Deni Asy’ari: Dari Teks Menuju Konteks, Transformasi Suara Muhammadiyah
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/ Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari, MA menjadi narasumber pada kegiatan Gerakan Subuh Mengaji ‘Aisyiyah Jawa Barat, Selasa, 19 April 2022 secara daring. Dalam kegiatan ini, Deni menceritakan seluk beluk perjalanan Suara Muhammadiyah yang telah mengalami transformasi akbar dan sudah sangat maju.
Menurut Deni, Suara Muhammadiyah telah memasuki usia 107 tahun sejak terbit pertama kali pada 1915 atau tepatnya memasuki abad ke 2. Pada abad pertama, Suara Muhammadiyah berperan sebagai gerakan dakwah literasi. “Jadi hampir 1 abad gerakan-gerakan literasi hampir menonjol dalam kerja-kerja Suara Muhammadiyah. Nah, setidaknya saya melihat dakwah literasi itu tampak pertama bagaimana Suara Muhammadiyah itu di awal-awal terbit bergerak di dalam dakwah melawan buta huruf dan kebodohan,” tukasnya.
Pada tahun 1918 dikembangkan dengan didirikan Taman Pustaka (TP). KH Ahmad Dahlan pada saat itu menujuk KH Mokhtar sebagai Ketua daripada TP tersebut. Menurutnya, TP tidak sekadar menerbitkan buku-buku bernapaskan keagamaan, keislaman, dan kemuhammadiyahan, tetapi lebih dari itu terkait dunia pengetahuan umum.
Suara Muhammadiyah di awal-awal, sangat revolusioner dengan melahirkan dan mempublikasikan gagasan-gagasan yang nian tabu. Seperti penanggalan, pengetahuan seputar bulan, dan sebagainya. Pada tahun 1915-1916 sudah dipublikasikan.
Dari sisi dakwah literasi, tampak juga dalam memajukan keberagamaan dan kebangsaan. “Memajukan keberagamaan ini tampak sekali KH Ahmad Dahlan menulis “Islam Agama Nalar”. Bahwa beragama itu harus berpikir, tidak hanya taklid apalagi beragama tanpa dasar pengetahuan. Nah ini sudah dikembangkan oleh Suara Muhammadiyah pada awal-awal terbitnya,” kata Deni.
Sama juga halnya dengan konteks kebangsaan. Suara Muhammadiyah pada tahun 1924 sudah menggunakan istilah ‘Indonesia’. Istilah Indonesia mayoritas dikenal publik sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Tetapi ternyata dari penelusuran literatur sejarah mengatakan hal lain, bahwa Suara Muhammadiyah terlebih dahulu memperkenalkan istilah ‘Indonesia’. Lebih awal daripada peristiwa Sumpah Pemuda. Menurut Deni, sejak tahun 1924-1925 sebelum Sumpah Pemuda sudah memperkenalkan Teritorial Hindia-Belanda pada masyarakat sebagai spirit nasionalisme berbangsa dan bernegara.
Dakwah literasi pada abad pertama sudah menjadi media yang menginspirasi semangat transformasi (perubahan). Salah satunya koran dengan judul “Oetoesan Indonesia” yang dikomandani oleh Bung Hatta dan Soekiman, di mana keduanya banyak belajar dan terinspirasi dari Suara Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah dalam berdakwah juga dengan koridor percetakan. Ketika pada saat itu percetakan hanya dimiliki oleh Belanda, maka Suara Muhammadiyah melakukan kolaborasi dengan Pakualaman dengan mendirikan percetakan khusus untuk menerbitkan produk-produk buku dan kitab-kitab lainnya. Termasuk gagasan-gagasan sekolah, rumah sakit, dan sebagainya.
Yang menarik menurut Deni, tentang penggunaan istilah “Halal Bil Halal”. Dari kalangan NU berpandangan bahwa istilah ini dipelopori oleh KH Abdul Wahab Hasbulloh. Di mana beliau yang mengungkapkan pertama kali pada tahun 1946. Istilah ini dicetuskan untuk mendamaikan setelah terjadinya perseteruan konflik politik pasca kemerdekaan. Tetapi jauh sebelum itu, Suara Muhammadiyah sudah mengeluarkan istilah “Halal Bil Halal” dengan istilah “Alal Bahalal.
“Setidaknya saya mencoba merangkum 1 abad perjalanan Suara Muhammadiyah itu konsentrasi dakwah literasi baik dalam konteks mencerdaskan kehidupan, memajukan kehidupan keberagamaan dan kebangsaan, serta menginspirasi perubahan. Ini yang dilakukan di 1 abad,” papar Deni.
Memasuki abad kedua di mana Deni telah resmi menakhodai Suara Muhammadiyah, mencoba untuk melakukan transformasi gagasan-gagasan teks menjadi gerakan konteks. “Yang selama ini Suara Muhammadiyah dakwahnya secara bil lisan, bil qalam, maka kita ingin transformasi tidak hanya bil lisan, tapi bil hal. Maka memasuki abad kedua ini pilihan kami pada saat itu kita harus mengimplementasikan kerja-kerja teks, gerakan literasi ini ke dalam gerakan ekonomi,” tuturnya.
Deni menjelaskan alasan harus gerakan ekonomi yang diambil. Karena Muhammadiyah dikenal sebagai Gerakan Basis Kesehatan dengan jumlah rumah sakit tersebar di berbagai daerah, dan juga banyak tersebar lembaga pendidikan. Namun, dari ikon atau branding ekonomi yang kuat di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah. “Hal ini menjadi salah satu pilihan bagi Suara Muhammadiyah untuk menjadikan gerakan ekonomi sebagai ikon baru atau Muhammadiyah menyebutnya sebagai Pilar Ketiga,” ujar Deni.
Alasan normatif Suara Muhammadiyah melakukan gerakan ekonomi bertautan dengan perintah Al-Quran dan As-Sunnah. Karena Al-Quran telah banyak menguraikan tentang jual beli dan perdagangan. Begitu pula dengan As-Sunnah yang ketika Rasulullah Muhammad SAW melakukan hijrah ke Madinah Al-Munawwarah. Setelah Rasul mendirikan Masjdi Quba, justru beliau mendirikan struktur dan kekuatan ekonomi, sehingga beliau memilih membangun pasar Sauq al-Manakah, baru kemudian mendirikan perundang-perundangan (Piagam Madinah).
Lebih dari itu, dasar Suara Muhammadiyah melakukan gerakan ekonomi berlandaskan pada perintah Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makasar, Sulawesi Selatan.
Deni juga menuturkan mengenai pandangan khusus mengapa Suara Muhammadiyah memilih gerakan ekonomi. Pertama, potensi ekonomi persyarikatan. “Kalau kita petakan betul, potensi kita sungguh luar biasa. Baik dari konteks SDM yang mana memiliki 164 PTM dengan jumlah 17.000 dosen dan 55400 mahasiswa. Ini sebenarnya potensi yang sangat besar sebagai aktor kelas menengah menggerakan ekonomi di lingkungan persyarikatan kita,” jelasnya.
Kedua, potensi secara struktur dan jamaah persyarikatan. “Saya membaca data dari persyarikatan kita memiliki 8107 jumlah ranting atau 20% daru jumlah desa yang ada, 3221 Pimpinan Cabang, 508 PDM, dan 34 PWM. Ini potensi secara pasar, struktur, dan jamaah. Maka dengan potensi yang dimiliki menjadi inspirasi bagi Suara Muhammadiyah untuk mengikhtiarkan bahwa gerakan ekonomi sebagai pilar ketiga sangat memungkinkan diwujudkan,” tuturnya.
Ketiga, peluang dakwah ekonomi berbasis jamaah. “Kita melihat belum banyak di tanah air ini pola-pola gerakan ekonomi yang dikelola berbasis jamaah, belum banyak. Dan kita memiliki jamaah yang luar biasa, yang sesungguhnya menjadi potensi pasar yang bisa kita kelola. Dan juga menjadi tantangan bagi Suara Muhammadiyah,” katanya.
Di akhir acara, Deni mengatakan, “Dalam konteks bisnis, mengurangi teori, mengurangi diskusi, mengurangi rapat, mengurangi rakor, dan mengurangi raker. Karena inilah gejala yang ada di Muhammadiyah. Majelis Ekonomi dibawah raker, gerakan ekonomi dibawah raker, gerakan ekonomi dibawah rapat, gerakan ekonomi dibawah rakor. Hasilnya tentu adalah hasil rapat, hasil raker, hasil rakor. Maka kesimpulan kami hari ini kita praktikan, maka bisnis yang terbaik hari ini bukanlah bisnis yang dibicarakan, tetapi bisnis yang dijalankan,” tutupnya. (Cris)