Hakikat Puasa Ramadhan dan Melatih Rasa Ikhlas

Ikhlas

Foto Dok Ilustrasi

Hakikat Puasa Ramadhan dan Melatih Rasa Ikhlas

Oleh: Fathan Faris Saputro

Inti dalam menjalankan semua amal ibadah adalah ialah keiklasan. Orang yang ikhlas akan menjalankan semua yang diperintahkan oleh Allah swt. Dengan sepenuh hati tanpa adanya unsur paksaan. Orang yang ikhlas akan menjalankan ibadah murni semata-mata karena Allah swt. Bukan karena ingin dipuji, disanjung, ataupun ingin dilihat orang. Karena orang yang ikhlas tahu dan sadar bahwasanya untuk siapa ia melakukan amal ibadah, yakni lillahi ta’alaa. Allah SWT berfirman di dalam QS. al-An’am ayat 162-163.

“Katakanlah: Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.” (QS. al-An’am ayat 162-163).

Ikhlas merupakan tingkat ketaqwaan tertinggi di dalam Islam dan berhubungan dengan hati seorang hamba kepada Allah SWT jalinan antara seorang hamba dengan Allah SWT ialah melalui hati. Hanya Allah yang mengetahui isi hati setiap hamba-Nya.

Ibadah puasa adalah  ibadah yang istimewa di antara ibadah yang lainnya. Karena Allah SWT sendiri yang akan memberikan balasannya terhadap orang yang berpuasa. Berbeda dengan ibadah shalat, sedekah, haji dan ibadah-ibadah yang lainnya.

Puasa di bulan suci Ramadhan mengajarkan kepada pelakunya untuk senantiasa ikhlas dalam menjalankannya. Seseorang mudah dan bisa saja berbohong kepada orang lain dengan mengatakan bahwa ia sedang berpuasa. Jika ingin membatalkan puasanya, tentu bukan sesuatu yang sulit. Tidak ada yang tahu isi hati setiap manusia kecuali hanya Allah SWT karena Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu, yang menguasai dimensi ruang dan waktu, sehingga tidak akan ada sedikit pun yang luput dari pengawasan Allah SWT.

Keiklasan hanya dimiliki oleh orang yang beriman. Oleh karena itu, perintah puasa hanya diperuntukkan bagi mereka yang beriman. Hanya mereka yang berimanlah yang mau melaksanakan perintah ibadah puasa, karena pada kenyataanya di bulan suci Ramadhan masih banyak orang yang tidak menjalankan puasa. Padahal sudah jelas perintah Allah SWT di dalam al-Qur’an tentang puasa di bulan suci Ramadhan. Ini menandakan bahwa hanya mereka yang beriman yang mau melaksanakan perintah tersebut.

Di dalam bulan Ramadhan banyak orang yang berlomba-lomba melakukan amal kebajikan seperti tadarus al-Qur’an, Qiyaamul lail, beri’tikaf, bersedekah, dan memperbanyak dzikir. Tentu semua itu tidak akan sia-soia dan akan bernilai ibadah jika dilandasi dengan keiklasan.

Keikhlasan di Lingkungan Keluarga

Keikhlasan dapat diterapkan di lingkungan keluarga, di mana ayah dan ibu sebagai guru dan anak-anak sebagai murid. Peran ayah dan ibu dalam keluarga melebihi peran guru di sekolah. Seorang ayah bertanggungjawab mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ibu berperan sebagai pengelola rumah tangga dan mengurus anak-anaknya. Jika kedua peran ini dijalankan dengan ikhlas, maka betapa indahnya kehidupan keluarga. Apalagi didukung dengan keberadaan anak-anak yang sholeh dan sholehah. Sementara keluarga yang diliputi dengan ketidakikhlasan di antara anggota keluarga, maka yang terjadi adalah percekokan, ketidakharmonisan, saling curiga dan merasa tidak betah berada di rumah.

Keikhlasan di Lingkungan Masyarakat

Manusia juga makhluk spiritual sehingga butuh pengembangan diri pada aspek spiritualnya. Tentu ini terkait dengan hubungan manusia dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Prinsipnya segala relasi setiap individu dengan individu lainnya sebagai pihak kedua ternyata ada pihak ketiga yaitu Allah SWT dan pada akhirnnya urusan setiap manusia adalah dengan Allah SWT sebagai pencipta manusia. Tujuan Allah SWT menciptakan manusia yaitu untuk beribadah. Wujud konkritnya dengan menjadi khalifah, pemimpin, pengelola dan pemakmur bumi yang memberi manfaat sebesar-besarnya kepada diri sendiri (personal), orang lain (people) dan alam (planet). Ini manifestasi dan kekhalifahan manusia sebagai rahmatan lil alamin.

Keikhlasan di Lingkungan Kerja

Di zaman yang hampir semua hal di ukur dengan materi, kerja ikhlas menjadi hal yang langka. Pelakunya pun kerap di sebut orang aneh, orang antik atau orang yang melakukan hal bodoh. Kebanyakan orang di zaman ini memang bekerja keras manakala pendapatannya besar. Jadi bekerja karena motivasinya adalah untuk mendapatkan uang. Jika mendapatkan uang banyak maka bekerja keras dengan sangat baik, tetapi jika mendapat uangnya sedikit maka kerjanya asal saja.

Hal inilah yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bekerja untuk memperoleh imbalan yang setimpal dengan pekerjaan menurut ukurannya masing-masing. Tetapi jika bekerja dengan hati ikhlas, berarti bekerja dengan berdasarkan kasih dan kerelaan hati. Seperti matahari pagi yang selalu rajin tidak pernah mengharapkan imbalan atau balasan kembali. Matahari juga tidak peduli apakah manusia mau menerima sinarnya atau bahkan menolaknya.

Kerja ikhlas bukan berarti kerja tanpa mengharapkan gaji atau honor atau penghasilan. Kerja ikhlas dalam jenis pekerjaan apa saja dalam hal ini dapat diartikan kerja yang dilakukan tanpa keluh kesah. Segala jerih payah bukan rasa lelah tidak dirasakan suatu beban yang berat. Misalnya seorang tukang jahit sepatu walaupun hasil jahitannya hanya dapat untuk menutup biaya, tetapi tetap bekerja dengan baik, melaksanakan pekerjaanya dengan tulus dan berusaha agar pesanan untuk jahitannya baik dengan harapan semoga rejeki yang diterima menjadi berkah dari Allah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Keikhlasan di Lingkungan Pemerintah

Sebagai seorang muslim yang taat kepada perintah agama, tentu akan menjalankan amanat sebaik-baiknya. Amanat ini berupa membantu negara menciptakan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia melalui pelayanan yang cepat dan prima. Disiplin dalam melaksanakan tugas sesuai bidang dan keahlian masing-masing. Karena manusia juga diamanati sebagai pemimpin, baik itu di rumah tangga, sekolah, kampus dan lembaga pemerintah yang mana harus dilakukan sebaik-baiknya. Karena itu, sabda Rasulullah SAW mengingatkan bahwa masing-masing kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang raja akan bertanggungjawab kepada rkyatnya atas kepemimpinannya, suami mempertanggungjawabkan kepada keluarganya, sekalipun hamba, dia akan mempertanggungjawabkan atas harta tuannya.

Bukti pertanggungjawaban itu bisa dibuktikan dengan bekerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas. Bekerja keras yaitu senantiasa berusaha mengerjakan tugas-tugasnya sekuat tenaga, meskipun tantangan dalam bekerja itu menghadang. Terkadang rasa malas itu datang, tetapi kita harus lebih semangat menjalankan tugas.

Bekerja cerdas, setiap hamba dianjurkan memilki waktu berpikir yang berkualitas untuk diri dan karirnya. Waktunya tak perlu lama, tetapi harus menyisihkan beberapa jam dalam seminggu untuk berpikir secara fokus, memikirkan tiga hal, mempelajari masalah lebih mendalam, menyelesaikan dan bekerja secara kreatif.

Bekerja secara tuntas, ini merupakan langka kerja untuk menyelesaikan apa yang sedang dilakukan. Seberapapun banyaknya pekerjaan sudah seharusnya untuk menuntaskan satu persatu, untuk hasil yang lebih baik. Bukan menunda pekerjaan, yang akan berakibat menumpuknya beban kerja dan tidak efektif. Kemudian kerja ikhlas, yaitu apabila setiap pegawai bekerja bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan uang atau upah dari apa yang dikerjakan tapi sekaligus diniatkan bahwa pekerjaan ini diniatkan juga sebagai ibadah atau pengabdian kita kepada Tuhan yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Apabila kerja ikhlas diterapkan pekerjaan seberat apapun akan terasa ringan.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yang menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12: 243).

Fathan Faris Saputro, Ketua Bidang Komunikasi dan Teknologi Informasi Kwartir Daerah Hizbul Wathan Lamongan

Exit mobile version