Enam Program Internasionalisasi Gerakan Muhammadiyah
SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48 kembali digelar pada Senin, (30/5) secara daring dan luring. Kali ini mennjadi tuan rumah penyelenggara adalah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah. Tema yang diangkat pada pagelaran seminar menyangkut “Internasionalisasi Gerakan Muhammadiyah”. Dalam acara ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSI turut hadir menjadi keynote speaker.
Menurut Haedar, tema tersebut merupakan satu bentuk ikhtiar Muhammadiyah dalam rangka memfiltrasi pelbagai masukan yang strategis dalam jangka panjang, utamanya Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah mengenai langkah-langkah Muhammadiyah dalam mewujudkan program internasionalisasi Muhammadiyah.
“Program internasionalisasi Muhammadiyah sejatinya telah merupakan langkah Muhammadiyah sejak berdiri meski saat itu lebih terbatas pada dunia Islam yang dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah abad 2 disebut sebagai ‘Embrio dari Kosmopolitanisme Muhammadiyah atau Kosmopolitanisme Islam bagian dari pencerahan Muhammadiyah yang terus berlanjut pada fase-fase berikutnya,” terang Haedar dalam Seminar Pra Muktamar “Internasionalisasi Gerakan Muhammadiyah.”
Sejak tahun 2000 yang juga selanjutnya dari Muktamar Aceh dan Muktamar Yogyakarta dibawah nakhida kepemimpinan Prof Amien Rais dan Azhar Basyir, kemudian disambung dengan Buya Prof Ahmad Syafii Maarif dan dikembangkan lebih intensif di era Prof Din Syamsuddin. Sehinga program internasionalisasi Muhammadiyah telah dilakukan oleh Muhammadiyah.
“Yang diperlukan kita saat ini adalah pengembangan lebih jauh dalam wujud revitalisasi dan transformasi internasionalisasi gerakan Muhammadiyah dalam fase berikutnya untuk lebih memberi dampak dan kehadiran Muhammadiyah di dunia internasional secara lebih masif dan sistematik,” tutur Haedar.
Secara garis besar, sebagaimana dibentangkan dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, Muhammadiyah hadir untuk melakukan transformasi gerakan pencerahan dalam dunia kemanusiaan semesta yang mewujud pada melakukan aktualisasi kosmopolitanisme Islam melalui gerakan internalisasi Muhammadiyah. Dalam perspektif kosmopolitanisme Islam, terdapat dua relevansi yang bisa dihadirkan dari Muhammadiyah.
Pertama, menghadirkan corak pandangan wasathiyah Islam berkemajuan yang bersifat universal untuk membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Di sini terdapat dua konteks yang bisa direlevansikan, yakni di era ketika dunia saat ini berada dalam fase globalisasi makin meluas dan tanpa batas atau melintas batas. Terdapat nilai positif dan kemajuan dari globalisasi.
Menurut Haedar, “Globalisasi juga cenderung membawa pada hegemoni, politik ekonomi dan budaya dari kekuatan-kekuatan global, baik yang datang dari negara maupun dari korporasi-korporasi besar, sehingga globalisasi yang bersifat hegemoni itu harus kita berikan pengaruh dengan kehadiran Muhammadiyah dan gerakan-gerakan kegamaan yang melintas batas membawa integrasi dan interaksi-kolaborasi, bukan hegemoni,” ujarnya.
Saat ini dihadapkan dengan era post-modern yang membawa paradigma humanisme-sekular dan liberal. Dalam tempo sepuluh tahun terakhir ini, lebih cenderung dan menguat pada memberi ruang bebas terhadap paham agnotisme dan ateisme di negara-negara timur tengah saat ini keduanya sudah menjadi bagian dari perkembangan post-modern.
Kemudian, tentang paradoks kemajuan. Di era sekarang terlihat nyata saat dunia memberi ruang demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan multikulturalisme. Pada saat yang sama juga memberi ancaman pada masa depan kemanusiaan. Paradoks kemajuan juga menyasar pada pertanggung jawaban pada basis perubahan iklim dan ini juga menjadi gerakan-gerakan keagamaan.
“Kita diingatkan oleh David Wallace Wells tahun 2019 tentang The Uninhabitable Earth, di mana dunia atau bumi satu-satunya tempat tinggal ini tidak lagi bisa ditempati karena ancaman perubahan iklim global yang berdampak luas pada berbagai hal, bukan hanya pada kondisi alam kita yang semakin tidak bersahabat dengan dan menjadi tempat kita hidup, tetapi juga berdampak pada ekonomi politik dan budaya di mana kita hidup berinteraksi,” pungkasnya.
Selanjutnya paradoks kemajuan yang lain adalah perang. Haedar mengatakan hiruk-pikuk yang terjadi di Rusia dan Ukraina membuat dunia bungkam. “Ketika satu nyata disebuah negara atas nama HAM, semua orang peduli. Tetapi ratusan mungkin ribuan orang meninggal karena perang di tengah dunia modern negara-negara nyaris tidak bisa berbuat banyak hatta melalui persyarikatan bangsa-bangsa sekalipun,” ujarnya.
Muhammadiyah melalui Islam berkemajuan perlu hadir kembali untuk memperkuat peran revitalisasi dan transformasi Islam berkemajuan di tingkat global. Haedar memberikan secercah program Muhammadiyah dalam memperkuat dan mengaktualisasikan internasionalisasi gerakan Muhammadiyah saling terkoneksi.
Pertama, revitalisasi PCIM dan PCIA sebagai sebuah jaringan baru untuk makin selain intensif hadir di setiap negara tetapi juga membangun jaringan luas agar berperan di ranah global secara proaktif. Ada perkembangan baru di mana PCIM dan PCIA yang sekarang jumlahnya ada 27 PCIM, di mana juga memulai mengembangkan relasi hadirnya Muhammadiyah yang memperoleh pengakuan badan hukum dibeberapa negara, Australia, Malaysia, dan Jerman Raya, Amerika Serikat.
“Saya pikir perpaduan antara PCIM dan PCIA sebagai perwakilan atau organ Muhammadiyah di setiap negara dengan pengakuan badan hukum Muhammadiyah di setiap negara akan memberikan ruang leluasa bagi peran Muhammadiyah antarbangsa,” katanya.
Kedua, program kontinuitas forum-forum dunia untuk agama dan perdamaian. “Kita berharap peran agama dan perdamaian dalam konteks dunia sarat paradoks perlu mencari ruang baru yang lebih efektif agar suara agama dan perdamaian tidak hanya sekadar deklarasi-deklarasi semata, tetapi bisa memengaruhi kehidupan dunia sarat konflik seperti yang telah saya sampaikan tadi,” tuturnya.
Ketiga, kerja sama pendidikan, kesehatan, kebencanaan, dan kemanusiaan yang selama ini sudah dilakukan oleh Muhammadiyah, perlu interkoneksi satu sama lain. “Kita sudah membuka sekolah untuk alternatif bagi para pengungsi sekaligus juga saudara-saudara kita di Rohingnya dengan sekolah Indonesia lalu di Beirut kita membuka madrasah Muhammadiyah, juga tempat-tempat lain di mana kita perlu hadir. Saya pikir ini merupakan langkah yang cukup menantang bagi hublu lewat berbagai jaringan dan majelis kita untuk kerja sama pendidikan, kesehatan, kebencanaan, dan kemanusiaan,” katanya.
Keempat, diaspora kaderMU. Kader Muhammadiyah di berbagai negara juga tentu bukan hanya mereka berada di sana, tetapi harus satu jaringan besar dari kehadiran Muhammadiyah lewat para aktor dan kader yang potensial untuk bisa berperan sesuai dengan bidang dan kepentingan Muhammadiyah di ranah global.
Kelima, publikasi internasional. Penerjemahan buku-buku dan pemikiran-pemikiran Muhammadiyah merupakan keniscayaan dan harus ada proses yang masif. Haedar meyakini kehadiran universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sangatlah penting dan diharapkan.
Keenam, membangun pusat keunggulan. Haedar menekankan pentingnya membangun dan mengembangkan pusat-pusat keunggulan Muhammadiyah sebagai fase baru dan program baru pada periode ini untuk internasionalisasi gerakan Muhammadiyah yang konkret dan nyata, tetapi juga memberi dampak dalam menghadirkan Muhammadiyah ke dunia internasional.
“Mudah-mudahan apa yang kita lakukan sambung bersambung dari periode ke periode ini merupakan agenda yang terus berkembang pada masa-masa yang akan datang, yang hadir tidak lewat hanya orang-orang saja, tetapi lewat sistem. Orang bisa datang dan pergi, tetapi sistem akan memberikan jaminan kita untuk hadir di masa yang akan mendatang secara lebih kontinu dan berkesinambungan bahkan lebih kuat peran dan kehadirannya di tingkat internasional,” tutupnya. (Cris)