Khutbah Idul Fitri: Menghidupkan Jiwa Welas Asih
Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir MSi
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan Rabbul Izzati. Allah yang melimpahkan nikmat dan karunia-Nya bagi segenap kaum muslimin hingga dapat menunaikan puasa dan ibadah Ramadhan serta menjalankan Sunnah Idul Fitri. Shalawat dan salam terlimpahkan bagi Nabi Muhammad, Rasul pembawa Risalah Islam sebagai misi pencerahan bagi umat manusia di seluruh persada bumi.
Pagi hari ini kaum muslimin di segenap penjuru bumi hingga di negeri ini menunaikan Idul Fitri. Semua mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih, tahmid, dan dzikir kepada Allah yang menggema ke seluruh penjuru negeri dan terhunjam dalam hati. Dengan berdzikir dilanjutkan shalat Idul Fitri yang khusyuk hingga ke relung hati itu dapat menjadi energi ruhani yang menghidupkan jiwa yang fithri untuk menjadi insan muttaqin nan sejati. Semoga kita yang menjalankan seluruh prosesi ibadah yang dituntunkan Nabi itu mendapat anugerah pencerahan diri sekaligus pahala di hadapan Ilahi Rabbi.
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah
Baru saja kita segenap kaum muslimin selesai menunaikan shaum atau puasa Ramadhan disertai rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan. Dalam Islam, puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya, tidak berhenti pada ritual semata. Ibadah hakikatnya ialah “taqarrub ila Allah” atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah, menjauhi larangan, dan melaksanakan apa yang diizinkan-Nya sebagaimana disunnahkan oleh Rasulullah. Dari makna ibadah tersebut terbentuk kesalehan seorang muslim yang memiliki hubungan baik dengan Allah (habluminallah) sekaligus hubungan dengan sesama (habluminannas) dan lingkungannya, sehingga terpancar rahmat bagi semesta alam.
Ibadah puasa bertujuan agar menjadikan orang beriman yang menjalankannya menjadi insan bertaqwa sebagaimana firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 183)
Oleh karena itu, di hari pertama setelah kita ditinggalkan bulan ramadhan ini ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri, “Apa saja yang membekas dalam diri dengan puasa dan rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan setiap tahun ini. Apakah kita sudah mendekati kriteria sebagai orang yang bertakwa?
Dalam QS Ali Imran: 134 Allah menyebut di antara ciri orang bertakwa ialah mereka yang senantiasa bersedia untuk berbagi dalam kondisi lapang maupun sempit, serta mampu menahan marah dan memberi maaf kepada sesama manusia.
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. (QS Ali Imran: 134).
Sedangkan di dalam (QS Al-Baqarah: 177) Allah juga mengingatkan kalau orang yang bertakwa itu selain beriman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Nabi, iman Hari Akhir, dan menegakkan shalat, juga harus mereka yang berzakat, memberi kepada orang miskin, dan berbuat baik kepada sesama.
لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah: 177).
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah
Dari dua ayat di atas, orang yang berpuasa diharapkan akan memiliki kualitas kesalehan yang otentik dan menjadi pembentuk tindakan yang mulia (al akhlaq al karimah). Perbuatan baiknya wujud kesalehan yang murni, tidak dibuat-buat. Insan muslim hasil puasa dan membentuk kualitas takwa akan menjadi aktor tangguh dari segala pandemi virus keburukan dan kemungkaran. Orang yang sungguh-sungguh bertakwa tidak akan korupsi, baik diawasi maupun tidak diawasi, ketika memperoleh peluang maupun tidak.
Dengan kata lain, manusia yang bertakwa akan senantiasa menggunakan akal-budinya dengan baik agar tidak berperangai seperti hewan, sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (Q.S. Al-A‘rāf: 179).
Memang, perilaku hewaniah itu kadang terlihat bias atau absurd karena sering dibingkai oleh alam pikiran dan ilmu pengetahuan yang secara teoritik tampak benar dan “maju”, tetapi sejatinya salah kaprah sehingga merendahkan martabat dan kemuliaan manusia. Manusia modern yang semestinya membangun kehidupan dengan keadaban luhur, malah jatuh ke dalam sangkar-besi kemodernan yang dibangunnya sendiri, sehingga menurut sosiolog Peter L. Berger manusia menjadi “chaos”, yakni menjalani kehidupan yang kacau.
Alam pikiran posmodern dengan nalar dekonstruksi dapat memutar balik epistemologi ilmu dan kehidupan yang benar menjadi salah atau disalahkan sebagaimana paradigma “post truth” yang kini meluas di ruang publik. Kemudian terjadi ironi, yang salah dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sementara yang benar disalahkan dan diketepikan. Kehidupan “chaos” seperti itu dalam rujukan nalar sejarah Tanah Jawa disebut hidup di zaman “Kalabendu” sebagaimana tertulis pada “Ramalan Jayabaya”.
Masih merujuk pada QS Ali Imran134, ibadah puasa idealnya juga harus semakin menyuburkan jiwa kasih sayang yang setidaknya teraplikasikan dalam kebiasaannya untuk terus berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit dan bersedia memberi maaf orang yang berbuat salah kepadanya bukan malah sebaliknya menjadi insan pengumbar amarah bukan penahan amarah. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya.
Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah. Nilai kasih sayang antar manusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadits Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit.” (H.R. ‘Abdullāh bin ‘Amr ra).
Islam juga mengajarkan nilai “tarāḥum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Surah Al-Mā‘ūn misalnya. Surah ini mengandung praksis kemanusiaan pro-duafa yang berwatak welas asih tersebut. Menurut Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924, nilai welas asih (kasih sayang) dari ajaran al-Mā‘ūn menjadi pembeda dengan pandangan tentang perjuangan manusia dalam seleksi alam ala Charles Darwin (The Origin Of Species).
Hukum evolusi alam hanya memberi peluang organisme unggul yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Narasi itu sejalan dengan hukum siapa yang kuat maka dia yang menang dalam teori “survival of the fittest” dari sosiolog Herbert Spencer. Sebaliknya, ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn justru mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama.
Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi” dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kyai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis).
Oleh karena itu, manusia yang bertakwa juga tidak akan menganggap dirinya dan memandang manusia yang lain sebagai makhluk indrawi semata sebagaimana paradigma nalar materialisme. Sebagai makhluk berakal-pikiran belaka dalam pandangan liberal-sekular, tanpa menyatukannya dengan unsur penting keruhanian dan jiwa (fitrah) beragama sebagaimana pandangan Islam yang holistik.
Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Termasuk dalam menempatkan musibah dan derita manusia sebagai urusan yang penting dan berharga, bukan sebagai persoalan parsial dan instrumental. Sebaliknya manusia sendiri jangan merendahkan martabat dan keberadaannya sehingga jatuh ke tempat yang hina dalam posisi yang serendah-rendahnya atau “asfala safilin” (Q.S. At-Tīn: 5).
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah
Walau sudah kita jalani selama satu bulan, ada baiknya kita memahami ulang makna puasa yang telah kita jalani. Semoga dengan selalu mengingat makna puasa ini, hidup kita selalu dapat terkendali untuk terus berproses menjadi manusia yang bertakwa.
Puasa atau al-shaumu mempunyai makna dasarnya ’berhenti dari’ atau al-imsak, yaitu ’menahan diri’. Verbal syariah menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedangkan Makna hakikinya ’menahan diri dari hawa nafsu atas dunia’, yang sering menjerumuskan manusia pada cinta dunia melampaui batas, sehingga hidupnya jadi pemuja kesenangan (hedonis), pengejar kegunaan (pragmatis), dan pemburu kesempatan (oportunistis) dengan mengabaikan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, dan etika.
Energi rohaniah ibadah puasa terletak pada daya pengendalian diri (self-control) setiap insan Muslim yang berpuasa dari segala pesona duniawi agar tak menjadi pemburu kuasa dunia yang melampaui takaran. Dunia diperbolehkan untuk diraih dan dinikmati secukupnya, selebihnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup bersama.
Urusan dunia, seperti meraih harta dan takhta, pun harus diikhtiarkan dengan cara baik dan diperuntukkan bagi kebaikan sehingga segala raihan duniawi itu menjadi bekal sekaligus jalan keutamaan menuju kebahagiaan hidup sejati di akhirat kelak. (QS Al-Qashas: 77).
Syed Ameer Ali memberi pemaknaan yang mendalam tentang kekhususan puasa dalam Islam. Ajaran puasa berbeda dengan tradisi pra-Islam, yakni sebagai ajaran ”pengekangan nafsu” dan bukan ”penebusan dosa”. Puasa dalam Islam, tulis Ameer, ”merupakan laku ibadah yang sah untuk mengendalikan hawa nafsu”. Latar historisnya, bangsa jahiliah sebelum Islam dikenal rakus, mengumbar nafsu, dan kejahatan yang melampaui batas. Karena itu, perlu didekonstruksi bukan dengan anti-pemenuhan kebutuhan duniawi, yang diperlukan pembatasan atau pengendalian.
Puasa merupakan representasi dari jalan rohani membangun benteng kokoh di dalam diri setiap Muslim dari keliaran nafsu duniawi yang sarat pesona. Hasrat makan, minum, dan hasrat biologis merupakan gambaran simbolis dari segala nafsu dunia, menurut sufi ternama Jalaluddin Rumi bagaikan ”ibu dari semua berhala”.
Segala petaka hidup bermula dari hawa nafsu primitif yang tak terkendali, yang mendorong manusia ingin menguasai dunia melampaui batasan. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, menguras alam, perang, dan berbagai kejahatan di muka bumi bermula dari hasrat berlebih akan kejayaan duniawi itu.
Hawa nafsu dunia, seperti penguasaan harta, takhta, dan kuasa inderawi lainnya, jika tanpa rem spiritual tidak akan pernah berhenti. Laksana pesona gunung emas dalam ilustrasi hadis Nabi. Jika manusia meminta gunung emas pertama, setelah memperolehnya akan meminta yang kedua, setelah itu meminta gunung emas ketiga.
Selalu banyak ruang, alasan, pembenaran, sekaligus faktor pendukung bagi manusia untuk memenuhi hasrat duniawinya yang tak berkesudahan. Tuhan pun memberi label ”at-takatsur” bagi mereka yang rakus dunia itu, yang tiada akan berhenti kecuali ajal kematian memisahkannya.
Karena itu, tulis Syed Ameer, ”Puasa amat cocok sebagai cara untuk mengendalikan dorongan nafsu hewani manusia, terutama di kalangan suku-suku bangsa yang masih setengah beradab”.
Makna lainnya, tanda bangsa beradab ialah hidup bermartabat dan tidak rakus dalam memenuhi kebutuhan duniawi, serta memanfaatkan kecukupan kuasa dunia itu untuk hidup bermakna dan berfaedah menggapai derajat keutamaan.
Meminjam teori Abraham Moslow, tingkat hidup manusia bergerak dari pemenuhan kebutuhan primer yang elementer menuju aktualisasi diri yang substantif sehingga proses pencapaian hidupnya bergerak dari struktur bawah yang serba inderawi ke tangga teratas yang bersifat rohani sarat arti hakiki.
Titik tuju puasa agar setiap insan Muslim meraih puncak kualitas diri terbaik yakni menjadi al-muttaqun, orang-orang bertakwa (QS Al-Baqarah: 183). Di antara ciri bertakwa ialah memberi di saat lapang dan sulit, menahan marah, memberi maaf, serta tidak melakukan perbuatan buruk dan keji (QS Ali Imran: 134-135).
Mereka yang lulus puasa ialah yang sukses menaklukkan jiwa primitifnya menuju kualitas diri yang secara rohaniah paripurna. Itulah puasa sebagai jalan terjal menuju pencapaian puncak rohaniah tertinggi yang tercerahkan, yakni spiritualitas luhur perpaduan harmonis antara nilai-nilai Ilahiah dan insaniah yang terpancar dalam segala kebajikan hidup di muka bumi.
Puasa sebagai jalan rohani pengendalian hawa nafsu manakala dilakukan pada tingkat khusus (khawas al-khusus) melahirkan sikap futhuwah, kesatriaan diri. Ketika orang berpuasa diajak berseteru atau hal-hal buruk, dia akan menjawab ”inni shaimun”, aku sedang berpuasa.
Legasi dan cita-cita hidupnya naik kelas signifikan dari kegemaran meraih kesuksesan fisik-ragawi ke spiritualitas tertinggi (irfa’), yang mencerahkan semesta kehidupan bersama. Meminjam diksi Yuval Harari, manusia berspiritualitas tinggi orientasi hidupnya bergerak dari homo sapiens ke homo deus untuk menjadi makhluk tingkat dewa.
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah
Dari sisi yang lain, puasa sejatinya merupakan energi rohaniah yang dahsyat untuk diproyeksikan membangkitkan kekuatan umat Islam agar menjadi khayra ummah di bumi nyata. Dimulai dari membangun kekuatan rohani sebagai basis utama, kemudian memancarkan perubahan alam pikiran, tindakan, dan karya atau amaliah yang berkemajuan sesuai dengan jiwa Islam.
Islam yang membangkitkan kesadaran untuk maju meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (QS Al Baqarah: 201). Islam yang meletakkan takwa sepadan dengan kesadaran masa depan terdekat (dunia) maupun terjauh atau akhirat kelak (QS Al Hasyr: 18).
Basis rohani yang dibangun puasa Ramadan ialah terbentuknya insan yang bertakwa sebagai aktor yang rohaninya sempurna atau paripurna sebagai kekuatan penggerak kehidupan yang baik dan luhur. Baik secara vertikal (habluminallah) maupun horizontal (habluminannas). Hal ini sesuai dengan tujuan puasa agar pelakunya menjadi orang yang bertakwa, la’allakum tattaqun (QS Al Baqarah: 183).
Takwa adalah puncak kualitas kepribadian dan sosok terbaik manusia yang berbasis pada iman dan kebaikan yang melampaui (QS Al Baqarah 177). Orang bertakwa itu mampu menahan amarah dan pemaaf sekaligus menjadi sosok terbaik (QS Ali Imran: 134).
Orang bertakwa, baik sebagai pemimpin negara, pengusaha, politikus, pegawai, profesional, elite masyarakat, dan lebih-lebih pejabat serta tokoh agama, haruslah memiliki sifat nabi. Yaitu, sidik, amanah, tabligh, fatanah, dan uswah hasanah.
Kesalehan dan keberagamaan orang takwa tidak disalahgunakan untuk meraih kepentingan-kepentingan duniawi yang rendahan. Serta menghalalkan segala cara yang tercela, baik atas nama pribadi maupun kroni dan golongan.
Bermula dari kualitas individu muslim yang bertakwa kemudian bertransformasi secara kolektif menjadi umat terbaik. Dari pribadi takwa yang berkualitas tinggi terbentuk masyarakat dan kehidupan yang berkualitas utama, yakni umat terbaik di segala bidang kehidupan.
Karena itu, agar puasa tidak berhenti menjadi ritual ibadah yang formalistis mengikuti rukun syariat semata, jadikan ibadah tahunan tersebut sebagai proses transformasi rohaniah yang aktual. Itu demi menuju terbentuknya umat Islam berkualitas dan tampil sebagai khalifah di muka bumi.