Menghitung Hari

Menghitung Hari

Ilustrasi Dok Kalender Muhammadiyah

Menghitung Hari

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Judul tulisan ini tidak ada hu­bungan sama sekali dengan lagu yang dilantunkan oleh Kris Dayanti. Tulisan ini berisi kisah nyata. Kisah nyata yang disajikan di dalam tulisan ini menarik perhatian karena berhu­bung­an dengan tradisi sebagian orang Jawa (termasuk sebagian yang sudah beragama Islam) dalam hal jodoh dan waktu penye­lenggaraan acara tertentu ditinjau dari segi akidah. Ada sebagian orang Jawa yang mempunyai kepercayaan bahwa weton (hari lahir) berpengaruh terhadap jodoh. Misalnya, lelaki yang lahir pada Selasa Kliwon tidak berjodoh dengan perempuan yang lahir pada Jumat Kli­won. Ada kepercayaan bahwa pelanggaran terhadap kepercayaan itu dapat menim­bul­­kan bencana rumah tangga. Oleh karena itu, ada kebiasaan pada orang tua calon pengantin untuk menghitung hari, baik dilakukan sendiri maupun berkon­sultasi dengan orang pintar. Untuk pe­nyeleng­garaan perni­kahan pun ada ta­hapan menghitung hari.

Bagi sebagian orang Jawa, menghitung hari berlaku pula untuk keperluan memasuki rumah baru. Malahan, untuk acara ini ada yang diperhitungkan lebih berkecil-kecil. Misalnya, boleh tidaknya masuk rumah melalui pintu yang sudah ada. Di samping itu, diperhitungkan juga arah masuknya.

Awalnya Dinyatakan Tak Berjodoh

Ada kasus menarik yang dialami oleh seorang mahasiswa yang telah cukup lama menjadi perhatian saya. Dia, menurut kriteria tertentu, sudah siap meni­kah: dewasa dan punya penghasilan tetap. Namun, ketika saya tanya tentang pendamping hidupnya, selalu mengatakan, “Belum bertemu jodoh, Pak”.

Suatu sore dengan penuh tanda tanya, saya menerima kehadirannya di rumah. Dia sama sekali tidak memberitahukan rencana kehadirannya. Ternyata dia meminta saya agar hadir pada pernikahannya dan mem­berikan tausiyah. Betul-betul kejutan!

Alhamdulillahi rabbil’aalamiin. Akhirnya, menemukan jodoh juga.”

“Ya, Pak. Alhamdulillah. Terima kasih atas motivasi dan doanya.”

Setelah diam sesaat, dia melanjutkan bicaranya. “Bagaimana, Pak? Bisa?”

InsyaAllah.”

“Terima kasih, Pak. Senang sekali saya.” Dia tampak sangat senang.

“Boleh tahu dengan siapa? Teman kuliahkah?”tanya saya.

“Bukan, Pak. Teman nglaju.”

“Oh”. Saya terkejut. Namun, segera melanjutkan. “Yah, memang jodoh itu betul-betul rahasia Allah.”

“Ya, Pak.”

“Baik, Mas. InsyaAllah.”

Namun, dua minggu berikutnya, dia datang kembali. Pada kedatangan yang kedua ka­linya, wajahnya tampak kusut. Tidak sece­ria pada kedatangan pertama.

Ada apa, ya?” tanya saya dalam hati.

Ternyata, dia sangat galau dan kecewa. Setelah meng­hitung hari, ayahnya dan calon ayah mertuanya memutuskan bahwa per­ni­kahannya harus dibatalkan karena dinya­takan tidak cocok.

“Mas beragama Islam, kan?” Saya mulai membuka kembali percakapan.

“Ya, iyalah, Pak.”

“Salat lima waktu?”

“Alhamdulillah, ya.”

“Tahajud?”

“Nah, itu!”

“Itu … apa?”

“Yang belum.”

Saya merasa ada kesempatan untuk me­nasihatinya agar dia lebih serius berdoa.

“Kerjakan. Usahakan tiap malam. Mohon pada Allah. Ya, Allah, jika dia jodoh saya, pertemukan atas rida-Mu. Jika bukan jodoh saya, beri saya ganti yang lebih baik dari­pada dia dan beri dia ganti yang lebih baik daripada saya. Saya beriman apa yang ter­baik menurut Engkau, pasti terbaik buat saya, tetapi apa yang terbaik menurut saya belum tentu terbaik bagi Engkau.”

“Doanya begitu, Pak?”

“Ya.”

Setelah diam sesaat, saya melanjutkan, “Em … selain salat, Anda mengerjakan puasa?”

“Alhamdulillah, Pak.”

“Senin-Kamis? Daud?”

“Nah, itu, Pak.”

“Nah, itu, apalagi?”

“Yang belum juga.”

“Kerjakan!

“Baik, Pak. InsyaAllah!”

“Bagus! Lalu, bagaimana tadarus Anda? Hanya bulan Ramadan?”

“Em …ya, Pak”

“Mulai nanti sore, selepas salat magrib, besok selepas salat subuh, kerjakan!”

InsyaAllah, Pak.”

Alhamdulillah! Sembilan bulan berikutnya dia menikah dengan gadis yang sebelumnya dinyatakan bukan jodohnya. Satu tahun berikutnya, dia datang ke kampus untuk berterima kasih kepada saya karena telah diberi mo­mong­an. Dua tahun berikutnya dia pun datang lagi untuk keperluan yang sama. Dia diberi anak yang kedua. Nah, dahsyat sekali peranan doa, kan?

Tanggal, Bulan, dan Tahun Cantik menurut Manusia

Ada lagi kasus yang tidak kalah menariknya. Kasus ini masih berkaitan juga dengan menghi­tung hari. Namun, bukan menghitung hari untuk menen­tukan berjodoh tidaknya dua insan yang saling mencinta, melain­kan untuk me­nentukan hari pernikahan yang paling baik dengan pengertian keperluan praktis.

Untuk menentukan hari pelaksanaan pernikahan, dilakukanlah musyawarah untuk mufakat.  Dasar yang dijadikan rujukan adalah liburan nasional yang terdapat pada kalender. Dicarilah tanggal cantik. Akhirnya, disepakati akad nikah direncaakan berlangsung Jumat, 15-05-2015.

Semua sudah disiapkan. Koordinasi dengan Kantor Urusan Agama sudah dilakukan. Namun, kira-kira kurang dari satu bulan sebelum hari H, calon pengantin laki-laki datang ke rumah kami.

Saya tidak di rumah sehingga dia hanya dapat bertemu dengan istri saya. Dengan terbata-bata dan sangat tegang, dia membuka percakapan.

“Mohon maaf, Bu. Em … bagaimana, ya?”

“Ada apa, Mas?” tanya istri saya dengan santai.

“Em .. ini … sungguh di luar rencana kita.”

Istri saya tetap santai. Sedikit pun dia tidak gugup apalagi panik.

“Sudahlah! Bicara saja! Tidak apa-apa.”

“Tapi … sekali lagi. saya mohon maaf sebelumnya.”

“Ya, ya. Ibu siap mendengarkan dan menerimanya. Silakan!”

“Em .. begini, Bu. Ternyata … pada hari Jumat, tanggal 15 saya tidak bisa.”

Mendengar penjelasan itu, istri saya tetap saja santai.

“Lalu, bisanya hari apa?

“Bagaimana kalau … Sabtu? Kalau Sabtu memang libur.”

“Ok! Tidak menjadi masalah! Nanti Ibu akan segera ke KUA!”

Istri saya mengambil keputusan tanpa berunding lebih dulu dengan saya. Dia sudah paham betul tentang pandangan dan sikap saya dalam hal seperti itu.

“Em … apakah Bapak juga setuju, ya, Bu?”

Istri saya tertawa. Dia merasa yakin bahwa suaminya sependapat dengan ke­putusannya.

“Mas! Silakan ingat kembali apa yang dikatakan bapak kepada Mas pada saat pertama kali menerima kehadiran Mas untuk ta’aruf.”

“Ya, Bu” jawab calon pengantin laki-laki mengiyakan meskipun tetap saja hatinya galau.

Ketika menerima kehadiran pertama untuk ta’aruf, saya berbicara tanpa ragu bahwa keluarga kami tidak pernah mempersoalkan atau menghubungkan hari lahir dengan perjodohan. Bagi kami, Allah Subhaanahu wa Ta’aala bersifat Mahakuasa dan Maha Menetapkan, maka kami mohon diberi yang terbaik menurut Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Kami beriman apa yang terbaik menurut Allah Subhaanahu wa Ta’aala, pasti terbaik bagi hamba-Nya. Namun, apa yang terbaik menurut ma­nusia, belum tentu terbaik menurut Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Dengan izin Allah Subhaanahu wa Ta’aala koordinasi dengan KUA berlangsung mulus. Semua ter­laksana tanpa kendala. Akad nikah ber­langsung Sabtu, 16-05-2015.  Nah, ini sebagian kecil bukti kemahakuasaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Bagi manusia, 15-05-2015 baik, tetapi menurut Allah yang terbaik adalah 16-05-2015.

Dari pernikahan itu, anak pertama lahir 13 Mei 2016, sedangkan anak keduanya lahir 28 Oktober 2018. Semua laki! Siapa yang mahatepat dan mahacepat menghitung hari? Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Semoga kedua anaknya menjadi anak saleh. Aamiin!

Menjemput Jodoh

Untuk memperoleh yang terbaik menurut Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berdoa dan berikhtiar merupakan kunci solusi sesuai dengan petunjuk-Nya dan Rasul-Nya. Sejak kapan berdoa? Sejak dini, yakni ketika reproduksi dan dilakukan terus-menerus, terutama pada waktu-waktu “istimewa” misalnya di antara azan dan iqamat, sepertiga malam terakhir, hari Jumat, dan sujud.  Banyak doa yang terdapat di dalam Alquran misalnya pada surat Ali ʻImran (3): 38

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهٗ ۚ قَالَ رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۚ اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاۤءِ

Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”

Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfir­man-Nya di dalam Alquran surat Fathir (35): 11

وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ اَزْوَاجًاۗ وَمَا تَحْمِلُ مِنْ اُنْثٰى وَلَا تَضَعُ اِلَّا بِعِلْمِهٖۗ وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُّعَمَّرٍ وَّلَا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهٖٓ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seo­rang perempuan pun mengan­dung dan tidak (pula) melahirkan, melainkan de­ngan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula diku­rangi umurnya, melainkan (sudah dite­tapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuz). Sesungguhnya, yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.”

Sangat jelas bahwa manusia sebagai makhluk berada di dalam kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Tidak ada yang lepas dari pengetahuan-Nya. Dia adalah pencipta dan pemelihara. Oleh karena itu, segala sesuatu bagi-Nya adalah mudah.

Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam Alquran surat an-Nahl (16): 72

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dan yang baik-baik. Oleh karena itu, mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah.”

Ayat tersebut kita imani juga bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah menyiapkan istri bagi laki-laki. Oleh karena itu, bukankah hal yang bertentangan dengan kehendak Allah Subhaanahu wa Ta’aala jika ada laki-laki yang menghendaki berpasangan hidup dengan sesama lelaki? Apakah tidak lebih rendah daripada hewan jika hal itu dilakukan? Hewan jantan saja memilih pasangan hubungan biologisnya hewan betina!

Setelah berdoa, perlu ikhtiar untuk menjemput jodoh. Secara garis besar ada dua, strategi, yaitu (1) pemanfaatan kesempatan dan tempat untuk menyibukkan diri memantaskan diri sesuai dengan tuntunan Alquran dan Alhadis dan (2) penampilan diri, perbuatan, dan ucapan pada tiap saat dan tiap tempat dipastikan merujuk pada kedua kitab suci. (istiqamah syar’i)

Proses menjemput jodoh, umumnya melalui tahapan ta’aruf. Untuk kepentinngan itu, firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam Alquran surat al-Hujurat (49): 13 menjadi salah satu rujukan.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Hai, manusia. Sesungguhnya, Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Berdasarkan ayat tersebut, pasangan hidup tidak hanya terbatas pada suku dan bangsa tertentu. Namun, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah seakidah agar sukses membangun rumah tangga dalam rida Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

Secara rinci, beberapa langkah ikhtiar berikut kiranya perlu ditempuh: (a) mencari dan mengamalkan ilmu, (b) hidup bersih, (c) makan dan minum yang baik dan halal, (d) tidur dan bangun secara sehat sesuai dengan tuntunan Islam, (e) berolahraga sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, (f) memenuhi kebutuhan seksual secara sehat menurut Islam, (g) bergaul dengan teman yang alim dan saleh, (h) bersyukur kepada Allah, (i) berpenampilan menarik menurut tuntunan Islam, (k) rajin beribadah, dan (l) mengapresiasi seni islami. (Tentu masih ada cara lain yang dapat juga kita lakukan).

Peramal

Ada salah satu stasiun televisi yang pernah menanyangkan iklan jasa konsultasi yang diasuh oleh paranormal. Satu di antara materi konsultasi tersebut adalah jodoh. Namun, pengasuhnya pernah ditanya oleh seorang ustaz tentang waktu dan tempat meninggalnya. Ternyata sang paranormal tidak dapat menjawab, tetapi malah marah kepada ustaz tersebut. Peristiwa itu seharusnya makin meyakinkan kita bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala adalah Maha Menetapkan.

Oleh karena itu, mohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dengan cara yang benar agar ditetapkan yang terbaik dalam segala urusan merupakan jalan yang benar, yang pasti dikabulkan. Meminta kepada peramal jodoh berarti telah merendahkan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Dalam hubungan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam HR Muslim bersabda, yang artinya, “Dari Ubaidilah dari Nafi’ dari Sofiyah satu di antara istri Nabi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, ‘Barangsiapa datang kepada arraf kemudian menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima salatnya selama empat puluh malam.”

Allahu a’lam.

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, Tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version