Al-Mu’iid, Yang Maha Mengembalikan Kehidupan
Kata Al-Mu’iid berasal dari kata ‘âda – ya’ûdu yang berarti kembali. Al-Mu’iid sebagai salah satu dari nama-nama Allah sebenarnya tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Hanya saja, terdapat kata kerja dari nama tersebut yang pelakunya adalah Allah. Oleh beberapa pengarang, pembahasan Al-Mu’iid biasanya digandengkan dengan Al-Mubdiu, Yang Maha Memulai, karena dalam Al-Quran sendiri sering disandingkan.
Allah sebagai Al-Mu’iid berarti bahwa Dia mempunyai otoritas mutlak mengembalikan kejadian makluk-Nya kepada keadaan semula. Allah Maha Mengembalikan Kehidupan segala sesuatu dari tiada. Seandainya ada orang yang telah mati, dibakar hingga hancur berkeping-keping dan abunya ditebarkan ke seluruh aliran sungai atau ke ruang angkasa yang luas, lalu tersapu angin topan yang dahsyat sehingga abunya tidak dikenali lagi, maka sungguh Allah Maha Kuasa untuk mengembalikan, menghimpun dan menghidupkannya kembali.
Allah berfirman, “Hanya kepada-Nya lah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar daripada Allah. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit), agar Dia memberi pembalasan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh dengan adil. dan untuk orang-orang kafir disediakan minuman air yang panas dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka.” (QS. Yunus: 4)
Orang-orang kafir pernah terheran-heran atas kuasa Allah mengembalikan dan menghidupkan kembali asal kejadian manusia. Lalu Allah menjawabnya, “Katakan Muhammad, Jadilah kalian batu atau besi atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut kalian.” Artinya, betapapun mereka menjadi batu atau besi atau apa saja, niscaya Allah akan mengembalikan dan menghidupkannya kembali.
Asma Al-Mu’iid memberikan kesadaran bagi kita betapa semua manusia akan dikembalikan dan dihidupkan kembali di Hari Akhir. Ia dibangkitkan kembali dalam keadaan telanjang. Saat itu, manusia tidak akan pernah menghiraukan satu dengan yang lainnya. Karenanya, adalah selayaknya jika seorang mukmin harus menjadi Al-Mubdi’, yakni memulai kehidupan ini dengan kebaikan. Lalu, jadilah Al-Mu’iid yang mengulang-ulang kembali kebaikan itu hingga datang ajal kematian.
Seorang hamba yang meneladani namaAl-Mu’iid juga akan menyadari asal-usulnya, sehingga mampu mensyukuri berbagai nikmat yang telah diperoleh, terutama nikmat kehidupan. Rasa syukurnya diwujudkan dengan memperbanyak amal ibadah sebagai bekal di Hari Dibangkitkannya kembali manusia.
Dalam konteks kehidupan dunia, asma Al-Mu’iid juga menginspirasi betapa sesuatu itu harus dikembalikan kepada porsi dan proporsinya masing-masing. Berikanlah suatu jabatan itu kepada ahlinya. Begitu juga, seseorang akan disebut menganiaya jika ia yang tidak memahami persoalan sesungguhnya tapi tetap memaksa menghadapinya. Pesan Al-Quran, Bertanyalah kepada ahlinya jika engkau tidak mengetahuinya. Dan, serahkan amanat itu kepada ahlinya. Wallahu bi al-shawab.
Bahrus Surur At-Tibyaniy, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Sumenep
Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2019