Ketika Tangan yang Bicara
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Pada akhir-akhir ini medsos dapat menjadi ladang pahala, tetapi dapat juga menjadi sumber bencana dunia akhirat. Bagi tangan orang saleh, medsos merupakan ladang pahala yang sangat subur. Oleh karena itu, mereka menggunakannya secara maksimal untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Orang saleh berpegang teguh pada keimanannya bahwa semua organ (termasuk tangan) bakal dimintai pertanggungjawaban.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman di dalam surat Yasin (36): 65,
اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”
Namun, ada orang yang memanfaatkan tangannya justru untuk memprovokasi, memfitnah, menyebarkan berita hoax, atau menyebarkan ujaran kebencian melalui medsos. Bahkan, di antara mereka bukan orang yang sama sekali tidak tahu ayat tersebut. Motivasinya beragam. Ketika masa menjelang pilpres, motivasi politik sangat kental. Akan tetapi, di balik motivasi itu, ada motivasi fulus. Boleh jadi, motivasi kedua itu sesungguhnya yang lebih kuat. Ada pula di antara mereka yang hafal ayat tersebut, tetapi tidak memahami kandungan isinya. Tentu orang-orang yang demikian belum memanfaatkan tangannya secara maksimal untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Sementara itu, di dalam surat adz-Dzaariyat (51): 56 Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.”
Berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala pada surat adz-Dzaariyat (51): 56, kita pahami bahwa semua anggota tubuh kita harus kita gunakan untuk beribadah. Namun, pada kajian ini, mari secara khusus kita mawas diri berkenaan dengan ibadah tangan kita. Pada era gadget, menulis pesan melalui WA menjadi bagian dari aktivitas rutin tiap hari. Dalam keadaan normal, mungkin ada yang sampai lebih dari 24 kali menulis pesan melalui WA dalam sehari, baik untuk menginisiasi maupun untuk merespon. Hal ini berarti tiap 1 jam ada aktivitas tangan menulis pesan melalui WA lebih dari sekali. Nah, dapatkah kita berharap dari aktivitas itu nilai ibadah secara maksimal?
Berkenaan dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam surat Yasin sebagaimana telah dikutip, mari kita renungkan dialog berikut ini dan kita bayangkan bahwa kita yang mengalami.
“Dari Anas bin Malik raḍiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kami berada di sisi Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam satu waktu. Lalu, beliau tertawa. Maka berkatalah beliau, “Apakah kalian tahu apa sebab aku tertawa?” Kami jawab, “Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu.” Lalu, sabda beliau, “Aku tertawa menyenangkan seorang hamba akan menghadap kepada Tuhannya, lalu dia berkata, “Ya, Tuhanku! Bukankah Tuhan telah memastikan bahwa Tuhan tidak akan berlaku aniaya kepaku?” Tuhan berfirman, “Memang demikianlah!” Lalu, hamba itu berdatang sembah lagi. “Ya, Tuhanku! Aku tidak hendak menerima kesaksian tentang diriku, melainkan dari dalam diriku sendiri!” Lalu, Tuhan berfirman, “Cukuplah pada hari ini dirimu sendiri jadi saksi atas dirimu! Dan Malaikat-Malaikat pencatat yang mulia (Kiraaman Kaatibiin) saksi luar.” Lalu, mulut si hamba itu pun ditutup. Maka diperintahkan Tuhanlah anggota tubuh si hamba itu supaya berbicara. Lalu, berbicalah anggota tubuhnya itu menjelaskan apa-apa yang telah diamalkan. Setelah selesai, diberilah si hamba itu kesempatan berkata-kata kembali. Lalu, dia berkata, “Celaka kalian, jauhlah kalian, sengsaralah kalian. Aku menutup mulut, kalian yang bicara, padahal kalian yang aku perjuangkan.” (HR Muslim)
“Kemudian, Kami utus saksi kami sekarang juga kepada engkau. Lalu, berpikirlah dia sendiri, siapakah agaknya saksi yang akan menyaksikan atas aku.” Maka ditutuplah mulutnya dan dikatakan kepada pahanya dan dagingnya dan tulangnya, “Berbicaralah!” Maka berbicaralah pahanya dan dagingnya dan tulangnya, menerangkan amalnya. Dan yang demikian itu adalah untuk melemahkan dari dirinya. Dan itulah orang-orang yang munafik dan itulah orang-orang yang murka Allah telah menimpa dirinya.” (HR Muslim dan HR Abu Hurairah)
Semoga bukan tangan kita yang bicara berikut ini.
“Yang Mulia! Hamba tahu bahwa jin dan manusia Engkau ciptakan adalah untuk beribadah pada-Mu! Hamba pun telah, sedang, dan akan terus melakukannya. Pada era gadget pun hamba beribadah. Bahkan, meningkat frekeunsinya. Misalnya, menulis salam, tetapi hamba singkat dengan assalamu ‘alaikum wr.wb. Kadang asslkm. Kadang juga ass. atau askum. Di samping itu, hamba menjawab salam, tetapi hamba singkat juga dengan W3 atau wa’alaikum salam.
Masih ada lagi, Yang Mulia, yakni menulis untuk mengamini doa, tetapi hamba singkat juga dengan Amin 3X YRA. Agar praktis dan hemat kata Tuan Hamba. Kadang-kadang untuk membalas doa, cukup hamba tulis, “Doa yang sama saya sampaikan juga.” Tuan Hamba tidak menggunakan hamba untuk menulisnya lengkap. Untuk menulis shalawat shallallahu ‘alaihi wasallam, Tuan Hamba lebih suka singkatan saw. Begitu pula untuk menulis Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga hamba singkat dengan Swt. atau SWT. Selain itu, pernah juga hamba merespon tausiyah. Hamba klik saja stiker. Hamba pilih yang tanpa kata-kata karena semua paham apa maksud stiker itu.
Yang Mulia! Hamba digunakan juga untuk menulis tahniyah. Misalnya,“ Selamat dan sukses atas prestasi Anda.” Namun, sering hamba posting saja stiker ibu jari! Untuk pengantin, hamba menulis doa, “Semoga menjadi keluarga samawa.” Kan, Islam menghendaki kemudahan?
Tuan Hamba juga menggunakan hamba untuk berzikir sesudah salat. Namun, em … lebih lama untuk pegang rokok! Kalau zikir lama ngantuk, tetapi pegang rokok lama nggak.
Hamba digunakan untuk memberi juga, tetapi lebih sering berharap menerima. Kemudian, hamba digunakan untuk membuka dan memegang Alquran, tetapi lebih sering dan lama untuk membuka dan memegang hp.
Oh, ya, Yang Mulia! Hamba jarang sekali menulis untuk silaturahmi di GWA, kecuali jika tuan hamba ingin mengabarkan tentang dirinya. Kalau ada anggota grup yang menyapa, sangat jarang merespon.
Ketika di masjid, Tuan Hamba tidak menyuruh hamba untuk mematikan hp. Hamba malah sering digunakan untuk membuka hp. Lalu, membalas WA.
Ada yang, aneh, Yang Mulia. Ketika akan salat Jumat, ada pengumuman dari Takmir agar hamba mematikan atau menonaktifkan jamaah yang membawa hp. Ketika ngaji, ada pengumuman dari panitia. Begini kalimatnya,
“Dimohon dengan hormat kepada jamaah yang membawa hp atau alat komunikai lainnya agar dimatikan atau dinonaktifkan!”
Bukankah kalimat itu berarti bahwa hamba disuruh mematikan atau menonaktifkan jamaah yang membawa hp atau membawa alat komunikasi lain?
Mari kita sadari. Salam adalah doa. Jika menulis doa dan mengamininya dengan menyingkat-nyingkat dengan alasan praktis dan hemat, pantaskah? Menyingkat-nyingkat yang tidak semestinya merupakan kemalasan. Nah, sopankah beribadah dengan cara seperti itu? Bandingkan jika menulisnya secara lengkap! Jari bergerak, hati bergetar, dan lidah melisankannya meskipun secara syir! Saraf pada otak, otot, darah, paru-paru, dan mata; juga yang lain, berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Bukankah tangan dengan kelengkapannya dan semua itu merupakan kenikmatan dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang sempurna, baik dari segi konstruksi maupun fungsinya dan kita peroleh secara gratis dan built in?
Sangat banyak aktivitas tangan yang dapat menjadi ladang pahala dan mendatangkan keberkahan jika kita menggunakannya dengan niat ibadah. Tangan dapat kita manfaatkan untuk menulis dan/atau meneruskan tausiyah yang mencerahkan hati dan pikiran. Bahkan, tangan dapat kita gunakan untuk menulis dan/atau meneruskan berbagai informasi seperti cara memasak dengan menu makanan halal, membuat minuman sehat yang halal, membuat kerajinan, dan menanam tanaman hias; lengkap dengan videonya. Jika mempunyai keahlian di bidang olahraga seperti badminton dan pingpong, tangan dapat dimanfaatkan untuk menulis dan/atau meneruskan berbagai informasi atau petunjuk praktis tentang bermain badminton dan pingpong secara detail. Agar lebih lengkap, tentu disertai video peragaannya.
Masih ada lagi! Makan atau minum dengan tangan kanan ibadah. Memberikan kepada atau menerima sesuatu dari orang yang kita hormati dengan tangan kanan merupakan ibadah. Cebok dengan tangan kiri ibadah karena melaksanakan perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengikuti perintahnya, berarti beribadah!
Bagaimana halnya merespon tausiyah dengan stiker tanpa kata-kata? Adakah respon balik? Tidak! Namun, jika merespon dengan kata-kata lengkap, terjadilah saling mendoakan. Masya-Allah!
Kata-kata tahniyah yang dilengkapi frasa, “dalam rida Allah!” bermakna bahwa siapa pun dinyatakan sukses jika dalam rida Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Lalu, mengapa ada yang lebih senang menulis kata-kata “Doa yang sama” dan menulis “samawa” daripada menulisnya lengkap? Merasa punya “tabungan” pahala yang melimpah?
Jika tangan justru kita gunakan untuk memosting hoax, ujaran kebencian, video porno, atau kemaksiatan lainnya, tangan kita pun menjadi sumber bencana dunia akhirat. Sudah sangat banyak contoh yang dapat dijadikan pembelajaran. Karena tangan digunakan untuk memosting hoax, ujaran kebencian, mencuri, memalsukan dokumen, menandatangani surat keputusan yang melawan hukum negara juga melawan hukum Allah Subhaanahu wa Ta’aala, “tuannya” menerima hukuman.
Memang di antara pemilik tangan ada yang belum dikenai hukuman. Namun, kita sebagai orang beriman harus yakin bahwa pada saat yang telah ditetapkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala, mereka pasti terkena hukuman karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak pernah ingkar janji sebagaimana firman-Nya di dalam surat Ali ‘Imran (3): 194,
رَبَّنَا وَاٰتِنَا مَا وَعَدْتَّنَا عَلٰى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ اِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
“Ya, Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat. Sesungguhnya, Engkau tidak menyalahi janji.”
Inilah janji-Nya. Di dalam surat an-Nahl (16): 97, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Sementara itu, di dalam surat al-Isra’ (17): 7 Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ الْاٰخِرَةِ لِيَسٗۤـُٔوْا وُجُوْهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوْهُ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّلِيُتَبِّرُوْا مَا عَلَوْا تَتْبِيْرًا
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri.”
Mari kita pahami dengan seutuhnya makna ayat tersebut. Karena yang menjelaskan perbuatan baik dan buruk tersebut adalah Allah Subhaanahu wa Ta’aala, kita menentukan baik buruk perbuatan itu tentu menurut Dia. Kita wajib taat apa saja yang dinyatakan-Nya sebagai perbuatan baik, kita kerjakan. Apa saja yang dinyatakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala sebagai perbuatan buruk, kita tinggalkan. Kita wajib beriman, apa pun yang baik menurut Allah Subhaanahu wa Ta’aala, pasti baik bagi kita. Apa pun yang buruk menurut Allah Subhaanahu wa Ta’aala, pasti buruk bagi kita.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman di dalam surat al-Zalzalah (99): 6-8,
يَوْمَىِٕذٍ يَّصْدُرُ النَّاسُ اَشْتَاتًا ەۙ لِّيُرَوْا اَعْمَالَهُمْۗ
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ
“Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.”
Mari kita pahami dan amalkan! Amal baik buruk kita betapapun kecilnya ada dalam pengawasan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, dan kita pasti menerima balasan. Jika belum kita terima di dunia, pasti kita terima secara sempurna di akhirat sebagaimana dijanjikan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala, di antaranya, di dalam surat Ali ‘Imran (3): 25,
فَكَيْفَ اِذَا جَمَعْنٰهُمْ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيْهِۗ وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).”
Nah, jika penggunaan tangan untuk menulis doa, mengamini doa, merespon tausiyah, menulis tahniyah, dan lain-lain kita niatkan untuk beribadah, mau lanjut dengan menyingkat-nyingkat atau hanya dengan meng-copy paste stiker tanpa kata atau abai sama sekali?
Wa Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota