Tadayyun Ihsani dalam Membendung Krisis Spiritual
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pergolakan kehidupan akan selalu menghadapi perubahan, gejala zaman akan selalu berganti, fenomena akan selalu beralih, akan tetapi esensi dari zaman itu akan selalu sama. Maka para ahli hikmah (hukama’) mengatakan bahwa waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Mufassir Sayyid Qutub rahimahullah menerangkan bahwa surah Al-Asr mengajarkan suatu sistem yang komprehensif, tentang kehidupan umat manusia yang ideal dalam Islam. Dalam surat tersebut, sangat jelas rambu-rambu persepsi keimanan dengan hakikannya yang besar dan menyeluruh, dalam suatu gambaran yang sangat jelas dan detail.
Lebih jauh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa kerugian dan kehancuran menjadi risiko semua manusia. Kecuali mereka yang memegang teguh prinsip keimanan dalam hatinya serta melakukan amal kebajikan dengan organ fisiknya.
“Dengan kata lain aktualisasi yang selaras antara kesalehan individu dan kesalehan sosial” Lengkap KH Fathurrahman Kamal LC MSI dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1443 H pada Kamis (7/8).
Melalui materinya bertajuk “Membangun Tadayyun Ihsani dalam Keluarga di Era Disrupsi” Fathurrahman menuturkan bahwa diksi Al-Ashr adalah penghujung waktu siang dimana manusia beraktivitas mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Termasuk sebuah pesan moral bahwa waktu ini akan segera berakhir. Ketika berbicara tentang zaman lanjut Fathurrahman, apapun dialektika yang terjadi dalam sejarah, yang hakiki dalam pandangan keimanan kita adalah asrul iman wal Islam (masa keimanan dan keIslaman). Sebaliknya bukan masa di mana ada hegemoni peradaban materialistik, termasuk bukan pula zaman teknologi maupun digital.
Kiai Jazuli Murid KH Ahmad Dahlan yang juga guru Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah tahun 1926 – 1956 pernah mengisahkan bahwa “Berbulan-bulan Kiai Dahlan mengajarkan surah Al-‘Ashr, sebelum mengajarkan suah Al-Ma’un yang tidak kurang dari tiga bulan lamanya.” Kenang Fathurrahman.
berdasarkan semangat surah Al-Ashr tersebut, terdapat pesan moral tentang dinamika zaman. Lengkapnya tidak cukup hanya dengan ma’rifatullah, dan ma’rifaturrasul. Akan tetapi masyarakat juga penting untuk memiliki kesadaran tentang ma’rifatuzzaman.
“Dinamika zaman ini harus diketahui” tambahnya.
Menegaskan pentingnya mengetahui zaman, Fathurrahman mengisahkan bahwa dalam kisah Huszaifah Ibnul Yaman pernah bertanya kepada Rasulullah tentang keburukan zaman, sementara yang lain bertanya tentang kebaikan. Kisah tersebut menunjukkan bahwa dalam menghadapi perubahan zaman, hal cukup pelik untuk diketahui adalah tidak hanya tentang hal positif dari zaman, tetapi juga hal negatif.
Buku Muhammadiyah abad ke-dua telah banyak mengaskan berbagai hal buruk dari zaman sekarang ini. Beberapa diantaranya menerangkan bahwa masa sekarang ini adalah masa simulakra. Yaitu zaman serba simulasi. Sehingga sukar membedakan peristiwa yang sesungguhnya, dengan peristiwa sandiwara belaka. Fenomena cyber-world/ cyber-connected yang mempengaruhi pola hidup manusia sehinga menyebabkan tekanan mental dan disorientasi. Tidak ketinggalan pada abad ke-21 berkembangnya fenomena post-modern society, post-industrial society, rasionalitas, objektifitas, iptek, teknologi informasi hingga kapitalisme global. Kritik dan dekonstruksi ideologi hingga agama; serta berkembangnya alam pikiran humanisme-sekuler, ateisme, nihilisme, dan sekularisme.
Tidak berakhir sampai di situ, fakta bahwa Muhammadiyah memiliki pandangan futuristik yang luar biasa juga dapat ditemukan dalam “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad” (Zhawahir al-Afkar al-Muhammadiyyah Abra Qarn min al-Zaman) salah satu buah dari Muktamar ke-45 Muhammadiyah di Malang tahun 2005.
“Saya kira hari ini kita perlu muhasabah, jadi kalau kita belum melakukan sesuatu, saya mengajak saudara semua untuk bertaubat hari ini. Karena Muhammadiyah telah mengarahkan kita. Jadi kalau sekarang umat kita mengalami hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan mereka, karena kita tidak mengambil langkah-langkah antisipatif, saya kira kita masuk pada bagian hadits, pemimpin itu akan bertanggung jawab pada siapa yang dipimpin.” Sesal Fathurrahman.
Kehidupan modern telah melahirkan antitesis post-modern dengan laku hidup yang serba bebas (supra-liberal), serba boleh (anarkis), dan juga serba menafikan ninai (nihilisme). Ihwal ini menimbulkan peluang semakin terbukanya kemungkinan anti-agama (agnostisisme) dan anti-Tuhan (ateisme) secara sistematis.
Demikian halnya dengan demokrasi, kesadaran hak asasi manusia, hingga emansipasi perempuan telah membawa perubahan. Beberap diantaranya seperti kebebasan yang melampaui batas, dan juga egoisme yang serba liberal telah memusnahkan relasi-harmoni antar manusia.
Kehidupan masyarakat terjebak pada egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawad), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawat), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasah). Berbagai dinamika kehidupan tersebut, telah menggeser nilai-nilai autentik (fitri) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat.
Pada tataran ruang lingkup dunia, globalisasi melahirkan sikap ekstrimisme baru, fanatisme agama tak terkendali, primordialisme etnik dan kedaerahan semakin mengokohkan sekat kehidupan antar sesama. Lebih parah, fenomena neoliberalisme dan kapitalisme global hanya berpihak pada kaum borjuis. Sementara hak-hak kaum dlu’afa dan mustadl’afin semakin dinistakan.
Kembali mengutip dokumen resmi Tanfidz Muktamar Muhammadiyah ke-46 tentang Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, KH Fathurrahman menjelaskan bahwa Kehidupan masyarakat modern abad ke-21 menunjukkan kemajuan yang luar biasa terutama di bidang pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aspek-aspek lainnya yang mengantarkan manusia di planet ini berada dalam peradaban yang tinggi. Namun bersamaan dengan itu, terjadi kecenderungan hidup yang serba ekstrem, yang melahirkan krisis kemanusiaan modern.
Manusia modern mengalami lost of soul (kegersahan ruhani), disorientasi makna, anomali (penyimpangan moral dan sosial), kekerasan, dan future shock (kejutan masa depan). Masalah-masalah tersebut timbul sebagai akibat dari orientasi hidup yang serba rasional-instrumental, yang melahirkan manusia serba modular dan kehilangan makna-makna ruhaniah yang autentik.
Bersamaan dengan itu, kebudayaan modern memiliki sisi negatif berupa penghambaan yang berlebihan terhadap materi (materialisme), kesenangan indrawi (hedonisme), dan peniadaan nilai-nilai (nihilisme).
Berbagai fakta dari era ketercerabutan di atas mengindikasikan suatu fakta bahwa era tersebut akan merubah apapun. Juga menegaskan bahwa tidak seorang pun yang kebal terhadap perubahan tersebut. sehingga hanya ada dua pilihan.
“Hanya ada pilihan apakah kita mau berubah, atau yang kedua adalah kita punah. Kita eksis sebagai infrastruktur, tetapi kemudian hampa dari pada kebersamaan umat.” Tambahnya.
Perubahan apa yang terjadi?
Menukil Prof Dr Iswandi Syahputra MSi, Fathurrahman menyebutkan bahwa era ketercerabutan sekali lagi telah melahirkan peradaban baru. Salah satunya media baru (new media). Media baru telah membawa perubahan dalam berbagai sektor. Termasuk pada aspek spiritual dan moral. Aktivitas keagamaan, termasuk relasi sosial mengalami perubahan drastis melalui media internet.
Termasuk otoritas keulamaan saat ini menurut Fathurrahman telah mengalami pergeseran dari penguasaan kitab-kitab dan kaidah-kaidah agama menjadi otoritas algoritma yang dapat di desain oleh teknologi terkini. Orang-orang dengan mudah mencapai keimanan dan spiritualitas religius dengan menggunakan media internet. Fenomena ini disebut oleh beberapa ahli sebagai faith online.
“Al iman al-interneti, jadi Iman itu bukan lagi fi qalby, tetapi fil internet. Dan saya kira ini signifikan meskipun terjadi di negara yang lain, tetapi di dunia Islam pun juga demikian.” Jelasnya.
Pada akhirnya, fenomen tersebut menghadirkan potensi penyimpangan paham keagamaan publik. Melalui media berbasis internet, ruang diskursif semakin melebar. Sehingga memungkinkan materi dakwah mudah didebat, dipermainkan, bahkan dalam bentuk paling ekstrem bisa dihina.
Tantangan Pribadi dan Keluarga di Era Disrupsi
Dehumanisasi di era ketercerabutan semakin terasa. Setidaknya ada enam polusi yang dilabelkan KH Fathurrahman yang mengancam pribadi dan keluarga. Yaitu polusi ruang dan waktu (pollution of space-time), polusi mata atau penglihatan (pollution of vision), polusi kebendaan (pollution of object), polusi informasi (pollution of information), polusi gaya hidup (pollution of life style), dan polusi tubuh (pollution of body).
Akibat berbagai polusi tersebut, masyarakat terjebak pada budaya yang disebut oleh para ahli sebagai ‘sensing culture’. Budaya sensasional. Suatu budaya yang menggambarkan kondisi jiwa yang kosong. Sensing adalah lapisan terluar dari jiwa manusia. Lapisan berikutnya adalah reasoning, empathy dan yang paling dalam adalah spiritual. Digambarkan bahwa orang yang memiliki jiwa yang sehat, dalam melakukan berbagai aktivitas akan melalui empat tahapan. Pertama merasakan sensai terhadap apa yang dikerjakannya (sensing), selanjutnya memahami kegiatan tersebut, (reasoning), memiliki empati, hingga pada tahap yang paling dalam menghadirkan spiritualitas yang baik.
Sebaliknya orang yang jiwanya kosong cenderung akan bertahan pada tahapan pertama. Melakukan sesuatu berdasarkan sensasional semata. meninggalkan reasoning sehingga dia tidak tahu mengapa dia bertindak. Karena tidak tahu mengapa ia bertindak akhirnya dia tidak memiliki empati.
“Anda bisa bayangkan ketika masyarakat mencari minyak goreng, ada orang yang mengatakan mengapa harus menggoreng, kan anda bisa merebus. Ini tidak punya empati, saudara-saudara sekalian. Tidak punya rasa kasih sayang kepada masyarakat.” Kisah Fathurrahman.
“Ketika bensin naik mengapa harus pakai mobil, orang tidak punya lagi daya empati. Dan bisa dipastikan orang-orang seperti ini mengalami despritualisasi di dalam hidupnya.” Lanjutnya.
Kerusakan yang Terjadi
Pemenuhan kebutuhan produksi yang berlebihan menuntut eksploitasi sumber daya alam dan melahirkan kerusakan ekologi lingkungan. Selanjutnya kesadaran manusia untuk hidup berlebihan melahirkan kerusakan ekologi mental. Sementara ruang ekspresi sosial yang serba virtual dan interaksi yang serba maya melahirkan kerusakan ekologi sosial. Dampak buruk dari tiga kerusakan tersebut juga telah mengakibatkan kerusakan ekologi spiritual.
“Manusia mengalami penyakit akut, lupa diri, karenannya semakin keliru dalam memahami dirinya sendiri. Keliru memahami Tuhan Penciptanya, salah menafsir hidupnya, dan akhirnya gagal mendesain dan mencapai tujuan hidupnya yang hakiki.” Titah KH Fathurrahman.
Krisis yang terjadi dalam masyarakat sebagaimana juga terjadi dalam tradisi jahiliyah, dalam perspektif Al-Qur’an terdapat empat aspek. Pertama kerancuan episemologis bidang aqidah keimanan (Ali Imron: 154). Kedua, ketimpangan dalam persoalan politik, sistem hukum (Al-Maidah: 49-50). Ketiga persoalan bersifat sosial, budaya (Al-Ahzab: 33), dan keempat persoalan watak kesombongan (Al-Fath: 26).
Membendung Kerusakan Era Disrupsi
Mengatasi berbagai kerusakan yang terjadi, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH Fathurrahman mengenalkan konsep Tadayyun Ihsani. Yaitu bagaimana menjadikan agama ini sebagai sistem ajaran dan the way of life, hingga pada tiga tingkatan agama secara menyeluruh meliputi Iman, Islam dan Ihsan.
Tadayyun atau religiusitas Islami dimaknai sebagai manifestasi konkret secara holistik (aqliyah, qalbiyah, dan jasadiyah) terhadap keseluruhan ajaran Islam berkemajuan, dalam berbagai aspek dan dimensi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Termasuk dalam konteks kehidupan kemanusiaan universal, kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tadayyun tidak dimaknai sebatas komitmen, pengalaman terhadap bagian tertentu dari Islam itu sendiri. Misalnya ritual-kerohanian ibadah semata, aktivitas intelektual semata, ataupun aktivitas kemanusiaan semata. Memahami tadayyun secara parsial akan melahirkan ketimpangan dan paradoks. Seperti yang banyak diungkapkan oleh hasil penelitian. Misalnya seperti komunitas yang memiliki indeks religiusitas yang tinggi, akan tetapi tingkat korupsinya juga tinggi.
Ketimpangan tersebut terjadi menurut KH Fathurrahman karena parameter religiusitas yang digunakan belum holistik. Pandangan masih terpaku pada pemahaman bahwa religiusitas itu hanyalah aspek simbolik semata dari ajaran-ajaran agama. Atau semata-mata menitip beratkan pada aspek pengalaman ritual yang tampak.
“Bisa saja penampilan eksoterik (zahir) dalam keberagamaan kita justru termasuk “religiusitas aftifisial”, atau disebut “al-tadayyun al-syakli” dan belum sampai pada maqam “religiusitas autentik” atau tadayyun haqiqi.” Pungkasnya. (dandi)