Peradaban dan Kebohongan

peradaban

Foto Dok Ilustrasi

Peradaban dan Kebohongan

Dalam sebuah kisah israiliyat yang berlatar belakang masa Nabi Sulaiman, diceritakan ada dua orang ibu yang menghadap Nabi Sulaiman meminta penyelesaian. Mereka membawa satu orang bayi merah, kedua nya mengklaim sebagai ibu dari sang bayi. Di hadapan Nabi Sulaiman, keduanya bersumpah atas nama Tuhan mendaku sebagai ibu yang melahirkan sang bayi.

Andaikan kisah ini terjadi pada masa sekarang, mungkin bisa diselesaikan dengan tes DNA. Namun, teknologi tersebut belum ada pada masa itu. Apa yang dilakukan Sulaiman untuk menyelesaikan kasus yang pelik tersebut?

Nabi dan Raja yang dikenal sebagai manusia yang mengusai seluruh bahasa makhluk hidup itu malah meletakkan bayi tersebut di atas meja dan dihunusnya pedang yang sangat tajam di hadapan dua perempuan yang mengaku ibu bayi tersebut.

Sambil mengangkat pedang telanjang, Sulaiman menawarkan solusi untuk membagi satu bayi itu menjadi dua. Yang di kanan Sulaiman akan diberi bagian kiri tubuh sang bayi, sedangkan yang di kiri Sulaiman akan mendapatkan bagian kanan tubuh sang bayi. Kedua ibu juga akan diberi bonus tambahan yang berupa kain kafan dan peralatan pemakaman untuk bayi tersebut.

Mendengar solusi dari Nabi Sulaiman, kedua ibu terdiam dalam gelisah. Hanya yang satu terlihat lebih gelisah dari yang satunya. Para menteri juga terdiam dalam resahnya sendiri. Semua terpaksa menyetujui ide yang sangat tidak masuk akal tersebut karena memang seperti tidak ada cara penyelesaian yang lain.

Namun, saat Sulaiman mengangkat pedangnya di atas bayi yang tertidur itu, salah satu wanita yang terlihat lebih gelisah berteriak. Mengaku bahwa bayi itu bukan anaknya. Dia mengaku hanya sekedar mendaku bayi saudaranya itu. Akhir kisah, Nabi Sulaiman malah memberikan bayi itu kepada perempuan yang mengaku bukan sang ibu bayi tersebut. Ibu yang sejati tidak akan tega melihat bayinya binasa dengan alasan apapun. Dia akan rela anaknya “dimiliki” orang lain namun tetap selamat.

Kisah bayi “beribu” dua ala israriliyat ini juga ada di dalam dongeng kerajaan Jawa. Dua anak laki-laki Raja Airlangga tidak ada yang mau mengalah, keduanya merasa mempunyai hak untuk duduk di atas tahta Kahuripan yang hanya satu. Airlangga menawarkan solusi untuk membagi Kahuripan menjadi dua, dengan konsekuensi kerajaan itu akan menjadi kerajaan yang lemah. Kedua putra Airlangga tetap bersikukuh. Bagi keduanya, lebih baik kerajaan itu bubar daripada dimiliki saudaranya sediri. Tiji tibeh (mati satu, mati semua) prinsip itulah yang mereka anut.

Kahuripan akhirnya dibelah menjadi dua; Panjalu dan Jenggala. Kedua kerajaan baru akhirnya berkembang menjadi “negara gagal”. Keduanya sering berselisih juga dilanda pertikaian internal yang penuh intrik.

Di kehidupan nyata, bahkan juga dalam kehidupan berorganisasi, kita mungkin banyak menjumpai manusia berkarakter ibu yang sesungguhnya dalam kisah nabi Sulaiman di atas. Mereka yang secara sadar dan tulus rela mengalah dan mengorbankan hak pribadinya demi cinta dan kasihsayangnya, demi kemanusiaan, demi keselamatan generasi yang akan datang. Mereka tidak peduli siapa yang harus memiliki namun keberadaan objek yang dipersengketakan itu dapat memberi manfaat yang baik bagi sesama.

Namun, di lapangan yang sama, tidak sedikit pula akan kita jumpai karakter ibu yang kedua. Ibu palsu yang suka mendaku milik orang lain, yang atas nama nafsu untuk menguasai dan memiliki itu dia tega meminggirkan nalar waras dan hati nuraninya sendiri. Karakter ibu kedua ini, tidak pernah sempat berpikir panjang tentang peradaban dan masa depan kemanusiaan. Juga membuang pertimbangan akan dosa dan pengadilan di hari pembalasan.

Untuk meraih ambisinya, tipe manusia seperti ini tidak akan ragu untuk menyusun kebohongan demi kebohongan, menebar fitnah dan memoles muslihat. Termasuk menipu orang tua dan kerabatnya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kisah israiliyat maupun dongeng Panjalu-Jenggala yang penuh intrik itu akan selalu berulang. Dari ini semua manusia sebenarnya juga sudah paham kalau peradaban utama tidak akan dapat dibangun di atas batu-bata kebohongan. Sayangnya, pemahaman kadangkala tidak berkorelasi dengan kemauan. (isma)

Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018

Exit mobile version