Nostalgia Perjuangan Kiai, Bekal Spirit Perjuangan Masa Kini dan Nanti

kiai

KH Ahmad Dahlan (Dok SM)

Nostalgia Perjuangan Kiai, Bekal Spirit Perjuangan Masa Kini dan Nanti

Oleh: Muhammad Irfan Hakim

Pada masa pra kemerdekaan atau masa kolonialisme, belum terlahir negara Indonesia, yang ada yaitu Nusantara atau lebih dikenal dengan Hindia Belanda. Nusantara, sebagai cikal bakal Indonesia pada saat itu mengalami masa kelam karena tercengkram oleh kolonialisme. Baik kolonialisme yang dilakukan oleh Portugis, Belanda, Inggris, maupun Jepang, memberikan sumbangan yang besar bagi beban kemajuan bangsa. Kemiskinan dan kelaparan merajalela, kebodohan masih terpelihara, dan masalah kesehatan menjadi problema. Penjajahan memang berdampak cukup berat bagi bangsa, serta menjadi salah satu faktor predisposisi terbesar bagi kesengsaraan bangsa.

Tampaknya bukan hanya permasalahan politik, pendidikan, ekonomi dan kesehatan, krisis keagamaan ternyata terjadi juga. Ditandai dengan praktik-praktik keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam tersebar dengan luasnya. Hal tersebut kita kenal dengan penyakit TBC, yaitu takhayyul, bid’ah, churafat. Berbagai permasalahan bangsa itu direkam dan disadari adanya oleh seorang anak kecil yang lahir pada 1 Agustus 1868, yaitu bernama Muhammad Darwisj. Tentunya pembacaan kondisi bangsa itu terlahir dari proses kontemplasi dan pengamatan yang kritis dan mendalam. Begitulah, seharusnya sikap seorang muslim terhadap semesta, karena ajaran Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk bersikap kritis, peka, dan solutif terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya.

Muhammad Darwisj tumbuh dalam masyarakat yang sedang terpuruk kala itu. Ia berusaha melakukan Iqro’ (pembacaan secara kritis dan radikal) terhadap realitas sosial yang terjadi pada masa itu. Dari hasil pembacaan tersebutlah, ia berusaha merumuskan atau mencari solusi alternatif dari problema yang melanda. Dimulai dari belajar agama secara sungguh-sungguh pada guru-gurunya, dan dengan tekadnya yang bulat, ia memberanikan diri untuk berhaji pertamanya, sekaligus menimba ilmu di kota Mekkah di usia yang belum cukup dewasa. Mekkah pada masa itu menjadi “tempat reuni” para cendikiawan muslim dan tempat berdiskusi, membincangkan persoalan umat, dan merancang strategi untuk mencapai kemajuan dan perbaikan umat.

Darwisj kecil tumbuh dan berkembang menjadi K.H. Ahmad Dahlan. Sebuah transisi diri hasil dari sebuah proses dialektika yang kuat. Melahirkan sosok Ahmad Dahlan yang semakin matang untuk berjuang, karena telah melalui proses penempaan diri yang panjang dan berliku. Ilmu pengetahuan yang didapat dari berbagai sumber referensi (terutama dari para guru dan cendikiawan muslim pada masa itu), dicoba untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial bermasyarakat di Kauman, Yogyakarta. Internalisasi nilai-nilai yang diyakini sebuah kebenaran dan kebaikan memang tidak mudah, penuh tantangan dan rintangan dialami oleh Ahmad Dahlan.

Cobaan perjuangan memang berat dan tak mudah. Ahmad Dahlan pada masa itu mendapat berbagai macam tindakan diskriminasi, bahkan persekusi dalam perjalanan dakwahnya. Mulai dari kekerasan verbal yang dilontarkan oleh banyak orang, seperti julukan “kiai kafir”, “sesat”, dan sebagainya. Hingga tindakan persekusi yang luar biasa dengan salah satu contohnya yakni dirobohkannya sebuah rumah perjuangan Ahmad Dahlan, yaitu “langgar kidul”. Pasti kalau pada masa kini, kelompok yang melakukan persekusi tersebut dapat digolongkan dalam kelompok radikal/ ekstrem.

Setelah sekian lama mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, KH. Ahmad Dahlan tetap sabar dan teguh di jalan dakwah. Hingga akhirnya pada tahun 1912 yang menjadi tahun bersejarah bagi pergerakan memperjuangkan kemerdekaan dan sebagai momentum perlawanan. Melawan kemiskinan, kebodohan, masalah kesehatan, kolonialisme dan berbagai problema kehidupan. Tahun tersebut adalah tahun dilahirkannya sebuah gerakan sosial berbasis ke-Islaman, yang hingga kini tetap eksis dan memberikan kontribusi konkret terhadap kemajuan, yaitu Persyarikatan Muhammadiyah. Tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 atau bertepatan dengan tanggal 18 November 1912, di Kauman, Yogyakarta.

“Jalan perjuangan itu terjal”, mungkin kalimat tersebut dapat menjustifikasi kisah perjalanan perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar KH. Ahmad Dahlan yang berat dan penuh rintangan. Selaras juga apa yang dinyatakan oleh Jenderal Sudirman, yaitu: “Menjadi kader Muhammadiyah itu berat. Ragu dan bimbang, lebih baik pulang saja”. KH. Ahmad Dahlan dan para pendahulu pejuang Muhammadiyah telah meninggalkan jejak perjuangan yang dapat kita tapak tiliasi.Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Tongkat estafet pada saat ini berada tangan kita. Bagaimana nasib umat, bangsa, dan persyarikatan secara determinatif, tergantung pada kualitas diri kita sebagai bangsa saat ini.

“Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu, warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi dimana dan kemana saja. Jadilah dokter sesudah itu kembalilah ke Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, da professional lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu”, merupakan wasiat visioner dari KH. Ahmad Dahlan yang perlu direnungkan dan menjadi bahan kontemplasi bersama, terutama warga Muhammadiyah. Salah satu makna tersirat dari wasiat terebut adalah bersikap adaptif, dinamis, fleksibel terhadap perkembangan zaman. Tinggalkan segala kejumudan, statisitas, dan lebih terbuka menerima suatu pembaharuan.

Bernostalgia dengan kisah perjuangan Kiai, diharapkan mampu melahirkan ghirah atau semangat juang bagi kita, generasi penerus tongkat estafet perjuangan bangsa dan persyarikatan. Dalam melanjutkan perjuangan, sebagai warga Muhammadiyah layaknya mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dalam mengepakkan sayap dakwahnya.

Sebagaimana ideologi Muhammadiyah yang modernis-reformis, yaitu senantiasa mengontektualisasikan Islam dengan modernisasi dan melakukan kebaikan sekaligus perbaikan pada kualitas kehidupan. Muhammadiayh berikhtiar untuk membawakan Islam dengan gaya khasnya, supaya terwujud agama Islam yang rahmatan lil alamin, sesuai dengan perkembangan zaman, dan mampu menjawab problematika kehidupan, serta mendorong perubahan kearah lebih baik.

Muhammad Irfan Hakim, Mahasiswa Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang

Exit mobile version