Silaturahmi dan Pelantikan Wakil Rektor UMRI, Ini Pesan Prof Haedar Nashir
PEKANBARU, Suara Muhammadiyah – Masih dalam momentum Syawal, Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) menyelenggarakan acara silaturahmi, yang kemudian disambung dengan pelantikan wakil rektor, Rabu (25/5). Di antara yang dilantik adalah Wakil Rektor I Bidang Akademik Dr Widarti Irma, SPd., MSi Wakil Rektor II Bidang Keuangan dan Administrasi Umum, Dr H M Rasyad Zein, MM, dan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Pembinaan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, dan Kerja sama, Dr Jufrizal Syahri, MSi Masa Jabatan 2022-2026. Turut hadir dalam acara tersebut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua dan Anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Riau, Gubernur Riau (diwakili), Ketua Majelis Diktilitbang (diwakili), Rektor dan seluruh civitas akademika UMRI.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir, MSi memberikan apresiasi dan tahniah kepada para wakil rektor yang baru saja dilantik. Dan pihaknya memberikan penghargaan pada rektor dan seluruh civitas akademika yang telah mengantar kampus UMRI sehingga menjadi universitas yang besar dengan mahasiswa 12 ribu memiliki potensi besar dalam mewujudkan kampus berkemajuan.
“Terima kasih atas segala pengkhidmatan dari semuanya yang telah berbuat yang terbaik untuk kampus sebagai kebanggan persyarikatan,” tukasnya.
Menurutnya, fungsi Perguruan Tinggi Muhammadiyah sebagai kekuatan penggerak persyarikatan. Sehingga program strategis Muhammadiyah dijalankan dengan baik oleh perguruan tinggi. “UMRI telah memelopori dua hal yakni mengembangkan wakaf tunai, di samping melaksanakan usaha-usaha unit bisnis yang memang menjadi bagian dari pengembangan perguruan tinggi. Dua pilar itu sebenarnya bisa akan makin membesarkan perguruan tinggi kita,” katanya.
Prof Haedar mengharapkan untuk semangat membangun kebersamaan dan kerukunan. Kebersamaan, kerukunan dan satu barisan dalam sistem kampus kita bersinergi dan bahkan maju bersama persyarikatan akan membuat kampus ini menjadi kampus yang jaya.
Pada saat yang sama, Prof Haedar menekankan pentingnya mempertautkan silaturahmi. DI kalangan internal persyarikatan Muhammadiyah, silaturahmi tidak sekadar Idulfitri, tetapi diteruskan dalam bingkai kehidupan sehari-hari. Silaturahmi harus ditingkatkan ke ranah jami’ah (organisasi). “Silaturahmi bukan hanya saja mempertautkan persaudaraan yang sudah tersambung, tetapi pada saat yang sama silaturahmi juga harus menyambung sesuatu yang putus, retak, sehingga kita menjadi utuh kembali,” terangnya.
Hal yang pokok menurut Prof Haedar adalah membangun kekuatan umat dari segi menjadikan nilai-nilai akidah dan akhlak menjadi keadaban dan peradaban publik kaum muslimin. Dengan demikian umat Islam dalam keragamannya bisa mencari titik-titik temu karena ada keadaban dan ingin membangun peradaban utama (khaira ummah). “Jika itu menjadi patokan, maka akan ada banyak ruang dan dialog untuk bertemu,” katanya.
Selanjutnya, dalam acara tersebut, Prof Haedar juga menyingung sedikit tentang buku terbarunya berjudul “Indonesia, Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa’. Menurutnya, buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang ditulis sejak tahun 2000 dan terpublis di Koran Republika pada kolom Refleksi yang terbit setiap sebulan dua kali, satunya ditulis oleh Prof Dr KH Didin Hafiduddin, MSc.
Menurutnya sudah ada sekitar 264 buah tulisan yang dilahirkannya ditengah kepemimpinannya memimpin Muhammadiyah, selain daripada mengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selain itu, di Rubrik Bingkai Majalah Suara Muhammadiyah juga menulis rutin dua kali sebulan, itu lebih banyak lagi yakni sekitar 700 an tulisan.
Alasan mendasar dari kegemarannya menulis-yang jarang dinikmati oleh kalangan banyak orang-ingin mentradisikan tradisi iqra’. Menurutnya, disinilah letak kekuatan besar Muhammadiyah.
Prof Haedar melalui buku ini mencoba membangun pemikiran yang lahir dari para pendiri bangsa. “Indonesia punya kekuatan besar karena memiliki tradisi sejarah dari kerajaan-kerajaan besar yang itu menjadi modal bagi tradisi kekuasaan, yang pada umumnya setelah era Hindu, kemudian kerajaan Islam, termasuk di Riau. Baik Hindu maupun Islam, kerajaan-kerajaan itu bahwa bangunan kekuasaan ada nilai agama dibaliknya atau dibawah dasarnya. Kemudian setelah kita merdeka, kita bersepakat tentang Pancasila yang dalam Muhammadiyah dikenal dengan istilah darul ahdi wa syahadah,” katanya.
Lebih dari itu, bangsa ini memiliki kebudayaan (culter) yang kuat disetiap daerah, di mana disinilah mengajarkan nilai-nilai kearifan yang dikenal dengan local wisdom. “Jika Indonesia ingin maju, maka tiga nilai dasar ini harus menjadi kekuatan nilai yang bertransformasi di dalam diri warga dan elite bangsa, tapi juga menginstitusionalisasi di dalam sistem berbangsa dan bernegara,” terangnya.
Indonesia harus bergerak menjadi sistem makin modern jika ingin maju. Sumber daya manusia dan alam terbilang baik. Akan tetapi jika sistem dan pengelolaan yang eksploitatif, maka hancur berkeping-keping apa yang dimiliki. “Maka ekonomi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pasal 33 sebagai ekonomi konstitusi, itu harus menjadi pijakan,” ujarnya.
Kemudian sistem pendidikan. Bangsa Indonesia akan maju jika memiliki pendidikan progresif dan memiliki kepribadian yang disebutkan di dalam Pasal 31, Iman, Takwa, Akhlak Mulia, nilai agama, dan kebudayaan luhur bangsa. “Kebijakan boleh berubah-ubah dari menteri siapapun. Tetapi tidak boleh mengingkari nilai-nilai dasar itu,” tegasnya.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan membawa misi tajdid, harus menjadi garis depan dalam menyebarluaskan dan menanamkan nilai-nilai agama yang mendamaikan, menyatukan, mencerdaskan, dan memajukan. Dengan demikian agama menjadi kekuatan dinul hadharah, membangun peradaban maju, utama, dan berintegritas. “Saya yakin Muhammadiyah dengan gerak seperti itu akan menjadi uswah hasanah. Indonesia di dalamnya Muhammadiyah harus menghadirkan nilai-nilai agama di ruang publik yang menyatukan, mendamaikan, mencerdaskan, memajukan, dan membangun peradaban. Saya percaya kita punya modal kuat untuk itu,” tukasnya. (Cris)