Kloning Manusia Perspektif Bioetika dan Islam

Kloning Manusia

Ilustrasi Dok Shutterstock

Kloning Manusia Perspektif Bioetika dan Islam

Oleh: Abdul Hafiz

Kemajuan dan perkembangan rekayasa genetika terjadi begitu pesat dan luar biasa, salah satunya adalah kloning. Kloning merupakan usaha menduplikasikan genentik yang sama dari suatu organisme dengan menggantikan inti sel telur dengan inti sel organisme lain tanpa proses seksual, dengan tujuan mendapatkan keturunan yang identik dengan indukannya.

Di sisi lain, tekhnik kloning ini masih banyak menimbulkan sikap pro dan kontra dari berbagai pihak. Apalagi jika dikaitkan dengan kloning pada manusia, berbagai ilmuan sains dan kaum muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam mempertimbangkannya, dikarenakan memiliki dampak yang sangat besar dalam peradaban manusia.

Kloning pada manusia dilakukan dengan mempersiapkan sel stem yang diambil dari manusia yang akan dikloning, bisa menggunakan sel stem dari laki-laki maupun perempuan. Sel stem dikeluarkan intinya, proses ini dinamakan enukleasi. Kemudian, mempersiapkan sel telur yang intinya juga dikeluarkan (enukleasi), lalu inti sel dan sel stem diimplantasikan ke dalam sel telur. Selanjutnya, sel telur dipicu dengan menggunakan kejutan listrik, tujuannya agar terjadi pembelahan dan pertumbuhan.

Pada hari kedua, sel akan membelah dan menjadi sel embrio. Sel embrio yang terus membelah mulai memisahkan diri (terjadi pada hari kelima) yang nantinya siap untuk diimplantasikan ke dalam rahim perempuan. Embrio tumbuh dalam rahim menjadi bayi yang memiliki kode genetik persis dengan indukannya atau pendonor sel stem.

Lalu, bagaimana perspektif Bioetika dan Islam dalam menanggapi kloning yang terjadi pada manusia? Apakah diperbolehkan? Berikut ulasannya:

Perspektif Bioetika

Menurut perspektif bioetika, kloning manusia menimbulkan keberatan etis dan moral, dikarenakan keamanan dan keselamatan dalam mengkloning manusia mempunyai resiko yang sangat tinggi. Banyak embrio dalam resiko yang mematikan, sehingga bayi kloning yang dihasikan sangat minim. Resiko bayi kloning banyak yang mengalami cacat fatal dan tidak normal, bahkan mati pada saat dilahirkan.

Bayi kloning juga cenderung mengalami umur yang pendek, tanda-tanda penuaan dini, berbagai pembentukan organ yang tidak sempurna, dan rentan terhadap penyakit. Selain itu juga, kemungkinan terjadinya frekuensi mutasi pada produk kloning yang efeknya akan terlihat pada beberapa waktu kemudian.

Kloning manusia juga bertentangan dengan martabat dan integritas pada manusia. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan percobaan kloning pada manusia. Berbagai peraturan dalam bioetika seperti Kode Nuremberg dan kode etik yang lainnya memiliki tujuan untuk melindungi obyek manusia dalam percobaan-percobaan medis termasuk dalam hal kloning manusia, karena dalam hal ini terjadi kewajiban untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.

Perspektif Islam

Menurut perspektif islam, kloning manusia membawa mudharat (kerugian) yang lebih besar dari pada maslahatnya (manfaatnya), sehingga menurut sebagian besar ulama bahwa kloning manusia hukumnya haram, walaupun ada yang membolehkannya. Untuk menentukan posisi kloning manusia dalam islam perlu merumuskan kaidah hukum yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, dan dengan menggunakan Maqosid Al-Syar’iyyah untuk mengetahui maksud dan tujuan hukum akan ditemukan kedudukan kloning dalam islam.

Adapun kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyah (kebutuhan pokok), hajiyah (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah (kebutuhan tersier atau pelengkang). Kebutuhan dharuriyah dapat dicapai dengan terpeliharanya lima tujuan hukum islam yaitu hifzh al-Din (memelihara agama), hifzh al-Nafs (memelihara jiwa), hifzh al-Aql (memelihara akal), hifzh al-Nasl (memelihara keturunan), dan hifzh al-Mal (memelihata harta).

Ternyata setelah ditinjau dari kelima tujuan hukum islam tersebut kloning pada manusia tidak dibenarkan, dan juga menyalahi fitrah. Selain Maqosid Al-Syar’iyyah untuk melihat mafsadah (akibat buruk) yang dapat ditimbulkan dari kloning manusia, bisa juga dengan menggunakan kaidah Saddudz-Dzari’ah, dan kaidah fikih lainnya, ternyata kloning manusia juga tidak dapat dibenarkan karena akan membawa mafsadah yang lebih besar dari pada manfaatnya.

Kloning manusia dikhawatirkan akan merusak ketertiban silsilah keturunan yang menjadi bagian dasar dalam ajaran agama islam dan mempunyai dampak pada sistem keturunan ini, seperti tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak antara bapak dan anak, waris, perwakilan, perawatan anak, hubungan ashabah (dalam warisan) dan lain-lain.

Abdul Hafiz, Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Exit mobile version