Kongres Muhammadiyah Tahun 1922 dalam Pandangan Pers Belanda
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Muktamar Muhammadiyah, yang dulu bernama kongres, yang sebelumnya lagi bernama rapat tahunan, telah dilangsungkan oleh Muhammadiyah sejak tahun pertama organisasi ini berdiri. Beberapa muktamar telah mendapat perhatian cukup banyak, terutama yang menghasilkan keputusan-keputusan fundamental bagi organisasi dan yang berkaitan dengan relasi Muhammadiyah dengan masyarakat ataupun negara. Ini tampak dalam dokumentasi dan kajian yang melimpah tentang sejumlah muktamar.
Beberapa contoh bisa disebut di sini, misalnya Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada 1995, masa ketika Orde Baru sedang berada pada puncaknya sementara pada tanwir Muhammadiyah sempat ada pembahasan tentang suksesi kepemimpinan nasional. Namun, Presiden Soeharto hadir dalam pembukaan muktamar dan bahkan dalam sambutannya menyebut bahwa dirinya adalah ‘bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia’). Demikian dengan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, yang menetapkan konsep negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (negara tempat melaksanakan konsensus nasional dan negara sebagai tempat untuk mengisinya). Menilik berbagai dokumentasi maupun riset yang dilakukan berbagai pihak, dapatlah diketahui bahwa sudah cukup banyak tersedia bahan bagi publik dalam memahami dinamika muktamar Muhammadiyah khususnya pada periode 1990an dan setelahnya.
Agak berkebalikan dengan ketersediaan yang cukup dari informasi dan perspektif mengenai muktamar Muhammadiyah dari periode 1990an dan selepasnya, masih sedikit yang diketahui tentang kongres-kongres Muhammadiyah di tahun-tahun formatifnya, katakanlah misalnya pada satu atau dua dekade awal sejak eksisnya Muhammadiyah. Itu adalah periode sekitar seratus tahun silam, ketika produksi informasi tidak semudah dan semasif di masa sekarang, masa ketika tingkat literasi masih sangat rendah dan dokumentasi mengenai berbagai peristiwa terbatas jumlahnya.
Salah satu contohnya adalah mengenai kongres ke-11 Muhammadiyah, yang berlangsung pada Maret 1922 di Yogyakarta. Kala itu, Muhammadiyah sudah berusia sepuluh tahun, sebuah momentum yang penting dalam siklus kehidupan, mengingat akhirnya organisasi ini bisa mencapai angka dua digit dalam eksistensinya. Bagi Muhammadiyah, umur dua digit ini adalah pencapaian eksistensi besar pertamanya, sebelum akhirnya, sembilan dekade kemudian, organisasi ini akhirnya bisa mencapai umur tiga digit, seratus tahun Muhammadiyah (2012).
Di awal-awal kelahiran Muhammadiyah, belum ada koran Belanda yang memberitakan aktivitasnya. Ini wajar saja mengingat pada tahun-tahun awalnya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kecil di sebuah kampung kecil di Yogyakarta. Artinya, Muhammadiyah saat itu baru merupakan organisasi yang secara cakupan geografis amat kecil. Tapi, di usianya yang ke-10, Muhammadiyah sudah cukup besar, sampai-sampai surat kabar Belanda, di luar Yogyakarta pula, tidak bisa lagi mengabaikan kehadirannya.
Salah satu koran Belanda yang mengabarkan tentang kongres Muhammadiyah tahun 1922 itu adalah Preangerbode, yang terbit di Bandung, sekitar 300 km dari Yogyakarta, kota tempat kongres berlangsung. Koran ini, yang merupakan koran ekonomi, adalah salah satu koran tertua di Hindia Belanda, karena sudah terbit sejak tahun 1896. Pada edisi Woensdag (Rabu), 8 Maret 1922, koran ini menerbitkan sebuah kolom tentang kongres Muhammadiyah. Tajuknya: “Moehammadijah”. Disebutkan pula bahwa salah satu sumber dari mana koran ini mendapatkan informasi tentang kongres tersebut adalah koran Soerabaiasch Handelsblad, yang terbit di Surabaya, yang berjarak sekitar 270 km dari lokasi kongres.
Di bagian awal berita di Preangerbode itu tertulis:
Zondagmorgen is te Djokja het driedaagsch congres, tevens de achtste jaarvergadering, aangevangen van de moslimsche vereeniging “Moehammadijah”, welke verspreiding van den godsdienst beoogt, onder voorzitterschap van Hadji Dahlan, die o.m. bekend is door zijn scherpe critiek op de Inlandsche leiders, die alle beginselen van den Koran verwaarloozen. (Pada Minggu pagi, di Yogyakarta diselenggarakan kongres selama tiga hari, yang juga pertemuan tahunan kedelapan, komunitas Muslim “Muhammadiyah”, yang bertujuan untuk menyebarkan agama, yang dimulai di bawah kepemimpinan Haji Dahlan, yang dikenal antara lain karena kritik kerasnya terhadap para pemimpin pribumi yang mengabaikan semua prinsip Al Qur’an).
Bagi sebuah organisasi yang di awal pendiriannya hanya berbasis kampung, latar belakang dan jumlah orang-orang yang hadir di kongres tahun 1922 itu memberi petunjuk tentang besarnya pengaruh Muhamamdiyah setelah satu dekade eksis. Preangerbode, yang mengutip dari Soerabaiasch Handelsblad, menyebut bahwa ada sekitar 1000 orang yang hadir (jelas tidak hanya orang Kauman), dan banyak di antara peserta yang hadir adalah kaum perempuan, suatu fakta yang menarik di masa ketika tekanan tradisional masih kuat menghalangi banyak perempuan Indonesia untuk keluar rumah dan menghadiri acara publik. Dengan massa yang hadir sebanyak itu, pemerintah Hindia Belanda tentu tidak bisa tidak tertarik dengan kongres itu. Seorang utusan penting ditempatkan di kongres itu. Ialah B.J.O. Schrieke, wakil dari kantor urusan pribumi (Kantoor voor Inlandsche Zaken), dan dikenal pula sebagai Indolog terkemuka di zamannya.
Apa saja kegiatan yang dilakukan para peserta kongres Muhammadiyah tahun 1922 itu? Preangerbode melaporkan:
Rapat sesi pagi dikhususkan untuk pembacaan notulensi, penyampaian laporan tahunan, pengangkatan panitia verifikasi dan penambahan anggota pengurus pusat. Pada pertemuan malam harinya, disampaikan berbagai ceramah, yang terus dilanjutkan sesudahnya
Tema-tema yang dibahas di dalam kongres itu menunjukkan tentang perhatian Muhammadiyah yang sudah jauh lebih luas dari sekedar problem kampung Kauman, atau bahkan konteks Yogyakarta sendiri. Kesadaran keumatan global bahkan sudah hadir sejak masa ini, dan itu berkaitan dengan problem perjalanan haji dari Hindia Belanda ke Mekkah:
Diskusi selanjutnya akan membahas bea masuk yang sangat tinggi yang diberlakukan oleh raja Hijaz, sementara ada tindakan sipil yang sama terhadap perusahaan Sluyters and Co., yang merugikan ratusan jamaah haji, karena mereka telah pergi ke tiga kota pelabuhan untuk menaiki kapal haji yang disewa oleh Sluiyters en Co., yang, bagaimanapun, terkena dampak pemogokan para pelaut di Hong Kong.
Selain memberikan informasi tentang suasana kongres, laporan di atas juga mengindikasikan hal lain yang tak kalah krusialnya. Di sini bisa dilihat bagaimana jaringan informasi tentang kongres itu bekerja, dimulai dari Yogyakarta, lalu dilaporkan oleh koran Surabaya, lalu laporan itu dikutip oleh sebuah koran di Bandung. Maka, bisa disimpulkan bahwa kongres tahun 1922 itu tidak hanya diketahui oleh penduduk Yogyakarta saja, tetapi juga diketahui oleh penduduk Surabaya dan Bandung, dua kota di sisi barat dan timur Pulau Jawa, dua kota yang lebih besar dari Yogyakarta. Ini tentu menambah ekspos terhadap gerakan Muhammadiyah, dan bukan tidak mungkin berita-berita di koran-koran di luar Yogyakarta ini menjadi penarik bagi lebih banyak orang untuk bergabung dengan Muhammadiyah.
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2021