Tradisi Mudik di Indonesia Tidak Hanya Aktivitas Fisik
BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Di Indonesia, kegiatan mudik menjadi sesuatu hal yang menarik, bahkan sudah menjadi tradisi sejak lama.
Tradisi yang dilakukan jelang hari raya idul fitri tersebut sudah berlangsung sejak 1970-an. Namun kian populer pada 1990 atau saat pembangunan ibu kota Jakarta makin gencar.
Ditemui di ruang kerjanya, Selasa (26/04/2022), pemerhati sosial-budaya sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung), Sopaat R. Selamet, M.Hum., menjelaskan perihak tradisi mudik.
Sopaat mengatakan, secara bahasa mudik berasal dari kata “udik” (kampung) yang saat ini menjadi istilah nasional.
”Ketika itu banyak tuntutan pemerintah untuk melakukan pembangunan besar-besaran khususnya di Kota Jakarta,” ucap Sopaat.
Hal tersebut menjadikan Jakarta sebagai pusat perputaran ekonomi sebanyak 70 persen hingga 80 persen dibandingkan dengan daerah lain.
”Ibu kota menjadi tujuan dan tumpuan harapan untuk perbaikan hidup. Karena itulah terjadi urbanisasi,” lanjutnya.
Orang-orang dari berbagai daerah yang bekerja di Jakarta harus bertahan hidup selama bertahun-tahun untuk memenuhi kebutuhan.
”Situasi tersebut yang membuat teman-teman kita di ibu kota memunculkan kerinduan terhadap kampung halaman terutama yang tempat tinggalnya jauh,” jelas pria yang mengajar di Fakultas Agama Islam UM Bandung itu.
Selain itu, kegiatan mudik juga memiliki nilai-nilai spiritualitas yang menjadikan gambaran bagi orang-orang untuk kembali ke kampung halaman sejatinya.
”Mudik itu bukan saja perjalanan fisik dari kota ke desa, tapi juga perjalanan rohani. Atau gambaran perjalanan manusia kembali ke asal,” tutur alumnus Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu.
Tak hanya itu, Sopaat pun menyampaikan bahwa aktivitas mudik tak dapat digantikan oleh apa pun, walau era komunikasi digital kian masif.
Dan hal itu masih belum cukup untuk menutupi rasa kerinduan orang terhadap kampung halamannya.
”Coba kita silaturahmi dengan saudara di kampung by phone atau video call. Tapi hal itu beda rasanya dengan ketemu langsung, bersimpuh di kaki orang tua,” tegas Sopaat.
Positif dan Negatif Mudik
Tak sedikit dari para pemudik adalah mereka yang bekerja di kota. Mereka, tentu saja memperoleh Tunjangan Hari Raya (THR) yang sebagiannya akan dibagikan ke sanak saudara.
Secara tidak sadar, pada saat itulah di kampung tersebut terjadi perputaran ekonomi. Otomatis hal itu meningkatkan daya beli masyarakat.
”Kalau sanak saudaranya maju di kota, lalu balik ke kampung bisa menebar kebaikan, baik secara batiniah maupun lahiriah,” ungkapnya.
Di sisi lain, ada pula sebagian pemudik yang membawa budaya negatif ke kampung halamannya.
”Mau tidak mau, pergaulan di ibu kota yang negatif mungkin terbawa karena tidak kesengajaan, itu pun kalau ada,” tinjau Sopaat.
Meskipun begitu, ia berharap orang-orang yang menjalankan ibadah puasa selama satu bulan tumbuh kesadaran untuk memperbaiki diri.
“Puasa menjadikan manusia memiliki tenggang rasa, peduli, berbagi kebaikan kepada sanak saudaranya maupun teman-temannya ketika mudik,” imbaunya. (Firman Katon)