Potensi Sengketa Puasa Arafah dan Idul Adha 1443 H

Potensi Sengketa Puasa Arafah dan Idul Adha 1443 H

Oleh: Firqi Hidayat

Dalam konteks Indonesia, untuk Zulhijjah 1443 H yang akan datang, kemungkinan besar akan terjadi perbedaan, terkhusus antara Muhammadiyah dan Pemerintah (Kemenag RI), di mana Muhammadiyah memulai awal Zulhijjah 1443 H lebih dulu sehari daripada Pemerintah, yaitu pada Kamis Pahing, 30 Juni 2022 M sedangkan Pemerintah lebih lambat sehari, yaitu pada Jum’at Pon, 1 Juli 2022 M.

Hal ini terjadi karena ketinggian bulan jelang Zulhijjah 1443 H pada saat itu di Yogyakarta kurang lebih hanya 1 derajat lebih sekian menit yang mana menurut Kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang digunakan Muhammadiyah, dengan ketinggian tersebut sudah dianggap sah untuk memulai tanggal dan bulan baru sejak malam itu dan besoknya. Hal ini karena Muhammadiyah dengan kriterianya tadi tidak mematok nilai tertentu untuk ketinggian bulan, selama bulan masih di atas ufuk mau berapapun tingginya, bahkan meskipun yang di atas ufuk hanya piringan atasnya saja, maka tetap sah untuk memulai bulan baru sejak malam itu dan besoknya.

Akan tetapi, lain halnya dengan Pemerintah (Kemenag RI) yang menggunakan Kriteria Hisab Imkanur Rukyat MABIMS Terbaru yang mematok tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi (jarak Matahari dan Bulan) minimal 6,4 derajat, dengan ketinggian bulan yang hanya 1 derajat tadi belum sah malam itu dan besoknya untuk memulai tanggal dan bulan baru karena tidak memenuhi/kurang dari kriteria yang ditetapkan yaitu kurang dari 3 derajat, sehingga dilakukanlah istikmal (penggenapan umur bulan Zulkaidah 30 hari).

Dengan demikian, dapat dipastikan ketika terjadi perbedaan dalam memulai awal Zulhijjah, maka secara otomatis akan terjadi perbedaan juga dalam pelaksanaan Puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha.

Pemaparan di atas adalah gambaran penentuan awal Zulhijjah 1443 H di Indonesia. Lalu bagaimana kaitannya dengan penentuan awal Zulhijjah di Arab Saudi yang notabe-nya, Padang Arafah sebagai tempat pelaksanaan ibadah wukuf, terletak di situ dan ini nantinya akan berakibat pada pelaksanaan puasa Arafah di tempat yang lain?

Sama halnya dengan Muhammadiyah, dalam menentukan awal bulan, Arab Saudi menggunakan Kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Hanya saja, keduanya berbeda dalam markaz (tempat perhitungannya), di mana Muhammadiyah untuk tempat perhitungannya di Yogyakarta sedangkan Arab Saudi untuk tempat perhitungannya di Kota Suci Mekah. Berdasarkan perhitungan, ketinggian bulan di Mekah jelang Zulhijjah 1443 H adalah kurang lebih 5 derajat lebih sekian menit sehingga dengan ketinggian tersebut sudah sah untuk memulai tanggal dan bulan baru sejak malam itu dan besoknya. Dengan demikian, Arab Saudi akan memulai Zulhijjah 1443 H pada Kamis Pahing, 30 Juni 2022 M.

Dari sini dapat diketahui bahwa Arab Saudi dan Muhammadiyah akan bersama-sama memulai 1 Zulhijjah 1443 H pada Kamis Pahing, 30 Juni 2022 M sedangkan Pemerintah RI lebih lambat sehari, yaitu pada Jum’at Pon, 1 Juli 2022 M.

Sebagai akibat dari perbedaan dalam memulai Zulhijjah 1443 H antara Indonesia dan Arab Saudi, maka hal ini akan menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan puasa Arafah di Indonesia, di mana ketika Arab Saudi sudah tanggal 9 Zulhijjah, yang artinya para jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di Arafah, di Indonesia pada saat itu baru tanggal 8 Zulhijjah.

Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah umat Islam di Indonesia melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 8 Zulhijjah tersebut, dengan alasan menyesuaikan pelaksanaan puasa itu dengan hari terjadinya wukuf di Arafah secara riil dan menunda salat Idul Adha sehari hingga hari lusa dari tanggal 8 Zulhijjah itu?

Atau mereka Puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah menurut penanggalan yang berlaku di Indonesia, meskipun puasa itu tidak sesuai dengan hari terjadinya wukuf di Arafah secara riil karena pada saat itu di Arab Saudi sudah tanggal 10 Zulhijjah, yang artinya pelaksanaan wukuf di Arafah sudah selesai dan umat Islam di sana sedang merayakan hari raya Idul Adha?

Masalah ini seringkali menimbulkan pertikaian dan pertentangan di dalam masyarakat. Sebagian mengikuti Arab Saudi menyangkut masuknya bulan baru, puasa Arafah, dan Idul Adha. Sebagian lain berpuasa Arafah sesuai jatuhnya hari Arafah di Arab Saudi, tetapi melaksanakan salat Idul Adha lusanya, yaitu pada tanggal 10 Zulhijjah sesuai dengan penanggalan di Indonesia. Sebagian lain lagi berpuasa Arafah dan salat Idul Adha sesuai penanggalan Indonesia dengan alasan bahwa puasa Arafah, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari  bi Syarh Shahih al-Imam al-Bukhari, telah dikerjakan oleh Nabi bersama para Sahabatnya di Madinah lama sebelum diwajibkannya ibadah haji pada tahun 10 H. Ketika melakukan puasa Arafah, mereka menggunakan penanggalan yang berlaku di Madinah dan mereka tidak dimungkinkan untuk mengetahui jatuhnya hari Arafah di Mekah secara riil karena kesulitan komunikasi antara kota-kota berjauhan seperti Mekah dan Madinah pada waktu itu, sehingga tidak mustahil bahwa jatuhnya hari Arafah di Mekah berbeda dengan tanggal yang berlaku di Madinah.

Ini adalah problem yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia, yang tidak jarang membawa akibat saling membidahkan bahkan mengkafirkan satu sama lain. Sesungguhnya mau apapun hujah/alasan yang digunakan, baik itu untuk mendukung pendapat puasa Arafah sesuai dengan hari wukuf atau puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah menurut penanggalan yang berlaku di tempat masing-masing, maka pada hakikatnya, hujah/alasan itu hanyalah bersifat sementara atau bahkan dipandang tidak ada maknanya sama sekali.

Karena inti persoalannya tidak terletak pada soal mana pendapat yang lebih kuat: apakah puasa Arafah sesuai dengan hari wukuf atau puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah menurut penanggalan yang berlaku di tempat masing-masing. Akan tetapi, inti persoalannya terletak di tempat lain, yaitu masalah penyatuan kalender Islam (penanggalan Hijriah). Oleh karena itu, apabila penanggalan Islam tersebut telah dapat disatukan dan seluruh kaum Muslimin menerima kalender tunggal (terpadu/pemersatu; dalam artian satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia), maka masalah puasa Arafah akan hilang dengan sendirinya. Tidak hanya masalah puasa Arafah yang akan hilang, tetapi juga masalah-masalah ibadah yang lain, seperti puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Wallahu a’lam

Firqi Hidayat, thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Exit mobile version