Milad ‘Aisyiyah ke-105, Wejangan Sarat Makna dari Menlu RI

Aisyiyah

Milad ‘Aisyiyah ke-105, Wejangan Sarat Makna dari Menlu RI

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – ‘Aisyiyah sebagai Gerakan Islam Perempuan Berkemajuan pada 19 Mei 2022 merayakan miladnya yang ke-105 tahun. Sebuah rentang usia panjang dan sarat akan pergumulan suka duka. Milad ‘Aisyiyah kali ini mengambil tema “Sukseskan Muktamar ke-48: Perempuan Mengusung Peradaban Utama”. Acara puncak Milad ‘Aisyiyah dipusatkan di Gedung Siti Bariyah Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Beberapa tamu yang hadir antara lain dari Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi, SH., LLM, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Dr Hj Siti Noordjannah Djohantini, MM., MSi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr H Haedar Nashir, MSi, Rektor Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Warsiti, SKp., MKep., Sp., Mat, seluruh Pimpinan Pusat Muhammadiyah beserta jajaran, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah beserta jajaran, dan beberapa tamu undangan lainnya.

Dalam keynote speechnya, Retno membeberkan selain menghadapi krisis Covid-19, dunia juga menghadapi krisis lainnya. Hal ini tentu membuat upaya global untuk menangani pelbagai problem dunia menjadi sulit. Menurut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Manuel de Oliveira Guterres, GCC GCL, menyerukan seluruh negara untuk menyelamatkan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) yang terus mengalami kemunduruan bukan kemajuan akibat berbagai krisis yang terjadi.

Menurut Retno, kemiskinan dan kesetaraan gender menjadi salah satu yang terdampak. Di tahun 2020 terdapat 100 juta orang baru ke bawah garis kemiskninan. Pemenuhan hak-hak perempuan juga mengalami kemunduran hingga 1 generasi. Berdasarkan laporan WEF mengenai kesenjangan global untuk tahun 2021 menyebutkan dibutuhkan 135,6 tahun untuk menutup kesenjangan gender global. Di bidang politik, dibutuhkan 145,5 tahun untuk mencapai kesetaraan gender. Dalam partisipasi ekonomi, dibutuhkan 267,6 tahun untuk mengakhiri kesenjangan gender.

“Di semua krisis yang terjadi, wanita selalu menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Konflik di Ukraina misalnya, 5,5 juta orang mengungsi, 90% di antaranya adalah perempuan dan anak. Banyak perempuan mendadak menjadi kepala keluarga. Begitu pula dengan pandemi Covid-19, wanita menjadi kelompok yang paling terdampak,” terangnya saat memberikan keynote speech di acara Milad ‘Aisyiyah ke-105.

Menurut oxfam, wabah Pandemi Covid-19 telah membuat perempuan kehilangan pendapatan sekitar USD 800 milar pada tahun 2020. Jumlah tersebut setara dengan PDB 98 negara dan perempuan kehilangan lebih dari 64 juta pekerjaan atau sebesar 5 persen lebih tinggi dari laki-laki yaitu 3,9 persen.

Di satu sisi, perempuan memiliki potensi yang sangat besar. Dari sisi jumlah penduduk dunia, sebanyak 49,6 persen penduduk dunia merupakan perempuan. “Perempuan dapat menjadi agen perubahan dan agen pembangunan,” katanya.

Di Indonesia sebanyak 53,7 persen dari UMKM yang merupakan tulang punggung nasional dimiliki oleh perempuan. Dan 97 persen karyawannya adalah perempuan. Di sektor kesehatan di mana 70 persen tenaganya adalah perempuan. “Data tersebut semakin menguatkan peran penting perempuan sebagai agen perubahan dan pembangunan”, jelasnya.

Untuk menjadikan perempuan agen perubahan, pembangunan, perdamaian, dan toleransi, terdapat fondasi yang perlu disiapkan.

Pertama, memperkuat pendidikan. Muhammadiyah memiliki peran yang sangat penting dalam hal pendidikan. Pendidikan tidak hanya memperbaiki kualitas individu, melainkan kualitas masyarakat. Inilah awal terciptanya suatu bangsa yang beradab (civilized nation).

Ilmu pengetahuan dapat membawa dan membuka cakrawala kaum perempuan di berbagai bidang. Di era kartini, misalnya pendidikan bagi kaum perempuan telah banyak mengalami kemajuan. Data dari BPS tahun 2021, hampir 98 perempuan berhasil menyelesaikan pendidikan dasar. 10 dari 100 perempuan juga telah menamatkan perguruan tinggi. Hal ini tentunya tidak lepas dari kontribusi dan peran lembaga-lembaga pendidikan, organisasi masyarakat seperti ‘Aisyiyah.

“Saya sangat mengapreasisi ‘Aisyiyah yang sejak didirikan lebih dari 1 abad yang lalu, telah konsisten mendorong akses pendidikan formal dan non-formal bagi masyarakat Indonesia,” pungkasnya.

Kedua, pentingnya komitmen politik. Penilitian menunjukkan setidaknya perlu 30 persen keterwakilan perempuan untuk dapat mempengaruhi suatu kebijakan. Rendahnya keterwakilan perempuan akan mempengaruhi kurangnya kebijakan yang responsif terhadap isu gender. “Ini adalah sebuah situasi yang masih menjadi tantangan semua di seluruh dunia, keterwakilan perempuan di dalam pengambilan keputusan agar keputusan tersebut dapat lebih responsif terhadap isu gender,” terangnya.

Ketiga, dukungan sosial kemasyarakatan. Hal terpenting di sini adalah kehadiran dan dukungan penuh keluarga. Bagi Retno, mengembangkan sebuah kemitraan yang baik dengan kaum laki-laki penting sekali artinya, sehingga tercipta enabling environment yang dapat mendukung kemajuan kaum perempuan. (Cris)

Exit mobile version