UU TPKS Disahkan, Akademisi UMY Ungkap Perlu Perubahan Budaya dalam Implementasinya

uu tpks

UU TPKS Disahkan, Akademisi UMY Ungkap Perlu Perubahan Budaya dalam Implementasinya

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tanggal 12 April 2022 menjadi angin segar di tengah maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.

Pengesahan UU TPKS mendapatkan respon positif dari publik sekaligus dari pakar bidang Gender dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nur Azizah,M.Si saat ditemui Tim Humas pada hari Rabu (20/4) di Gedung Ki Bagus Hadikusomo UMY. Menurutnya, salah satu bentuk upaya konkrit dalam implementasi UU TPKS perlu adanya perubahan budaya menuju kesetaraan gender.

Pada pembahasannya, Nur Azizah mengapresiasi langkah DPR RI untuk mengesahkan RUU TPKS menjadi UU TPKS di tengah pelik persoalan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. ”Saya apresiasi yang sangat luar biasa, karena hal tersebut (pengesahan UU TPKS) merupakan suatu progress hukum yang bagus. Hal tersebut menunjukkan komitmen yang lebih baik dalam menangani kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia,”jelas Dosen Hubungan Internasional UMY ini.

Menurut Nur Azizah, disahkannya UU TPKS merupakan suatu langkah dan payung hukum yang bagus, meskipun disahkan saja tidak berarti selesai persoalan. Pada Impelementasinya, Undang-Undang masih membutuhkan banyak tahap yang perlu dilakukan dengan turunan menjadi berbagai peraturan dengan konteks tindak pidana kekerasan seksual.”Walaupun UU TPKS sudah disahkan, namun masih banyak yang perlu dilakukan dan harus diperjuangkan agar korban kekerasan seksual memperoleh keadilan,” tanggapnya.

Menurut pakar Gender dan Politik ini, berbicara kekerasan seksual memiliki sisi dilematis untuk mengusut tuntas menuju ranah hukum, yaitu adanya beberapa faktor dilematis yang dialami korban diantaranya adalah rasa trauma bagi korban, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengusut ke ranah hukum, korban memiliki keinginan untuk melupakan kejadian yang dialami, serta adanya rasa takut jika mengalami sanksi sosial dan berimbas pada keluarga korban.

“Oleh Karena itu, hadirnya UU TPKS ini diharapkan punya titik terang, yaitu disahkannya UU TPKS juga bagian dari mengubah peradaban yang lebih baik, yaitu dengan tidak memberikan toleransi kepada pelaku kekerasan seksual. Sehingga dengan hal tersebut bisa tercipta peradaban yang menghargai keadilan bagi semua pihak termasuk bagi korban kekerasan seksual,” paparnya.

Perlu Ubah Budaya Patriarki dan Beri Efek Jera Pada Pelaku

Bagi Nur Azizah, kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat sering terjadi di Indonesia, bahkan kekerasan seksual sudah terjadi saat sebelum Indonesia merdeka. Namun, selama ini kerap kali dianggap sebagai suatu hal yang tidak terlalu penting sehingga pada saat itu merasa tidak perlu untuk diatur dalam Undang-Undang.

“Problematika seperti ini terjadi karena kita hidup dalam belenggu budaya patriarki, yaitu sering memberikan sikap permisif terhadap hal-hal yang berkaitan kekerasan seksual. Terlebih bentuk kekerasan seksual memiliki jenis yang beragam. Contoh yang menjadi hal problematika dalam kasus kekerasan seksual, diantaranya pada kasus pemerkosaan sering kali pelaku diberi hukuman sangat ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum disahkannya UU TPKS ini menganggap regulasi tersebut tidak terlalu penting. Sebab, adanya belenggu budaya patriarki tersebut maka tindak kekerasan seksual selalu terjadi. Oleh karena itulah persoalan tersebut tidak mampu mengubah budaya untuk meminimalisir tindakan kekerasan seksual di Indonesia,” tuturnya.

Dalam pandangannya, untuk mengubah budaya dari budaya patriarki memang bukan suatu hal yang mudah, namun mengubah budaya itu perlu dilakukan. Misalnya bagaimana memberikan efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan seksual apapun bentuk/jenisnya. Kemudian memberikan pemahaman terhadap bentuk/jenis kekerasan seksual dalam upaya mengubah budaya patriarki karena belum tentu masyarakat paham tentang bentuk atau jenis kekerasan seksual.

Sosialisasi UU TPKS dan Edukasi Berbasis Kesetaraan Gender Bentuk Langkah Konkrit

Nur Azizah menambahkan bahwa tidak cukup hanya disahkannya UU TPKS, namun perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang poin-poin penting dalam UU TPKS. “Sehingga, setelah sosialisasi ini ada perubahan kesadaran di kalangan perempuan dan laki-laki tentang kekerasan seksual yang terjadi karena adanya kesenjangan power, yaitu pelaku memiliki ‘power’ yang lebih unggul sedangkan korban memiliki ‘power’ yang lemah,” tambahnya.

“Jika berbicara tentang kekerasan seksual tidak hanya membutuhkan undang-undang saja, tetapi juga butuh perubahan budaya agar perempuan dan laki-laki itu menjadi lebih setara dalam hal ‘power’ atau kedudukan dengan memberikan edukasi pada kedua pihak. Tidak ada lagi perempuan memiliki kedudukan yang rendah, sebaliknya laki-laki tidak menggunakan kekuasaannya untuk semena-mena yang berakibat pada kekerasan seksual,” tutupnya.(Sofia)

 

Exit mobile version