Prof Haedar Nashir: Membumikan Semangat Belajar Teologi Al-Insyirah
SURABAYA, Suara Muhammadiyah –Dalam menyemarakkan bulan suci Ramadan tahun 1443 Hijriah/ 2022 Miladiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menyelenggarakan Kajian Ramadan di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ahad (3/4/22). Turut hadir dalam acara tersebut, yakni Ketua dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah (Prof Dr H Haedar Nashir, MSi dan Prof Dr H Abdul Mu’ti, MEd), Ketua PP Muhammadiyah (Prof Syafiq A Mughni, MA., PhD), Ketua dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (Dr M Saad Ibrahim dan Dr M Sulthon Amien), Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (Dr dr Sukadiono, MM), dan Gubernur Jawa Timur (Dra Hj Khofifah Indra Parawansa, MSi).
Prof Haedar menyeru kepada umat Islam untuk merefleksikan diri ihwal QS al-Insyirah. Baginya surat ini sebagai cara pandang, perspektif, atau paradigma yang merujuk pada Islam. Dan juga menarik untuk menyikapi kehidupan yang tidak selalu satu warna (verbal).
Pada saat yang sama, Prof Haedar menekankan surat ini bisa dijadikan paradigma untuk menyikapi denyut nadi kehidupan masa kiwari. Mengenai dekomposisi surat kondang ini, dia menekankan bahwa dibalik kesulitan itu niscaya ada kemudahan. Menurut At-Thobari dan Ibnu Katsir merujuk pada suatu hadis dikatakan, “Jika kesulitan itu masuk ke lobang terdalam, kemudian kemudahan akan selalu menyertainya.”
Kata Prof Haedar, “Dari surat al Insyirah ini kita belajar tentang the Islamic Worldview pandangan dunia Islam tentang kehidupan yang satu elemennya adalah bagaimana orang Islam memahami makna kesulitan dengan segala macam manifestasinya berupa masalah, musibah, termasuk pandemi kita, bencana alam dan ada musibah-musibah di mana kita ikut berperan menciptakan musibah ini”, ujarnya dalam Kajian Ramadan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Ketika musibah telah terjadi, terkadang kita gagal menghadapinya. Kita ambil contoh persoalan besar Covid-19. Sampai detik sekarang, boleh jadi di antara kita juga tetap saja tidak mau menarik peristiwa pandemi ini pada dimensi yang utuh, luas dan multidimensi.
Sebut saja narasi jumud yang menyederhanakan begitu rupa argumentasi, “Masa sih takut sama Corona, harusnya takut kepada Allah”. Ada jua yang paling parah, “Pandemi ini sebagai azab (hukuman) Allah atas dosa-dosa manusia. Ini bagian dari strategi mendangkalkan iman, dan seterusnya.
Argumentasi ini terlihat benar, tetapi sesungguhnya mengalami falsifikasi dalam Teori Filsafat, yakni kekeliruan yang dibangun di atas premis yang benar, tetapi sesungguhnya salah. Di mana letak kesalahannya? Yaitu tasabuh, menisbahkan ketakutan kita pada pandemi sebagai ciptaan Allah dengan ketakutan kita pada Allah yang dimensinya berbeda.
“Di sini, kita seyogianya harus belajar teologi Insyirah itu saya menyampaikan di iftitah Tanwir tahun 2021, karena ingin menghadirkan bahwa kita perlu alat bantu yang bersifat sakral, suci, yakni Al-Quran di dalam realitas kehidupan. Cuman memerlukan pemahaman yang mendalam. Yang kemudian saya sebut disitu bahwa pandemi Covid-19 dan realitas kehidupan yang berat itu coba kita candra, yaitu cara kita mengkaji lalu mencakup dan kita elaborasi dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang selama ini kita sering memahami di dalam itu,” tambahnya. (cris/rpd)