Meng-Izharkan Agama dalam Bernegara

Meng-Izharkan Agama

Meng-Izharkan Agama dalam Bernegara

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bobroknya pemerintah dalam menjalankan roda organisasi bernama negara berdampak sangat buruk pada kelangsungan hidup orang banyak. Sebagai negara yang mengaku demokratis, tentu harus menempatkan rakyat pada tahta kekuasaan tertinggi. Namun nampaknya pengakuan itu tidak dibuktikan secara konkret oleh pemangku jabatan. Justru yang terjadi adalah telinga para penguasa terkesan bolot dan abai terhadap suara rakyat yang sesungguhnya.

Kebijakan-kebijakan yang tidak bijaksana begitu mudah diketok palu. Pemerintah terlihat tidak menghadirkan rakyat dan tidak melibatkan Tuhan dalam proses pengambilan kebijakan. Dalam Kajian Iktikaf yang diselenggarakan oleh Masjid ‘Izzatul Islam, Bekasi, pada Sabtu (23/04), Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Ma’mun, Murod, M.Si., mengatakan bahwa tindakan-tindakan para pejabat adalah akibat dari tidak jelasnya posisi agama dalam negara.

“Konsep agama kita, harus diizharkan (jelas). Islam dalam konteks beragama, sedangkan Pancasila dalam konteks bernegara,” kata Ma’mun saat menjadi narasumber pada Kajian Iktikaf malam itu.

Menurutnya, Indonesia adalah negara agamis (bersifat agama). Pancasila disusun berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, oleh karenanya dalam praktik bernegara harus melibatkan Tuhan dan mengadopsi nilai-nilai ketuhanan. Nilai-nilai dalam Pancasila adalah nilai-nilai ketuhanan. Ma’mun menjabarkan nilai-nilai Pancasila yang senafas dengan nilai-nilai ketuhanan. “Masalahnya, pancasila tidak dihadirkan. Pancasila itu disimpan di laci. Sedangkan yang ada adalah kapitalisme, liberalisme,” ungkap Ma’mun.

Selama mengisi kajian, beberapa kali ia menegaskan untuk memaknai katauhidan lebih dalam. Tidak hanya secara lisan melalui dua kalimat syahadat, namun harus dipahat dengan jelas dalam diri. Sehingga mental yang terbentuk adalah mental takut pada Allah, satu-satunya tempat bergantung dan meminta. Ma’mun mengajak ratusan jamaah iktikaf yang pada saat itu memenuhi masjid ‘Izaatul Islam, Bekasi, untuk mulai beribadah tidak hanya sampai pada dimensi ritual tapi juga bisa sampai ke dimensi sosial kemanusiaan. Sebab, ibadah yang diperintahkan bagi umat Islam memiliki dimensi sosial kemanusiaan.

Ma’mun juga mengatakan bahwa banyak UU yang tidak senafas dengan Islam, sosial dan kemanusiaan, adalah bukti bahwa ibadah yang dilakukan umat Islam di Indonesia belum sampai pada dimensi sosial kemanusiaan. Sehingga pesan sosial yang ingin disampaikan Allah tidak terjamah oleh setiap muslim. (DN)

Exit mobile version