Irfani dalam Bermuhammadiyah

Irfani dalam Bermuhammadiyah

Irfani Dalam Bermuhammadiyah

Oleh Prof Dr  H Haedar Nashir, M.Si

Muhammadiyah itu besar. Di antara kekuatan Muhammadiyah ialah sistem organisasinya yang kokoh berbasis nilai-nilai mendasar dan tahan hadapi zaman seperti Manhaj Tarjih, Kepribadian, Khittah,  Pedoman Hidup Islami, dan mozaik pemikiran lainnya. Muhammadiyah mampu  menghadapi berbagai masalah berat di dalam dan ke luar karena ketangguhan organisasinya didukung keteledanan orang-orangnya yang berjiwa maju dan ikhlas.

Dipelopori sang pendiri Kyai Ahmad Dahlan yang memiliki tempat  khusus dan dikenal sosok kuat yang cerdas, maju, gemar beramal shaleh, dan pembaru.  Sekaligus tokoh yang dikenal tawadhu’, tasamuh, tawasuth, dan berakhlak luhur irfani. Setelah itu setiap orang datang dan pergi menggerakkan organisasi dengan jejak amaliah masing-masing. Namun Muhammadiyah tetap hidup dan kokoh keberadaannya sebagai organisasi dalam mengemban misi dakwah dan tajdid. Muhammadiyah bergerak terus. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan. Itulah Perayarikatan Muhammadiyah milik bersama nan berkemajuan.

Bersyirkah

Kenapa Muhammadiyah disebut Persyarikatan? Karena dia berupa sistem tempat bersyirkah, bertemunya banyak orang menjadi satu kesatuan di bawah sistem organisasi. Sistemlah yang di atas orang, bukan sebaliknya orang di atas sistem. Dalam Berita Tahunan 1927 disebutkan,  “Kalimat Syarikat itu berarti kumpulannya beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan semufakat mungkin dan bersama-sama”. Muhammadiyah kuat karena orang-orangnya mau bermufakat alias bermusyawarah dan menyatukan diri secara bersama dalam Persyarikatan. Dalam bergerak pun bukan atas kehendak sendiri-sendiri tetapi secara kolektif-kolegial berkoridor sistem organisasi. Dalam poin keenam Muqaddimah AD Muhammadiyah disebutkan, “Perjuangan mewujudkan pikiran-pikiran tersebut hanya dapat dilaksanakan dengan berorganisasi.”.

Karena itu dalam berorganisasi kita harus ikhlas  mengikat diri  dalam semangat kesatuan dan kebersamaan di bawah panji Persyarikayan. Setiap anggota secara  bersama menyatukan hati, pikiran,  tindakan, dan  langkah dalam jiwa persaudaraan untuk berada dalam satu barisan yang kokoh sebagaimana Al-Quran Surat Ash-Shaff ayat-4 . Setiap orang memiliki kekurangan, maka organisasi menjadi tempat saling melengkapi dan menguatkan dalam mewujudkan misi dan   tujuan. Muhammadiyah menjadi besar justru karena kebersamaan dalam satu barisan yang kokoh.

Berorganisasi itu berkorban untuk kebersamaan dan sistem sebagaimana hukum bersyirkah. Dalam mengambil keputusan ikhlas bermusyawarah dan bermufakat. Menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan hati dan pikiran yang jernih, tasamuh, tawadhu’, dan mengedepankan maslahat. Seraya menjauhi sikap merasa benar sendiri,   mau menang sendiri,  dan mrncegah mafsadat secara ma’ruf. Kedepankan  persaudaraan yang dilandasi kasih sayang dan kebaikan. Seraya menjauh amarah, kebencian, dan permusuhan.

Dalam berorganisasi hindari sikap angkuh diri,   bertindak sendiri-sendiri, berpikir  sendiri, memaksakan kehendak sendiri, dan mengambli jalan sendiri-sendiri. Tegas tak harus garang dan kasar diri. Lembut dan tasamuh bukan pertandan lemah dan buruk diri. Jika berorganisasi sekehendak diri maka bangunan bermuhammadiyah akan luruh dan bisa runtuh. Dalam Muhammadiyah sifat negatif tersebut tentu tidak boleh terjadi karena bertentangan dengan hakikat berorganisasi dalam satu kesatuan Persyarikatan.

Pupuk ukhuwah yang otentik, yang lahir dari jiwa Islami yang tulus dan bukan verbal. Ukhuwah itu mudah dikatakan tetapi susah dipraktikkan, terutama saat ada masalah dan perbedaan. Membangun rasa bersaudara dalam Persyarikatan menuntut pengorbanan untuk saling memahami, peduli, dan berbagi. Allah mengingatkan kaum beriman, yang artinya:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs Al-Hujarat: 10). Sikap keras hati dan merasa benar sendiri sering menjadi ganjalan dalam berukhuwah di organisasi.

Berorganisasi juga menuntut komitmen  menyatukan diri dalam nilai-nilai dasar yang dipedomani bersama. Dalam berorganisasi  harus senantiasa memedomani Prinsip, Kepribadian, dan Khittah Muhammdiyah, serta Pedoman Hidup Islami dengan komitmen kolektif yang tinggi. Bukan  atas kehendak, pikiran, dan ukuran pribadi. Bacalah,  hayati, dan aplikasikan pemikiran-pemikiran resmi dalam Muhammadiyah agar menjadi pedoman dan acuan berorganisasi. Komitmen itu muaranya di jantung hati dalam wujud kesetiaan. Setia membela organisasi di kala suka dan duka dengan rasa cinta dan bangga.

Jiwa Irfani

Berorganisasi itu memerlukan pola perilaku utama, yang dalam rujukan Islam disebut akhlak. Akhlak merupakan pola perilaku luhur dan terpuji. Muara akhlak mulia ialah jiwa yang fitri berpedoman Kitab Suci dan Sunnah Nabi yang mengkristal dalam keluhuran jiwa irfani. Jiwa yang bersih yang bersumber taqwa yang senantiasa disucikan,   bukan jiwa yang kotor bersumber fuzara yang membawa kerugian (QS Asy- Syams: 7-10).

Sungguh penting memupuk akhlak irfani  dalam berorganisasi, selain dalam kehidupan pribadi dan berinteraksi dengan sesama dan lingkungan.  Jadikan patokan berorganisasi sebagai pola laku utama  secara kolektif dalam berbuat kebaikan yang melintasi. Buktikan keleladanan dengan perilaku nyata, bukan dengan kata-kata. Berkata baik, lembut, teduh, damai, dan patut lambang keutamaan akhlak irfani. Sikap garang, kasar, dan panas pantulan jiwa fuzara yang mereduksi jiwa irfani. Jika kita terluka hati dan rasa oleh tindakan orang lain maka jangan lakukan hal sama kepada sesama. Suara kebenaran pun musti ditempuh dengan cara benar. Jangan berkata, bersikap, dan bertindak sekehendaknya sebab diri kita adalah cermin organisasi dan keislaman kita di rumah besar Persyarikatan Muhammadiyah.

Akhlak irfani menyangkut kebajikan dan kepatutan yang luhur dan melintasi, yang memancarkan energi positif yang berkarakter islah. Menegakkan kebenaran dalam spirit  amar ma’ruf nahi munkar pun perlu akhlak irfani agar tetap ihsan dan menebar rahmat kebaikan.  Di dalamnya ada dimensi hati dan rasa. Nabi Musa dan  Harun yang pemberani  pun diajarkan untuk berlemah-lembut. “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Thaha: 43-44).

Menyikapi masalah tidak cukup bayani dan burhani semata, penting pula secara irfani agar ada sentuhan kalbu yang menjadi kanopi teduh dan adiluhung. Jangan angkuh diri merasa diri paling suci, sebagaimana Allah mengingatkan dalam firman-Nya, yang artinya “Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32). Setiap insan memiliki kekurangan dan kealfaan, selain kelebihan dan kebaikan. Berwasiat selain dengan kebenaran juga dengan kesbaran dan kasih sayang. Manusia siapapun dia memiliki aspek rasa dan hati, karena manusia bukan benda mati. Sebarkan dan wujudkan kebenaran dengan nalar bayani, burhani, dan irfani yang melintasi berwawasan rahmatan lil-‘alamin.

Akhlak Jama’i

Dalam berorganisasi, Muhammadiyah memiliki panduan khusus  Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil Muktamar tahun 2000 di Jakarta. Menjadi pola berperilaku secara kolektif. Boleh dikata sebagai model akhlak jama’i. Di antara sikap akhlak jama’i dalam PHIWM yang perlu ditumbuhkan dalam berorganisasi:

Semoga Allah melimpahkan barakah dan karunia-Nya bagi kita dalam berkhidmat melalui organisasi sebagai wujud ibadah dan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan jiwa irfani.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya” (QS Al-Fajr: 2).

Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2020

Exit mobile version