Oleh: Muhammad Ridha Basri
“Every writer has an address,” kata Isaac Bashevis Singer.
Setiap penulis memiliki rumah, bertempat tinggal. Kehidupan seseorang tidak dapat dilepaskan dari konteks rumah yang meliputinya, berdialektika dengan lingkungannya. Manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat kebudayaan dari tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dari sini, kita bisa memahami mengapa Buya sering menulis tentang namung tiang alit.
Guna mengenal Buya Syafii secara utuh, perlu kiranya memahami garis nasibnya. Buya menjalani separuh hidupnya sebagai wong cilik yang bergumul dengan kepahitan hidup. Buya pernah merasakan beratnya menjadi karyawan toko hingga penjual kambing. Buya Syafii pernah menyatakan, “Saya ini hidup dari tragedi ke tragedi.” Kehidupan Buya memang tidak mudah. Sampai ketika akhirnya menjadi tokoh besar, Buya Syafii tidak melupakan rumahnya dan tidak melupakan orang-orang yang masih berumah di atap yang rapuh.
Buya mengenang hidupnya dalam Memoar Seorang Anak Kampung, sebagai orang yang memperoleh belas kasihan ombak sehingga dapat terdampar ke tepi. “Aku agak terlatih untuk berurusan dengan berbagai ragam situasi yang berat sekalipun. Tempaan hidup serba kekurangan selama bertahun-tahun yang panjang dalam perjalanan hidup, menjadi penting bagiku, untuk tidak lupa kepada asal-usulku sebagai anak desa yang sederhana.”
Sebab itu, di kemudian hari ketika taraf hidup Buya sedikit menanjak ke level cukup, untuk ukuran seorang tokoh besar, terlalu sering Buya membantu orang kecil. Kadar bantuan Buya dari yang berbentuk materi hingga yang berbentuk lobi atau perantara komunikasi kepada para pengambil kebijakan. Lobi Buya bukan dalam bentuk nepotisme atau korupsi, tetapi murni dalam batasan yang masih tidak keluar norma. Banyak tokoh yang mendapat posisi tertentu berkat rekomendasi Buya, dan Buya sama sekali tidak mendapat imbalan apa-apa.
Pernah suatu siang, Buya Syafii menceritakan tentang kabar gembira yang baru saja diterima melalui pesan singkat dari Kapolri Tito Karnavian. Awalnya, Buya Syafii mengirimkan pesan singkat meminta Kapolri supaya membantu seorang polisi rendahan di wilayah Sleman untuk disekolahkan pada bagian intelijen.
Polisi itu bertempat tinggal di sekitar perumahan Nogotirto, Sleman. Buya Syafii mengenal baik kepribadiannya, dan melihat insting serta bakat terpendam dari polisi ini dalam bidang telik sandi, tetapi si polisi rendahan ini tentu tidak punya biaya untuk melanjutkan jenjang pendidikan dan karirnya. Secara diam-diam, Buya Syafii menghubungi Kapolri. Laporan dari Buya Syafii langsung ditindaklanjuti oleh Kapolri. Polisi ini pun segera dipanggil oleh atasannya untuk disekolahkan.
Laporan lainnya yang juga pernah disampaikan Buya Syafii ke Kapolri adalah tentang kondisi gedung polsek di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Buya Syafii meminta supaya Kapolri membangun gedung baru, karena kantor polsek itu sudah sangat tidak layak huni. Kadang kantor polisi pelosok jarang mendapat perhatian serius. Buya Syafii peka dan jeli melihat hal-hal yang baginya perlu diperbaiki. Laporan Buya ini juga segera ditindaklanjuti.
Ketika acara peresmian gedung baru Polsek ini, di antara undangan yang datang adalah kepala Koramil setempat dan duduk di kursi bersebelahan dengan Buya Syafii. Kepala Koramil membisikkan bahwa gedung koramil juga sudah tidak layak. Tak lama kemudian, Buya Syafii dikunjungi oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa (saat ini menjabat Panglima TNI). Dalam kesempatan itu, Buya Syafii menyampaikan keluhan para anggota TNI di bawah. Dan ternyata juga mendapat respons yang positif dari KASAD.
Buya menjadi penyampai kabar gembira bagi orang-orang kecil. Semua yang diusahakan Buya adalah untuk orang lain. Buya pernah mengutip pernyataan Muhammad Iqbal ketika menulis kepada anaknya Javid Iqbal: “Cara hidup si kaya bukanlah caraku / aku seorang fakir / nasihatku adalah: jangan engkau jual Egomu.” Pernyataan itu menunjukkan sikap senantiasa tidak butuh apa-apa, tidak tersandera oleh keinginan dan keserakahan untuk dirinya.
***
Pada 16 April 2019, Buya Syafii menerima tamu dari Kendal, Jawa Tengah. Mereka adalah para warga korban penggusuran tanah untuk proyek pembangunan jalan tol. Seketika itu juga Buya Syafii menelpon Sofyan Djalil, yang menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia. Terkadang, orang-orang kecil merasa susah untuk sekadar mengadukan nasib mereka. Dan Buya Syafii di usianya yang semakin sepuh, berusaha untuk terus menjadi suluh dan jembatan bagi berbagai kepentingan mereka.
Buya Syafii lahir di kampung dan pernah merasakan betapa pahitnya jadi wong cilik. Dua tahun setelah menikah, pada 1 Juni 1967, Buya Syafii diangkat menjadi asisten pegawai negeri dengan gaji pertama Rp 868. Pernah bajunya penuh tambalan. Buya Syafii tidak lahir dari sebuah lingkaran hidup yang mapan. Buya berproses dari bawah dan sangat memahami keprihatinan orang-orang kecil. Begitu Buya menjadi orang besar, Buya masih mau mendengarkan dan peduli pada orang-orang yang nasibnya kurang beruntung.
Salah satu ahli filsafat stoa, Seneca dalam Letters, mengajarkan tentang prinsip premeditatio malorum. Melakukan simulasi atau melatih diri untuk menghadapi situasi sulit, situasi paling buruk, situasi yang biasanya tidak disukai orang. “Jika kamu ingin seseorang tidak goyah saat krisis menghantam, maka latihlah ia sebelum krisis itu datang.” Kesusahan dan penderitaan hidup telah membentuk pribadi Buya Syafii yang peduli pada mustadl’afin.
Di sebuah acara peluncuran komik Bengkel Buya: Belajar dari Kearifan Wong Cilik di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta, 29 Agustus 2016, secara spontan Buya mengatakan, “Guru-guru Aisyiyah yang dibayar rendah, lebih berhak masuk surga dibandingkan saya.” Para guru honorer, kesejahteraannya tidak seberapa, tetapi kadang semangatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sungguh luar biasa. Spirit itu yang dikagumi Buya. Menurutnya, orang-orang yang sering dianggap kecil itu memiliki ketajaman nurani dan keteguhan memegang teguh nilai-nilai moral.
“Kita sibuk dengan urusan politik, tapi ada orang-orang kecil yang hati nuraninya tajam,” kata Buya Syafii ketika itu. Mereka penuh dedikasi. Dengan mereka yang masih tersuruk, Buya berteman karib. Buya Syafii akrab dengan semisal tukang tambal ban, marbot masjid, hingga sopir taksi. Dan bahkan kisah mereka sering dituliskan Buya dalam kolom resonansinya di Republika.
Suatu Magrib, saya menemui Buya Syafii di masjidnya. Setelah para jamaah mulai meninggalkan masjid satu-persatu, seorang anak muda bersarung mendekat, menyalami dan mencium tangan Buya. Kemudian dia langsung beranjak, awalnya saya mengira dia mau bicara dengan Buya. Setelah si anak muda ini pergi, Buya bercerita bahwa anak ini berasal dari keluarga yang berkekurangan dan salah satu orang tuanya telah meninggal, lalu diminta untuk menjadi marbot, dengan diberi uang saku serta dikuliahkan di sebuah universitas.
Suatu siang, saya menemani Buya Syafii makan siang di Grha Suara Muhammadiyah. Buya adalah orang yang tidak suka makan ayam, dan menaruhnya ke nasi saya. Tiba-tiba Buya Syafii bertanya tentang kondisi kantor. Sampai pada pertanyaan, bagaimana kesejahteraan karyawan. Lebih mengerucut, “Berapa gaji satpam kita?” Lalu Buya melanjutkan makan, sebelum kemudian berkata lagi, “Jangan sampai kita meremehkan orang-orang kecil. Kita besar karena ada mereka.” Begitulah di antara pesan Buya Syafii siang itu.
Bukan sekali itu. Di lain waktu, ayah saya sakit. Saya pun segera pulang ke Aceh selama seminggu, tanpa sempat memberitahu Buya. Dikarenakan sakit parah dan mendadak, saya hanya minta izin pada Direktur Suara Muhammadiyah dan teman-teman redaksi. Entah info dari mana, tiba-tiba Buya Syafii mengirim pesan, “Bagaimana keadaan orang tua di Aceh?” Sontak saya kaget. Dari mana Buya Syafii tahu kalau ayahanda saya sakit. Saya bukan orang penting, hanya karyawan biasa, tapi Buya begitu peduli dan memanusiakan siapapun.
***
Salah satu rumah Buya adalah Suara Muhammadiyah. Hingga usia sepuhnya, Buya setia berkantor dan menghadiri rapat rutin setiap pekannya. Buya sering mencurahkan kegelisahannya di forum ini. Di suatu Selasa, 3 Juli 2018, Buya memulai kultum setelah salat zuhur bersama awak redaksi, dengan canda, “Setelah puasa lebaran masih ada kultum toh?” Itu hari perdana rapat bersama Buya setelah libur Hari Raya Idul Fitri.
Dalam kultum yang interaktif itu Buya membawakan sebuah ungkapan populer dari Ibnu Taimiyah, “Allah berpihak kepada pemimpin yang adil, meskipun dia kafir. Sebaliknya, Allah tidak berpihak kepada pemimpin yang zalim, meskipun dia muslim.” Buya menyatakan bahwa ungkapan itu telah dia minta cross–check sumbernya pada kiai Machasin, mantan rektor UIN Sunan Kalijaga. Dari manapun sumbernya, kata Buya, kita harus belajar dari semua, sesuai filosofi Minang: alam terkembang jadi guru.
Tentang ungkapan keberpihakan Allah kepada pemimpin adil, konon dikemukakan pertama kali oleh Ali bin Abi Thalib. “Jika memang benar dari Ali, ini dahsyat sekali,” tutur Buya. Artinya, sejak awal, Islam memng punya pemahamannya sangat inklusif, sama seperti halnya Al-Qur’an yang pahamnya sangat terbuka. Menurut Buya, Al-Qur’an adalah kitab suci yang sangat pro orang miskin, tetapi di saat yang sama, sangat anti-kemiskinan.
Buya Syafii kemudian mengambil satu poin penting dari pernyataan Ibnu Taimiyah: Keadilan. “Esensi syariat itu tegaknya keadilan. Jadi, kalau Anda lihat negeri Arab hancur, itu karena tidak ada keadilan. Ini yang menurut saya perlu kita pikirkan. Sebab, berbicara agama, sistem politik, apa pun namanya, tanpa keadilan itu bukan Islam,” katanya. Keadilan adalah segalanya, adalah tujuan. Suatu negara, institusi, perusahaan, organisasi, akan baik dan berjalan baik, selama keadilan diwujudkan.
Tiba-tiba Buya menyinggung tentang Amal Usaha Muhammadiyah, termasuk di dalamnya perguruan tinggi dan sekolah Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. “Bagaimana kesejahteraan para dosen, guru, karyawan? Coba Suara Muhammadiyah ditulis, ulas ini. Agak halus caranya,” tuturnya. “Jangan berbicara konsep besar, tapi amal-amal usaha harus diperhatikan,” tambahnya. Menurut Buya, jika suatu Amal Usaha telah mandiri, maka sudah semestinya untuk meningkatkan kesejahteraan karyawannya. “Kalau ini tidak dipikirkan, menurut saya, ini kita zalim,” tukasnya mengakhiri kultum.
Baca juga:
Kultum Buya Syafii Maarif: Tidak Boleh Menyerah pada Keadaan
Kultum Buya Syafii Maarif: Esensi Syariat adalah Tegaknya Keadilan
Kultum Buya Syafii Maarif: Menjadi Pemenang dalam Perlombaan Peradaban
Kultum Buya Syafii Maarif: Muhammadiyah Harus Memunculkan Dahlan-Dahlan Baru