YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyelenggarakan pengajian pengajian bagi para dosen, tenaga kependidikan, dan seluruh mahasiswa secara offline di Aula Islamic Center UAD dan secara online via Zoom Meeting dan live streaming Youtube di Channel LPSI UAD pada Rabu (13/04).
Adapun narasumber pada acara pengajian ini adalah M. Sirajuddin Syamsuddin atau yang masyhur dengan sebutan Din Syamsuddin. Beliu merupakan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015. Adapun pengajian kali ini bertemakan “Membangun Religiusitas yang mencerahkan di Era Disrupsi”. Dalam sambutannya, Rektor UAD, Muchlas menyampaikan bahwa:
“Tugas kita di Universitas Ahmad Dahlan baik dosen, tenaga kependidikan, maupun para mahasiswa adalah melaksanakan misi Catur Dharma perguruan tinggi. Salah satunya adalah mengimplementasikan nilai-nilai al-Islam dan kemuhammadiyahan. Oleh sebab itulah kami selalu berharap bapak, ibu, dan seluruh Mahasiswa dapat menjadikan pengajian ini satu wahana untuk meningkatkan diri kita, baik secara pribadi, maupun jamaah dalam pengamalan nilai-nilai al-Islam dan kemuhammadiyahan. Dengan ini Insya Allah kita bisa mengamalkan nilai-nilai Catur Dharma yang lainnya dengan landasan nilai-nilai al-Islam dan kemuhammadiyahan.”
Selanjutnya, Dalam pengajian tersebut Din menjelaskan bahwa era disrupsi adalah sebuah era yang meniscayakan keakraban manusia dengan informasi dan teknologi. Kita menghadapi satu era yang bisa disebut sebagai era inovator. Era ini berada di ranah industri, ekonomi, dan bisnis.
Lalu, beliau mengutip dari sebuah buku yang terbit tahun 1997 dengan judul “The Innovator’s Dilemma” yang dikarang oleh Christensen. Penulis buku tersebut kala itu sudah membayangkan tentang adanya sebuah deskripsi yang terjadi dan yang akan dialami oleh umat manusia, yaitu revolusi informasi dan teknologi (IT). Buktinya apa? Sekarang kita bisa berkomunikasi secara cepat terutama munculnya media sosial. Selain itu, kita juga bisa berkomunikasi di era pandemi secara virtual ini.
Ada dua pandangan mengenai era disrupsi ini; pertama, pandangan dari christensen. Dirinya menuturkan bahwa disrupsi dipahami sebagai sebuah lompatan ketika manusia mampu melakukan perubahan dan pembaruan yang sangat cepat, yang mengubah tatanan yang ada khususnya ekonomi dan bisnis.
Sedangkan Fukuyama, seseorang dari Jepang dalam bukunya The Great Disruption yang mengandung arti gangguan besar menyatakan bahwa disrupsi diartikan sebagai meletakkan perubahan, tetapi lebih bernuansa adanya gangguan. Inilah asal-muasal dari adanya era disrupsi saat ini.
“Dunia yang mengalami disrupsi bukanlah kesimpulan tunggal terhadap dunia kita sekarang ini terutama pada abad ke-21 itu, dan semakin kencang lagi pada tahun 2000-an mulai terjadinya modernisasi dan globalisasi. Semuanya bagian dari perencanaan bahkan adanya tata dunia baru yang kita hadapi sebelumnya itu adalah hasil dari beberapa pemikiran yang berafiliasi dengan agama Yahudi. Mereka bisa merancang dan apa yang dirancang bisa benar-benar terjadi. Ada yang berkomentar dunia sekarang ini sebagai dunia yang berantakan yang tidak tertib,” ujar Din.
Saat ini, dunia tak pasti. Terkadang kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan, karena adanya perubahan yang sangat cepat. Globalisasi sudah menjadikan dunia tanpa batas. Ada arus manusia, barang, dan jasa. Semua itu bisa bergerak. Transfer uang bisa dalam hitungan detik, dan seterusnya. Inilah ketidakpastian yang kita bayangkan.
Sekarang, terjadi kerusakan dunia yang bersifat akumulatif. Mengapa hal ini terjadi? karena sistem dunia yang memimpin kehidupan umat manusia beberapa dekade atau abad terakhir ini adalah sistem dunia yang bertumpu pada ideologi yang antroposentrik, yaitu ideologi yang melihat manusia sebagai pusat bukan teosentrik, yaitu ideologi yang berpusat pada tuhan. Akhirnya, dunia ini dipimpin oleh sebuah ideologi humanisme sekuler, terutama sekuler dalam arti kini di dunia dan kelak tidak ada kehidupan di akhirat, sehingga manusia bebas berbuat. Sebab, tidak ada pertanggungjawaban. Inilah yang mendorong terjadinya liberalisme dan penyebab rusaknya dunia sekarang.
Lalu apa titik temunya dari semua itu? Din menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang perlu disadari. Pertama, di tengah terjadinya kerusakan, bahkan kerusakan itu bersifat akumulatif yang ada akarnya, yaitu sistem dunia itu sendiri karena adanya antroposentrik tersebut.
Kedua, apa yang terjadi merupakan sebuah arus liberalisasi atau kebebasan manusia yang sangat menikmati dan merayakan kebebasan. Di dalamnya terdapat satu keyakinan bahwa manusia itu maha kuasa sebab bisa menciptakan hidupnya dan dunianya sendiri, bahkan mungkin menciptakan tuhannya sendiri.
Ketiga, sebenarnya liberalisasi berhimpitan dengan dehumanisasi, yaitu proses manusia kehilangan sisi kemanusiaannya. Jadi, manusia telah terjatuh ke titik nadir dari kemanusiaannya. Padahal yang paling penting dalam diri manusia adalah sisi kemanusiaan atau al-insaniyyah. Tidak sekedar bernama al–Insan, tetapi juga memiliki sifat kemanusiaan atau al-Insaniyyah.
“Ini merupakan gejala dari pada Kiamat Sughro. Kerusakan kalau tidak segera diatasi maka akan membawa dunia ini kehilangan keseimbangan. Maka, dunia sekarang perlu berbicara dunia pasca Corona. Dalam konteks tersebut kita berada ada di arus ini, berlangsung pada tingkat global, lalu masuk ke tingkat nasional, bahkan masuk ke tingkat lokal, dan belum ada satu solusi yang selektif untuk mengatasinya,” tuturnya.
Adanya gejala dehumanisasi yang artinya manusia kehilangan sisi kemanusiaannya adalah disebabkan terjebak pada titik nadir dari kemanusiaannya, kehilangan fitrah kemanusiaan baik dari dimensi kesucian, maupun kekuatan atau potensi. Mutiara yang hilang ini harus segera dihidupkan kembali. Kemudian, bagaimana mengembangkan religiusitas yang mencerahkan dan dapat menemukan kembali fitrah kemanusiaan itu dalam arti yang hakiki?
Pertama, hidup manusia itu harus kembali ke orbit keimanannya, yaitu “Innalillahi wainna ilaihi raji’un”. Semua kita adalah milik Allah dan apa-apa yang kita miliki akan kembali kepada-Nya. Jadi, kembali pada teologi “Innalillahi”, yaitu kembali ke tuhan atau teosentris batin kita. Maka, peradaban manusia itu harus bersama Allah, sehingga segala kerusakan akan disusul oleh kemudahan-kemudahan.
Kedua, keberagamaan yang mencerahkan haruslah berpegang teguh kepada hidayah sejak dari kelahiran. Setidaknya ada ada tiga hidayah dalam diri manusia; pertama, hidayah gharizah yaitu kekuatan dari dalam atau disebut insting; kedua hidayah al-hawas, yaitu indrawi sehingga kita bisa membaca realitas di sekitar; ketiga, hidayah al-aqlu atau akal pikiran yang berfungsi untuk membedakan. Lalu, Allah menambahkan hidayah al-wahyu sebagai petunjuk bagi manusia. Perlu ada integrasi dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Tidak ada perbedaan dalam ilmu-ilmu tersebut, baik ilmu agama maupun ilmu umum, dan adanya kontekstualisasi pembaca pada pembacaan ayat-ayat semesta (kauniyah) dengan pembacaan kita terhadap ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an).
Ketiga, membangun sebuah peradaban baru yang bertumpu pada tauhid. Jangan hilangkan aspek ketuhanan pada pikiran-pikiran besar, pada strategi pembangunan, serta pada konsep-konsep apapun. Semua harus menjelma dalam satu tata kehidupan baru dunia yaitu khilafah. Artinya khilafah peradaban, karena manusia pada dasarnya diciptakan memiliki misi khalifah fil ard.
Khalifah dalam arti pengganti Allah dalam membangun bumi adalah menegakkan kebaikan di bumi, sehingga terwujudlah peradaban. Sehingga jangan jadi di perusak tetapi harus menjadi muslih, pembawa misi perbaikan-perbaikan. Namun, silakan ini harus bercorak al-Islah dalam membangun peradaban baru, rekonstruksi restorasi. Hasilnya dari al-islah itulah disebut “amal saleh”, yaitu mengandung kebenaran dan mengandung kemaslahatan.
“Kalau mau membangun peradaban, maka dasarnya adalah tauhid dan yang kedua khilafah, yang diteguhkan adalah dengan istilah berkemajuan, praktis, dan wasathiyah,” terang Din.
Keempat, sebuah keberagamaan perlu menampilkan daya hasil yang berorientasi pada pembentukan kepribadian akhlak, sehingga ibadah itu dipahami sebagai sebuah proses untuk membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak. (Ahmad Farhan)