Fikrah Pribadi Islam yang Mencerahkan
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pribadi Islam yang mencerahkan adalah pribadi yang memiliki karakter dan sikap keislaman yang mendorong seseorang untuk berperilaku yang menimbulkan suasana cerah, nyaman, dan damai dalam hubungan sosial. Ekspresi pribadi Islam yang mencerahkan berpijar pada proses menghormati harkat dan martabat kemanusiaan, menebarkan rasa kasih sayang, mendorong pemberdayaan dan kemajuan masyarakat, saling menghargai kemajemukan, dan suka memajukan kehidupan umat manusia.
Bagi pandangan Dra. Susilaningsing, MA, pribadi Islami yang mencerahkan bersumbu pada rasa saling mencintai dan menghargai. “Pribadinya jua memiliki karakter dan sikap keislaman yang mendorong diri manusia untuk berperilaku yang menimbulkan suasana cerah, nyaman, dan damai dalam hubungan sosialnya”, demikian ujarnya dalam acara Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kamis, 7 April 2022 M / 6 Ramadhan 1443 H.
Lebih mendalam, Susilaningsing membentangkan peran dan kontribusi dari keluarga sebagai nakhoda pembentukan pribadi Islami. Diantaranya, Pertama, Keluarga memiliki peran sentral dalam proses pembentukan dan pengembangan pribadi Islami yang mencerahkan. Kedua, Keluarga perlu memiliki pemahaman tentang esensi dari kepribadian Islam yang mencerahkan, proses dan karakter perkembangan usia anak dan remaja, strategi yang tepat. Ketiga, Keluarga harus mampu memahami dan mengantisipasi terhadap adanya penghambat perkembangan pribadi Islami bagi anak dan keluarga, serta mampu menemukan jalan keluarnya.
Memasuki era digital dan disrupsi ini, agaknya memberikan banyak manfaat bagi kehidupan, akan tetapi banyak juga dampak negatif bagi perkembangan anak dan remaja. Diantaranya mendorong dirinya asyik dengan dunia dalam media sosial yang dapat mendorong bersikap individualis. Sekaligus kemampuan orangtua dalam memilah dan memilih antara manfaat dan penghambat media sosial sangat diperlukan agar perkembangan pribadi Islami yang mencerahkan pada anak dan keluarganya tidak terhambat.
Dalam Al-Quran, telah eksplisit terlukiskan ihwal dasar teologis peran orangtua dalam konteks ini. Yakni QS at-Tahrim [66]: 6, Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Dan hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (potensi berislam). Kemudian kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan anak itu sebagai Yahudi, Nashrani, atau Majusi”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah R.A.).
Pengejawantahan konstruksi kepribadian Islam, seyogianya perlu melongok kembali kepada dasar-dasar yang tentunya harus bersumber dari fitrah KeIslaman. Nah, potensi fitrah itu sebagai kemampuan yang dibawa sejak lahir yang belum nyata bentuknya, dapat dikembangkan menjadi kemampuan riil, merupakan karunia Allah Yang Maha Pemurah, sebagai modal untuk menjalani kehidupan di bumi, sebagai khalifatullah fil ardh, untuk mengelola kehidupan sosial dan kelestarian alam. Potensi kemanusiaan dalam Al-Quran mewujud pada spritualitas Ilahiyah-Tauhidiyah (QS al-A’raf [7]: 172), Abdiyah (beribadah/menghamba) hanya kepada Allah (QS adz-Dzariyat [51]: 56), dan khalifiyah (pengelola bumi seisinya yang senapas dengan QS al-Baqarah [2]: 30.
Karena itu, “Dasar-dasar kepribadian Islam harus beriman (bertauhid) dan beribadah kepada Allah. Kemudian sensitifitas sosial dan kasih sayang pada sesama dan kemampuan mengelola kebutuhan biologis/material dan mengendalikan dorongan ketamakan (greediness & egoistic). Ketamakan adalah sumber dari sifat dan sikap ingin menang sendiri, merasa benar sendiri, dan suka mendiskreditkan orang lain”, tandas Susilaningsing.
Dalam misi pembentikan pribadi Islam dalam berkeluarga, Susilaningsih menawarkan pelbagai ramuan yang kiranya dapat diejawantahkan oleh orangtua. Pertama, Pemberian nilai-nilai Islam yang benar/lurus (bersumber dari Al-Quran dan Hadis Shahih atau Hasan), tepat usia. Kedua, Sikap dan perilaku kedua orangtua sebagai model/contoh. Ketiga, Pendekatan kasih sayang dalam proses mendidik.
Keempat, Proses pengasuhan yang tepat. Kelima, Pendampingan ayah/ibu pada waktu-waktu tertentu baik untuk usia anak maupun remaja. Keenam, Suasana keluarga yang harmonis. Ketujuh, Pemilihan lembaga pendidikan yang tepat. Kedelapan, Pemilihan kawan sebaya dalam pergaulan. Kesembilan, Terhindar dari pengaruh negatif dari lingkungan dan media sosial.
Selain itu, dibutuhkan cara pengendalian tumbuh kembang yang bersifat egoistik. Diantaranya meliputi “Hindari pola asuh permisif, banyak bersosialisasi dengan kegiatan memberi dan berbagi. Biasakan memuji dan menghargai orang lain. Biasakan meminta maaf kalau bersalah. Kembangkan rasa empaty dan kasih sayang antar teman. Memberikan pujian kepada anak sekadarnya saja, dan tidak membanding-bandingkan. Sikap dan perilaku orangtua sebagai model,” tukas Susilaningsih.
Mengakhiri acara Pengajian Ramadhan ini, Susilaningsih mengingatkan bahwa “Era digital dan disrupsi telah merambah dalam kehidupan keluarga. Pembinaan keluarga sakinah kiranya perlu diintensifkan oleh semua pihak melalui berbagai forum agar terhindar dari dampak negatifnya”, tutupnya. (Cris).