Iman, Kesalihan dan Kekuasaan

iman

Foto Dok Ilustrasi

Iman, Kesalihan dan Kekuasaan

Oleh: Berlian Ayu Rahmawati

Janji Allah Swt kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh adalah mendapatkan kemenangan dalam bentuk kekuasaan. Dengan kekuasaan tersebut Islam mengubah kehidupan manusia kepada tingkat moral, sosial, pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Hal itu berdasarkan pada nilai-nilai, hukum, norma, moral keimanan, bersikap terbuka, demokratis, menghormati keberagaman, dan bekerjasama menjaga keutuhan Negara.

Sebagaimana yang tertuang pada firman Allah Swt QS. An-Nuur ayat 55: Artinya: Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Dalam ayat  di atas, kekuasan bagi seorang muslim memiliki relasi yang kuat dengan keimanan dan kesalihan. Karena tidak akan tercipta kekuasan yang penuh keberkahan Tuhan tanpa dua hal tersebut. Maka tidak heran bila buya Hamka menempatkan akidah sebagai bagian yang peling penting bagi kehidupan seorang muslim, termasuk pada persoalan kepemimpinan.

Menurut Buya Hamka akidah adalah ajaran yang sangat besar pengaruhnya untuk menggembleng jiwa sehingga kuat dan teguh. Kebebasan jiwa,kemerdekaan,pribadi dan hilangnya rasa takut menghadapi segala kesusahan hidup, keberanian menghadapi segala kesulitan, sehingga tidak berbeda diantara hidup dan mati, asal untuk mencari ridha Allah, bahkan boleh dikatakan bahwa akidah itu adalah pembentuk tujuan hidup yang sejati bagi manusia.

Buya Hamka juga menjelaskan bahwa akidah adalah roh agama Islam dan intisarinya dari seluruh peribadatan, bahkan boleh dikatakan bahwasahnya akidah telah memberi cahaya sinar benderang dalam hati pemeluknya, dan memberi cahaya dalam otak sehingga segala hasil yang timbul daripada amal dan usahanya mendapat cap “Tauhid”. Hapuslah segala perasaan terhadap kepada yang lain, yang bermaksud mensucikan dan mengagumkan sang maha pencipta.

Dalam islam, sSebagaimana pendapat Ibnu Katsir, kepemimpinan dikenal dennga ulil amri yang bermakna umum, baik umara’ maupun ulama. Sedangkan menurut Ar-Razi bahwa lingkup penegertian ulil amri lebih luas yaitu ahlu al-halli wa al-‘aqdi dari kaum muslimin, dan mereka adalah umara’ (pemerintah) dan hukama’ (penguasa), ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat.

Oleh yang demikian, cakupan ulil amri pada masa sekarang adalah mulai dari pemegang kekuasan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas. Selain itu juga ulil amri mencakup para ulama, baik perorangan ataupun kelembagaan, seperti lembagalembaga fatwa dan semua pemimpin masayarakat dalam bidangnya masingmasing.

Dalam konsep ulil amri sebagai perspektif kepemimpinan dalam Islam tergambar pada firman Allah Swt didalam Surat An-Nisaa’ ayat 58 -59: Artinya: 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Artinya: 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Penafsiran Buya Hamka pada ayat 59 menjelaskan ketaatan terhadap pemimpin yang tidak melebihi ketaatan kepada Allah dan RasulNya, artinya jika tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul, ketaatan kepada ulil amri bersifat wajib. Kemudian dalam menentukan ulil amri, atau bagaimana memilihnya, Buya Hamka tidak menyebutkan secara jelas rincian prosesnya, menurut Buya Hamka cara memilih atau menunjuk seorang ulil amri diserahkan kepada masyarakat atau rakyat bagaimana baiknya, atau mengikuti keadaan hukum yang berlaku. Pokok yang diharapkan Buya Hamka adalah tegaknya amanah kepada yang berhak atau memiliki keahlian (Imron Al Faruq, 2019).

Pemerintah, kepala Negara ataupun pemimpin selalu berhadapan dengan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok. Tugas utama pemimpin adalah mengatur perbedaan kelompok tersebut dengan baik. Jika pemimpin tidak bisa mengatur dengan baik maka akan menyebabkan suatu kehancuran. Namun sebaliknya jika pemimpin dapat mengatur perbedaan tersebut dengan baik maka akan mencipatakan kehidupan yang harmonis. Islam mengatur segala aspek kehidupannya berdasarkan dengan ketetapan dan ketentuan Allah Swt, tidak terkecuali dalam aspek kepemimpinan. Oleh yang demikian, prinsip kepemimpinan Islam yang berdasarkan AlQur’an akan menumbuhkan Negara dengan pondasi yang kuat serta membawa kepada keharmonisan beragama dan kemanan sosial bermasyarakat asalkan memenuhi dua kriteria, iman dan shalih.

Berlian Ayu Rahmawati, Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

 

 

Exit mobile version