kalau terus ditanamkan maka akan menjadi sumber ketegangan diantara, umat beragama ini.” Antisipasi Syafiq.

Ketiga, menurut Syafiq perlunya pemikiran tentang bagaimana implementasi di lapangan tentang resolusi dari PBB tersebut, meliputi negara dan juga masyarakat. Negara dengan berbagai kebijakan, perangkat hukum untuk mendorong baik islamophobia maupun persoalan wasatiah dapat diutamakan. Sehingga mencapai tujuan yang sama-sama telah diperjuangkan oleh Negra-negara OKI. Sementara peran masyarakat baik tokoh-tokoh agama, lembaga-lembaga agama dapat berperan penting dalam menanamkan wasatiah sekaligus menghilangkan salah satu faktor dari munculnya islamophobia di masyarakat.

Dalam mengimplementasikan dua isu tersebut—fight against islamophobia dan fight for wasatiah—menurut ketua PP Muhammadiyah itu penting untuk dilakukan pada dua level. Yaitu level nasional dan internasional. Pada level nasional, gerakan tersebut penting demi menumbuhkan kehidupan yang damai diantara masyarakat sehingga persoalan-persoalan politik identitas, baik agama, suku, kemudian ujaran kebencian, hingga penistaan dapat dihilangkan.

Tidak cukup hanya pada level nasional, syafiq merasa perlu menunjukkan partisipasi dalam kancah internasional. Hal ini dapat didukung oleh berbagai lembaga baik negara, non negara hingga berbagai institusi yang dapat memperkokoh resolusi tersebut.

“Maka saya kira ini akan bisa memberikan sumbangan, mengangkat harkat, derajat, nasib, dan situasi masyarakat muslim di berbagai negara baik itu di asia selatan, di asia tenggara, di eropa, di amerika, dan tempat-tempat yang lain yang mau tidak mau karena ini sudah menjadi isu yang ada di depan mata, tentu kita harus punya gerakan untuk bisa memperkokoh keinginan untuk menghilangkan islamophobia dan memperkuat sekaligus wasatiyah Islam ini.” Harap Syafiq Mughni. (dandi/rpd)

Exit mobile version