Perjuangan Muhammadiyah dalam Mengokohkan NKRI

Muhammadiyah

Perjuangan Muhammadiyah dalam Mengokohkan NKRI

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menyelenggarakan seminar virtual sejarah pada Rabu (27/4). Kegiatan tersebut menghadirkan Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Drs. Syukriyanto AR MHum serta Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta M Yuanda Zara MA PhD. Selain untuk menyediakan media pembelajaran untuk dunia pendidikan, kegitan tersebut juga dimaksudkan sebagai bahan masukan untuk pengelolaan Museum Benteng Vredeburg.

“Semoga seminar pada pagi hari memberikan kontribusi kepada Museum Benteng dalam rangka mengembangkan peran sejarah dalam penguatan pendidikan karakter generasi muda dan juga membantu dunia pendidikan dalam menyediakan sarana dan media untuk belajar sejarah,” harap Kepala Museum Benteng Vredeburg Drs Suharja dalam sambutan.

Muhammad Yuanda Zara dalam materinya bertajuk “Menjadi Indonesia via Muhammadiyah: Sebuah Refleksi Sejarah” menerangkan bahwa sebelum menjadi aktor global, Muhammadiyah merupakan organisasi yang berasal dari kampung kecil. Terhitung lebih dari se-abad, Muhammadiyah telah bertransformasi dan terus menuangkan pemikiran serta usahanya dalam membangun negara, melalui organisasi yang identik dengan keagamaan, sosial, pengelolaan pendidikan, mengadaptasikan Islam dan modernitas, dan merupakan perlawanan terhadap tradisi sinkretisme.

Lebih jauh menurut Yuanda, kaum pribumi pada masa kolonialisme cenderung tertinggal dalam berbagai bidang meliputi pendidikan, ekonomi, hinggan kesehatan. Sementara kaum muslim masih berkutat pada taklid dan takhayul. Lebih parah, agama bahkan kerap dipisahkan dengan kemajuan.

Menampik berbagai fenomena tersebut, Muhammadiyah menurut Yuanda percaya bahwa kaum pribumi dapat maju, yang dimulai dengan cara berpikir. Hal itu dilakukan dengan mengadaptasi Islam dan dunia modern. Berbagai elemen-elemen modernitas diadopsi ke dalam cara pandang hidup muslim Hindia Belanda kala itu.

“Contohnya seperti pembetulan arah kiblat Masjid Gedhe Kauman, pendirian organisasi modern, fokus pada ilmu pengetahuan, dan adopsi penggunaan alat transportasi dan komunikasi modern,” papar Yuanda.

Pada masa kolonialisme, pendidikan umat Islam jauh tertinggal. Sementara pada masa itu, sekolah belanda sangat elitis, sekuler dan bertujuan untuk mengokohkan kolonialisme. Alih-alih menolak bentuk pendidikan besutan Belanda tersebut, Muhammadiyah lanjut Yuanda justru menggunakan metode pembelajaran dan kurikulumnya dengan memadukan antara pelajaran agama Islam, pelajaran ilmu umum, dan Bahasa.

“Sekolah Muhammadiyah menjadi era modern pendidikan Indoonesia, dengan kombinasi antara pelajaran keagamaan Islam, pelajaran ilmu umum dan Bahasa berbasis lokal.” Lanjutnya.

Keresahan berikutnya juga terkait dengan kesehatan masyarakat. pada masa itu, standar kesehatan penduduk pribumi lebih rendah. Fasilitas kesehatan hanya tersedia bagi orang Belanda dan kalangan bangsawan. Karena itu Muhammadiyah menginisiasi pendirian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem)—kini PKU (Pembinaan Kesejahteraan Umat)—pada tahun 1923. Muhammadiyah menyadari bahwa selain rohani dan otak, tubuh juga perlu dijaga. Sehingga tidak hanya menyembuhkan orang sakit, tapi juga membentuk tradisi penjagaan kesehatan secara modern di antara kaum pribumi.

Selain gerakan sosial-keagamaan, Muhammadiyah lanjut Yuanda juga merupakan gerakan literasi. Ihwal tersebut teraktulisasi dalam pendirian Majalah Soewara Moehammadijah yang berdiri dua tahun setelah pendirian Muhammadiyah. yakni tahun 1915.

“Pers Muhammadiyah adalah ruang publik di mana masyarakat Hindia Belanda mendiskusikan isu sosial-keagamaan dengan Bahasa Indonesia,” lengkapnya.

Demikian halnya dengan bayangan tentang Peta Indonesia. Sejak lama, Muhammadiyah telah memiliki suatu peta imajiner besar tentang wajah bumi Indonesia. Hal itu terjadi akibat penyebaran Muhammadiyah ke luar jawa sehingga melahirkan pengetahuan tentang tanah air Hindia Belanda. Tidak hanya itu, Rapat Umum Lokal atau dikenal dengan vergadering dan kongres tahunan Muhammadiyah merupakan kegiatan berpetualang yang dilakukan oleh warga Muhammadiyah. kongres yang bersifat nasional tersebut memungkinkan peserta kongres melintasi puluhan, ratusan, bahkan hingga ribuan kilometer wilayah Indonesia.

“Menjadi Indonesia adalah sebuah proses yang sudah berakar di pohon sejarah Indonesia, dan salah satu akar kokoh penopang pohon itu, yang tertanam dalam, kuat dan menjalar ke berbagai arah bernama Muhammadiyah.” tutup Yuanda.

Pada kesempatan yang sama, Drs. Syukriyanto AR MHum juga menyampaikan bahwa sebelum kemerdekaan hingga proklamasi, tidak lepas dari peran tokoh Muhammadiyah. Proklamasi kemerdekaan misalnya. Ir Soekarno merupakan anggota Muhammadiyah sejak tahun 1938 di Bengkulu. Sementara yang menjahit bendera Merah Putih merupakan istri Soekarno, ibu Fatmawati yang juga merupakan anggotta Nasyiatul ‘Aisyiyah.

Selanjutnya, dalam agenda mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih terus mendapat ancaman dari berbagai negara, juga tidak lepas dari kiprah tokoh Muhammadiyah. Sudirman melalui perang gerilya, Juanda dengan mendampingi Ir. Soekarno pasca Drs Mohammad Hatta mengundurkan diri dan deklarasi 1957, dan juga Suharto dengan penyelamatan Indonesia dari G30S/PKI.

Syukriyanto menambahkan bahwa dalam membangun dan menguatkan NKRI dapat dilakukan melalui seni dan budaya modern.

“Membangun karakter bangsa dan mengembangkan peradaban berkemajuan lewat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi digital, seni budaya khususnya lewat film,” jelasnya.

Di akhir paparannya, Syukriyanto juga menambahkan beberapa sifat Muhammadiyah. antara lain yaitu beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan; memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah; lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam; bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah; amar ma’ruf nahi mungkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik; aktif dalam perkembanga masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran islam; kerja sama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama islam serta membela kepentingannya,

“Sembilan membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridai Allah.”

“Sepuluh bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana,” lengkapnya. (dandi)

Exit mobile version