Khutbah ‘Idul Fithri 1443 H / 2022 M.
Mewujudkan Insan Bertaqwa Pasca Ramadhan
Oleh: Al Ust. DGH. Ahmad Jama’an MY, Wakil Ketua PDM Kab. Sumbawa
Jamaah shalat “Idul Fitri hafizhakumullah.
Lebaran atau momen Idul Fithri hampir selalu diwarnai dengan gegap gempita kegembiraan umat Islam di berbagai penjuru.Gema takbir dikumandangkan di malam harinya, kadang disertai sejumlah aksi pawai. Pada pagi harinya pun mayoritas dari mereka mengenakan pakaian serba baru, makan makanan khas dan istimewa, serta bersiap bepergian untuk silaturahim ke sanak kerabat hingga berkunjung ke beberapa wahana liburan yang menarik.
Umat Islam merayakan sebuah momen yang mereka sebut-sebut sebagai “hari kemenangan”. Tapi kemenangan atas apa?
Jamaah shalat Idul Fitri hafidhakumullah…
Idul Fithri tiba ketika umat Islam menjalankan ibadah wajib puasa Ramadhan selama satu bulan penuh.Sepanjang bulan suci tersebut, mereka menahan lapar, haus, hubungan seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam.Secara bahasa, shaum (puasa) memang bersinonim dengan imsâk yang artinya menahan.Ramadhan merupakan arena kita berlatih menahan diri dari segala macam godaan material yang bisa membuat kita lupa diri.
Proses latihan tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan terhadap hal-hal yang sebelumnya halal, seperti makan dan minum. Inilah proses penempaan diri. Targetnya: bila manusia menahan diri dari yang halal-halal saja mampu, apalagi menahan diri dari yang haram-haram. Puasa itu ibarat pekan ujian nasional bagi siswa sekolah. Selama seminggu itu para murid digembleng untuk belajar lebih serius, mengurangi jam bermain, dan menghindari hal-hal lain yang bisa mengganggu hasil ujian tersebut.
Ramadhan tentu lebih dari sekadar latihan.Ia wahana penempaan diri sekaligus saat-saat dilimpahkannya rahmat (rahmah), ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari api neraka (itqun minan nâr). Aktivitas ibadah sunnah diganjar senilai ibadah wajib, sementara ibadah wajib membuahkan pahala berlipat-lipat.
Selayak siswa sekolah yang mendapatkan rapor selepas melewati masa-masa krusial ujian, demikian pula orang-orang yang berpuasa.Setelah melewati momen-momen penting sebulan penuh, umat Islam pun berhak mendapatkan hasilnya.Apa hasil itu? Jawabannya tak lain adalah predikat “takwa”, sebagaimana terdapat di al-Baqarah ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Takwa merupakan standar paling tinggi tingkat kemuliaan manusia.Seberapa tinggi derajat mulia manusia tergantung pada seberapa tinggi takwanya.Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum.Dalam konteks puasa Ramadhan, tentu takwa tak bisa digapai dengan sebatas menahan lapar dan dahaga.Ada yang lebih substansial yang perlu ditahan, yakni tergantungnya manusia kepada hal-hal selain Allah, termasuk hawa nafsu. Orang yang berpuasa dengan sungguh- sungguh akan mencegah dirinya dari segala macam perbuatan tercela semacam mengubar syahwat, berbohong, bergunjing, merendahkan orang lain, riya’, menyakiti pihak lain, dan lain sebagainya. Tanpa itu, puasa kita mungkin sah secara fiqih, tapi belum tentu berharga di mata Allah subhanahu wata’ala.
Rasulullah sendiri pernah bersabda:
Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR Imam Ahmad)
Allahu Akbar Allahu Akbar
Walillahilhamd !
Jamaah shalat Idul Fitri hafidhakumullah,
Karena puasa sudah kita lewati dan tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi, pertanyaan yang lebih relevan bukan saja “kemenangan atas apa yang sedang kita Idul Fihtri?” tapi juga “apa tanda-tanda kita telah mencapai kemenangan?”. Jangan-jangan kita seperti yang disabdakan Nabi, termasuk golongan yang sekadar mendapatkan lapar dan dahaga, tanpa pahala?
Jika standar capaian tertinggi puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati Ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn (orang-orang yang bertakwa).Semakin tinggi kualitas takwa kita, indikasi semakin tinggi pula kesuksean kita berpuasa.Demikian juga sebaliknya, semakin hilang kualitas takwa dalam diri kita, pertanda semakin gagal kita sepanjang Ramadhan.
Lantas, apa saja ciri-ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri orang takwa. Salah satu ayatnya terdapat dalam Surat Ali Imran:
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ (senang/lapang) dan pada saat dlarrâ’ (susah/kekurangan), dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran: 134)
Jamaah shalat ‘Idul Fitri hafidhakumullah !
Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa.
Pertama, gemar menginfakkan atau menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit. Orang bertakwa tidak akan sibuk hanya memikirkan diri sendiri. Ia mesti berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban untuk orang lain dalam setiap keadaan. Bahkan, ia tidak hanya suka memberi kepada orang yang dicintainya, tapi juga kepada orang-orang memang membutuhkan.
Dalam konteks Ramdhan dan ‘Iedul Fithri, sifat takwa pertama ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh Islam melalui ajaran zakat fitrah. Zakat fitrah merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian kepada mereka yang lemah.Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’ yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus.Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat fitrah hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.
Ciri kedua orang bertakwa adalah mampu menahan amarah.Marah merupakan gejala manusiawi. Tapi orang-orang yang bertakwa tidak akan mengumbar marah begitu saja. Al-kâdhim (orang yang menahan) serumpun kata dengan al-kadhîmah (termos). Kedua-duanya mempunyai fungsi membendung: yang pertama membendung amarah, yang kedua membendung air panas.
Selayak termos, orang bertakwa semestinya mampu menyembunyikan panas di dadanya sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tahu bahwa ia sedang marah. Bisa jadi ia tetap marah, namun ketakwaan mencegahnya melampiaskan itu karena tahu mudharat yang bakal ditimbulkan. Termos hanya menuangkan air panas pada saat yang jelas maslahatnya dan betul-betul dibutuhkan.
Patutlah pada kesempatan lebaran ini, umat Islam mengontrol emosinya sebaik mungkin.Mencegah amarah menguasai dirinya, dan bersikap kepada orang-orang pernah membuatnya marah secara wajar dan biasa-biasa saja. Ramadhan semestinya telah melatih orang untuk berlapang dada, bijak sana, dan tetap sejuk menghadapi situasi sepanas apa pun.
Ciri ketiga orang bertakwa adalah memaafkan kesalahan orang lain. Sepanjang Ramadhan, umat
Islam paling dianjurkan memperbanyak permohonan maaf kepada Allah dengan membaca: “Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku.”
Kata ‘afw (maaf) diulang tiga kali dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah SWT.Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai hamba yang banyak kesalahan dan tak suci.
Cara ini, bila dipraktikkan dengan penuh pengahayatan, sebenarnya melatih orang selama Ramadhan tentang pentingnya maaf. Bila diri kita sendiri saja tak mungkin suci dari kesalahan, alasan apa yang kita tidak mau memaafkan kesalahan orang lain? Maaf merupakan sesuatu yang singkat namun bisa terasa sangat berat karena persoalan ego, gengsi, dan unsur-unsur nafsu lainnya.
Amatlah arif ulama-ulama di Tanah Air yang menciptakan tradisi bersilaturahim dan saling memaafkan di momen lebaran.Sempurnalah, ketika kita usai membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kepada Allah, selanjutnya kita saling memaafkan kesalahan masing-masing di antara manusia.
Sudah berapa kali puasa kita lewati sepanjang kita hidup? Sudahkah ciri-ciri sukses Ramadhan tersebut melekat dalam diri kita?
Wallahu a’lam bish shawab