YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sanggar Srengenge Emas Yogyakarta, sebagai wadah jaringan komunitas olah seni dan budaya, yang melihat aspek religi dan tradisi penting sebagai identitas jatidiri bangsa, menyelenggarakan berbagai kegiatan guna memberikan edukasi literasi ke masyarakat luas.
Salah satu acara yang digelar bersama bidang Seni Budaya dan Olahraga IMM AR Fakhuddin Kota Yogyakarta, berupa Malam Minggu Legen bertajuk “Edukasi Tradisi – Literasi” bertempat di Teras Sanggar Srengenge Emas, Cebongan RT 11, Cungkuk, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu Kliwon (14/5/2022) mulai pukul 19.30 WIB hingga paripurna, sebagai wahana pembelajaran bagi mahasiswa atau generasi muda yang ikut terlibat didalamnya maupun segenap pengunjung.
KRT Akhir Lusono selaku praktisi budaya, dalam paparannya mengungkapkan bahwa kembalinya Malam Minggu Legen ini ada ruang kebersamaan, sesrawungan dan sinau bareng seni budaya. Dalam tradisi Jawa merupakan bagian dari aktifitas sosio-relijius yang penting didalam ekologi budaya Jawa.
Salah satu penanggap kegiatan Ki. Ashad Kusumadjaya menuturkan, “Sangkan Paraning Dumadi penalaranya merupakan kondisi atau upaya seseorang untuk bisa mengetahui asal-muasal dan tujuan akhir hidup manusia. Sangkan berarti permulaan, paran berarti tujuan dan dumadi adalah kehidupan,” katanya.
Sebagai sebuah falsafah yang melekat di antara para penganut kepercayaan, Ki Ashad mengakui bahwa masih ada sesuatu yang rahasia bagaimana sebenarnya sangkan paraning dumadi tersebut. “Ilmu itu kalau belum ketemu tentunya rahasia dan misteri, sama misterinya dengan pengertian tuhan dan manusia kemudian berupaya untuk meningkatkan pengetahuannya itu. Itu terjadi karena keterbatasan manusia dan kemahabesaran tuhan,” katanya.
Dikatakan Sofyan Faisnanto, kegiatan tersebut masih berlanjut setiap 35 hari sekali dengan mengelilingkan edukasi-literasi budaya Jawa ke kantong-kantong mahasiswa dan masyarakat luas. “Atas nama IMM AR Fakhruddin kami sangat mengapresiasi hadirnya wahana tukar kawruh dan ruang ekspresi ini selain untuk mengelilingkan literasi tentang seni budaya, besar harapan dapat kian meneguhkan identitas luhur budaya di kalangan mahasiswa dan masyarakat umum agar tidak mudah luruh termakan zaman” pungkas Faiz.
Malam Minggu Legen diakhiri dengan pementasan Wayang oleh Ki Selamet GCS dengan cerita lakon Semar Mbangun Budoyo mengambaran kehidupan manusia secara konkret beserta norma-norma yang hidup di dalamnya. Dengan sifat karakternya yang cukup beragam dan unik sebagaimana manusia baik secara individual maupun sosial.
“Manungso mung ngunduh wohing pakarti” – seseorang akan memetik hasil dari perbuatannya. Kebaikan akan mendatangkan kemuliaan di kemudian hari, kezaliman akan mendatangkan kesengsaraan bagi dirinya dan keluarganya. Wayang bukan sebatas tontonan, tetapi juga penuh tuntunan.
Mari kita kedepankan budaya sebagai jati diri bangsa dengan mempraktekkan dalam kehidupan sehari- hari. Dengan senantiasa menaati etika dan norma yang ada dan hidup dalam masyarakat. Pemimpin dengan berpegang teguh kepada etika dan norma kepemimpinannya, tentu atas kesadaran sendiri, bukan karena disadarkan, apalagi sampai dipaksakan oleh rakyat jelata sebagaimana digambarkan Semar untuk bendoronya para Pandawa. (Sofyan)