Peran Pers Islam dalam Dakwah di Era Digitalisasi
BANTUL, Suara Muhammadiyah – Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Piyungan menyelenggarakan kegiatan Kajian I’tikaf dengan tema “Merayakan Ketangguhan Menyongsong Kejayaan Islam” pada Senin, 25 April 2022. Kajian tersebut mengundang beberapa tokoh, salah satunya datang dari Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media / Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari, MA. Dalam kajian itu, Deni membawakan materi tentang “Peran Pers Islam Dalam Dakwah di Era Digital.”
Menurut Deni, pers sebagai media komunikasi yang berfungsi menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain (informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol). Pers bisa berwujud koran, majalah, radio, dan televisi.
Sedangkan pers Islam bermakna kegiatan jurnalistik yang dikelola dan melayani kebutuhan umat Islam, baik materi maupun nilai. Secara khusus, Deni membentangkan pelbagai fungsi pers Islam,
pertama pers Islam sebagai Mujadid (pembaharuan). Pers tidak hanya sekadar menyajikan data, informasi, tetapi ada subjektivitas pers untuk melakukan pembaharuan atau perubahan.
Kedua, pers Islam sebagai intelektual. Maknanya kehadiran pers Islam tidak sekadar orang atau pembaca seperti air mengalir, akan tetapi ada aspek edukasi, pemikiran, yang diterima oleh pembacanya.
Ketiga, pers Islam sebagai Murabbi. Pers Islam harus memberikan aspek penilaian yang bersifat mengajak pada pihak orang yang membacanya.
Keempat, pers Islam sebagai Musaddid. Artinya sebagai kontrol dan koreksi. Jadi jika ada yang salah di luar dirinya di dalam lingkungan dan kehidupan, maka pers berfungsi sebagai Musaddid.
“Inilah empat dari pembeda pers Islam secara fungsi dengan pers atau media secara umum. Pers Islam punya kepentingan terhadap perubahan. Yang kita sebut sebagai Mujaddid. Lalu pers Islam punya kepentingan terhadap ilmu pengetahuan yang kita sebut sebagai intelektual. Pers Islam punya kepentingan terhadap Murabbi, yang kita sebut sebagai pendidikan dan pengajaran. Dan pers Islam punya kepentingan sebagai Murabbi, yakni kontrol, fungsi, dan pengingat terhadap kondisi-kondisi kehidupan,” terangnya dalam Kajian I’tikaf bersama AMM Piyungan.
Pers Islam pertama kali meluncur di permukaan pada tahun 1884. Nama medianya bernama Urwatul Wustqa. Media ini digagas oleh Jamaludin al-Afghani as-Sayid Muhammad bin Shafdar Al-Husaini di Timur Tengah. Beliau lebih dikenal sebagai Jamaludin al-Afghani. Media tersebut penerbitannya bukan di Timur Tengah, melainkan di Prancis, Eropa Barat.
Urwatul Wustqa sebagai media Islam yang mendorong spirit berupa Pan-Islamisme atau jami’atul Islam, yakni persatuan Islam. Dalam pandangan Jamaludin al-Afghani, kemunduran (demoralisasi) umat Islam masa kini persoalan utamanya bersumbu pada tidak adanya persatuan umat Islam. “Umat Islam tercerai berai, umat Islam saling konflik dan bertengkar. Maka menurut Jamaludin al-Afghani salah satu untuk membangkitkan kehidupan umat Islam harus dimunculkan jami’atul Islam. Gagasan ini di dorong oleh media Urwatul Wustqa,” tukas Deni.
Kemudian, dilanjutkan pada tahun 1898 oleh muridnya, Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syam al-Din Al-Qalamun atau dikenal dengan Rasyid Ridha menerbitkan Majalah Al-Manar.
“Majalah Al-Manar ini sering bagi kita di kalangan Muhammadiyah menjadi salah satu referensi KH Ahmad Dahlan untuk melalukan pembaharuan Islam di tanah air karena salah satunya adalah bersumber dari Al-Manar ini,” tutur Deni.
“Al-Manar ini lebih menekankan pada pandangan keagamaan. Menurut Rasyid Ridha, kemunduran umat Islam ini terjadi adanya praktik keberagamaan yang keliru di dalam tubuh umat Islam. Maka untuk melakukan purifikasi ala Muhammadiyah atau melakukan dinamisasi pikiran keagamaan, Rasyid Ridha menerbitkan Majalah Al-Manar,” tambahnya.
Di tanah air, pers Islam pertama kali mengudara bernama Majalah Al-Munir pada tahun 1915. Majalah yang digagas oleh Abdullah Ahmad di Padang Panjang, Sumatera Barat ini sebenarnya terinspirasi dari Majalah Al-Manar. Majalah ini memiliki visi yang sama, bahwa kemunduran umat Islam, khususnya di Sumetera Barat, adalah kepercayaan-kepercayaan yang bersifat tahayul. Dan Majalah Al-Munir ini membawa pada gagasan-gagasan pembaharuan pemikiran keagamaan.
Selain daripada Majalah Al-Munir, ada jua Majalah Suara Muhammadiyah (Soeara Moehammadijah). Majalah ini terbit pada tahun 1915 tepatnya bulan Zulhijjah 1333 H dan dirintis oleh KH Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin. Sampai saat ini, majalah Suara Muhammadiyah masih tetap terbit menemani masyarakat. Tak pelak majalah ini banyak sekali menorehkan penghargaan, yakni dari Rekor Muri (2013) sebagai majalah Islam yang terbit berkesinambungan terlama. Kemudian berlanjut tahun 2017 dari SPS sebagai salah satu Majalah tertua di Indonesia. Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Padang, Sumatera Barat, 2018, Majalah Suara Muhammadiyah mendapatkan penghargaan dalam kategori Kepeloporan Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan terakhir mendapatkan Penghargaan Kepatuhan Pelaksanaan UU No 4 Tahun 1990.
“Majalah Suara Muhammadiyah tidak jauh berbeda spiritnya dengan Majalah Urwatul Wustqa dan Majalah Al-Manar, yaitu melakukan pembaharuan terhadap pola pemikiran keagamaan, persatuan atau kebangsaan, dan pola-pola perubahan,” ungkap Deni.
Selama 1 abad, Suara Muhammadiyah mampu melakukan dakwah literasi. Yakni dakwah melakukan perlawanan kebodohan dan buta huruf. KH Ahmad Dahlan ingin mendorong bahwa perubahan kemajuan masyarakat, tidak bisa tanpa ilmu pengetauan. “Bapak-ibu bisa lihat, jauh sebelum kemerdekaan, belum banyak orang bisa baca tulis, tetapi KH Ahmad Dahlan bersama Haji Fachrodin mendirikan majalah ini sebagai lompatan berpikir yang sangat luar biasa,” papar Deni.
Majalah Suara Muhammadiyah tidak stagnan di sini saja, tetapi berlanjut dengan berdakwah literasi keagamaan dan kebangsaan. Suara Muhammadiyah hadir meluruskan paham-paham keagamaan, salah satunya perdukunan masyarakat pada saat itu. Lalu pemikiran keagamaan. Pada tahun 1924, Suara Muhammadiyah telah memperkenalkan bahasa Indonesia yang terbit di majalah tahun 1924. Masyarakat kenal Bahasa Indonesia pada tahun 1928, ketika Sumpa Pemuda. Tetapi, Suara Muhammadiyah telam melampaui terlebih dahulu dengan memperkenalkan Bahasa Indonesia melalui cover majalah tahun 1924.
Selanjutnya, Suara Muhammadiyah memberikan inspirasi dan aksi. Banyak sekali ragam inspirasi yang diberikan oleh Suara Muhammadiyah. Contoh konkretnya dengan lahirnya Majalah Suara ‘Aisyiyah pada tahun 1926. Mulanya hanya rubrik di Suara Muhammadiyah yang dikenal dengan rubrik Istri-Istri Islami pada tahun 1924-1925. Sehingga ada pemikiran untuk mendirikan sendiri majalah perempuan, maka lahirlah Majalah Suara ‘Aisyiyah yang masih terbit sempai sekarang.
Titik perbedaan antara media konvensional dengan media digital (new media), jika media konvensional berlandaskan pada media komunikasi yang menggunakan sarana cetak, elektronik, dan forum tata muka. Sedangkan media digital menekankan pada sarana komunikasi masa menggunakan digital dengan berbagai perangkat penghubung dan platfrom media yang sifatnya interaktif. Artinya saling timbal balik.
Deni juga membeberkan tentang tantangan dakwah di era digital.
Pertama, dakwah media konten menjadi terbatas.
Kedua, runtuhnya otoritas sumber pengetahuan keagamaan
Ketiga, munculnya ustad dan guru atau personal akan mudah jadi rujukan ketimbang organisasi
Keempat, kebebasan narasi, paham, dan perilaku keagamaan yang muncul
Di akhir acara, Deni menawarkan solusi terkait kehidupan dakwah di era digital ini
Pertama, menjadi dai mimbar sekaligus dai provider. Yakni dai yang tersambung dengan jaringan internet, Youtube, dan platfrom-platfrom media sosial. Dengan demikian, ketika para dai-dai mimbar ini berbicara, tidak sekadar orang yang mendengarnya secara tatap muka, tetapi secara luas tanpa lintas batas.
“Maka anak-anak muda ke depan harus hadir bukan hanya saja sebagai dai mimbar, karena sudah usang. Tetapi dai-dai provider, yakni dai yang bisa menyampaikan apa yang disampaikan terkoneksi di dalam platfrom media sosial,” pungkasnya.
Kedua, membangun konvergensi media digital di lingkungan persyarikatan. Konvergensi sebagai media-media yang terkoneksi. “Jadi antara platfrom Youtube, Instagram, Facebook, Twitter, Telegram, Kilogram, apapun namanya, itu terkoneksi. Inilah konvergensi,” kata Deni.
Ketiga, membentuk dan memperkuat kelompok digital native sebagai pengumpul, penyimpan, pengelola dan pendistribusian konten dakwah.
“Karena tadi saya sebutkan semua kita adalah jurnalis. Semua kita adalah wartawan. Maka, anak-anak muda ke depan harapan saya ada satu kelompok orang yang berjihad membentuk pengumpul, penyimpan, pengelola dan pendistribusian,” papar Deni. (Cris)