Prof Haedar Nashir: Pentingnya Nilai-Nilai Kehidupan Utama
MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir, MSi menghadiri acara Syawalan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Makassar di Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan pada Senin (16/5).
Acara sakral tersebut dihadiri oleh beberapa tamu undangan yakni Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Dr Hj Siti Noordjannah Djohantini, MM., MSi, Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, Prof H Lincolin Arsyad, MSc., PhD, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan sekaligus Rektror Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Makassar, Prof Dr H Ambo Asse, MAg, Direktur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dr Andi Afdal, MBA, AAK, Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah se-Sulawesi Selatan, Ketua Dewan Guru Besar UNISMUH Makassar, Prof Dr Irwan Hakim, MPd, dan beberapa tamu undangan lainnya.
Dalam memberikan amanat dan ceramah syawalan di kampus tersebut, Prof Haedar mengatakan silaturahmi yang terjalin dalam kegiatan sakral ini terangkai dengan serangkaian ritus peribadatan Ramadan yang telah dilaksanakan selama sebulan penuh dengan seluruh rangkaian ibadah lainnya. Dan puncaknya adalah Hari Idul Fitri yang dimaknai sebagai hari raya berbuka puasa. Sebuah hari di mana seluruh umat Islam wajib berbuka puasa dan diharamkan untuk menjalankan puasa.
“Seluruh rangkaian perjalanan ibadah kita yang intensif selama satu bulan, ditambah dengan Idul Fitri tentu membuat kita menjadi insan-insan yang al-muttaqun, yang derajatnya seperti yang disampaikan oleh Prof Ambo, meningkat menjadi al-mukhsinun,” pungkasnya dalam ceramah Syawalan PWM Makassar, Sulawesi Selatan.
Spirit silaturahmi dan segenap rangkaian ibadah yang ditunaikan, harus memiliki al-qimah al-khayah al-fadhilah. Yaitu nilai-nilai kehidupan yang utama. “Kita dalam hidup dengan dasar Islam, dengan ajaran Islam, sejatinya kita diajari untuk memiliki nilai kehidupan yang utama. Hidup tidak sekadar menjalankan tugas sehari-hari, tetapi hidup yang penuh makna dan arti bagi kehidupan kita sendiri, keluarga, masyarakat, persyarikatan, bangsa, negara, dan kemanusiaan semesta. Itulah makna nilai kehidupan yang utama,” ujarnya.
Menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu, di antara nilai-nilai kehidupan utama yang harus ditumbuh-suburkan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara setidaknya terdapat lima nilai penting.
Pertama, nilai ukhuwah oragnisasi yang utama. Dalam ukhuwah lintas personal, terkadang dengan mudah untuk terus dibina dan dirawat. Tetapi, berbeda halnya dengan ukhuwah lintas jami’ah (organisasi). Ukhuwah ini perlu perjuangan, kesabaran, dan kesungguhan dari umat Islam. Karena ukhuwah ini melibatkan relasi hablu min al-nas dengan jumlah yang banyak.
“Inilah yang perlu kita hidupkan, bagaimana kita bisa bersilaturahmi semakin baik hubungan kita antara wilayah, daerah, cabang, dan sebagainya. Kemudian juga antar personal kita dalam konteks sistem,” katanya.
Kedua, nilai ukhuwah al-insaniyah yang melahirkan ihsan. Ihsan merupakan ajaran yang memiliki kedudukan tertinggi dalam hubungan lintas batas kemanusiaan yang mampu melahirkan kebajikan melampaui. Dalam konteks Covid-19, banyak sekali pelajaran kemanusiaan yang dapat mengetuk pintu hati. Prof Haedar mengajak kepada umat Islam untuk saling memiliki rasa empati terhadap sesama umat manusia lain. Inilah yang menjadikan hati tercerahkan.
Ketiga, nilai-nilai kebangsaan yang luhur atau utama (qimatul ukhuwah al-muwathaniyah). Umat Islam harus menumbuhkan jiwa kebangsaan yang tinggi dan utama. “Kalau kita mau mengajak orang berjiwa kenegarawanan (futhuwahi), maka harus di mulai dari kita,” katanya.
Keempat, nilai-nilai beragama yang hanif (qimatul diiniyah al-hanifiyah as-samhah). Idul Fitri dikaitkan dengan puasa akan membentuk orang menjadi takwa. Lalu dari sini akan menjadi orang yang tazzakka harus bisa melahirkan jiwa yang bukan suci, tetapi justru merasa kurang dalam beragama. Tujuannya agar mencapai beragama yang hanif.
Nabi Muhammad SAW ditanya “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah? Maka beliau bersabda al-haanifiyyah, yakni beragama yang hanif yang membawa pada as-samhah.” (HR. Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas). Kata as-samhah memiliki arti membolehkan, mengizinkan, lapang hati, welas asih, dan tasamuh. Jadi beragama yang lurus, tetapi melahirkan jiwa as-samhah, lapang hati dalam beragama, toleran, yang tentu memiliki prinsip, tetapi menebar benih-benih kebaikan.
“Orang Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah pada umumnya jiwa beragamanya seperti itu (as-samhah). Cuman mungkin, artikulasi kita yang perlu terus diperbaiki agar semangat beragama itu melahirkan empati, simpati, dan orang lain merasa memperoleh rahmat,” tukasnya.
Kelima, nilai-nilai kemajuan (qimatul qadariyah). Bulan Syawal di maknai sebagai menjalankan aktivitas yang proaktif dalam kehidupan. Momentum Syawal ini harus dijadikan wahana untuk meningkatkan kualitas kemajuan. “Orang Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah memiliki etos kerja dan perubahan tinggi, hanya saja bagaimana kita mengakapitalisasi kemajuan itu. Semua harus digerakkan agar Muhammadiyah bisa berperan untuk memajukan umat dan bangsa karena mempunyai kualitas. Termasuk kualitas sumber daya manusia,” terangnya. (Cris)