Prinsip GEDSI Perkuat Dakwah Melintas Batas ‘Aisyiyah
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Kalau kita merujuk landasan gerak ‘Aisyiyah bicara tentang al Maun, GEDSI ini sudah menjadi misi sejak awal Muhammadiyah ‘Aisyiyah didirikan, ketika Kyai dan Nyai Ahmad Dahlan bicara teologi al-Maun kita bicara tentang dhuafa mustadhafin maka kita bicara tentang kelompok yang miskin dimiskinkan atau dimarginalkan atau dipinggirkan oleh pembangunan sehingga tidak mendapatkan akses yang merata dari pembangunan yang terjadi.” Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah dalam Seminar Nasional ‘Aisyiyah “Perspektif GEDSI untuk Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan” pada Sabtu (11/6/2022).
Dalam acara yang berlangsung secara hybrid dan diikuti oleh lebih dari 400 peserta secara online ini Tri menyebut bahwa seminar ini merefleksikan dan menguatkan kembali bahwa nilai-nilai GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) sudah dibangun sejak ‘Aisyiyah Muhammadiyah berdiri. “Sebagai gerakan perempuan Islam berkemajuan dimana nilai-nilai kesetaraan gender, nilai-nilai keadilan terhadap perempuan, berpihak kepada disabilitas, maupun kelompok marginal yang lain selalu menjadi nilai kita dalam berdakwah.”
Siti Noordjannah Djohantini, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pidato pengarahannya menyampaikan bahwa seminar ini mempertajam dan memperkokoh perspektif ‘Aisyiyah di banyak isu dengan GEDSI. Jika berbicara mengenai keberpihakan Muhammadiyah ‘Aisyiyah kepada kelompok rentan, Noordjannah menyebut hal tersebut sudah dilakukan sejak Muhammadiyah ‘Aisyiyah berdiri. “Kalau terkait keberpihakan Muhammadiyah ‘Aisyiyah, keberpihakan kita pada kelompok yang rentan bahkan tidak sekedar direncanakan tetapi sudah dimulai dari para pendiri Muhammadiyah ‘Aisyiyah.”
Oleh karena itu Noordjannah berharap berbagai isu yang ada dapat didialogkan secara lebih tajam sehingga bisa terus menghasilkan strategi gerakan yang akan datang. “Kita harus terus meluaskan dakwah kita untuk menjadi alternatif solusi, di ‘Aisyiyah bukan hanya berwacana tapi sudah pada tingkat aksi yang harus kita kuatkan, kita kuatkan dakwah kita di komunitas, dimana tempat-tempat tidak pernah orang melihatnya, tempat yang tidak pernah disapa, tempat terpinggirkan.”
Disebut Noordjannah, perspektif GEDSI perlu dikuatkan dan diluaskan oleh para penggerak ‘Aisyiyah karena berdasarkan Qur’an surat al Hujurat ayat 13 mendorong kita untuk dapat bertaawun dan dapat melakukan khoirunnas anfauhum linnas yakni sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Para penggerak ‘Aisyiyah menurut Noordjannah adalah para perempuan yang mendapatkan panggilan Allah untuk berdakwah dan berjuang memberikan manfaat bagi sekitarnya. “Kehadiran ibu semua sebagai pejuang dakwah memiliki komitmen yang luar biasa tapi tidak cukup itu saja, kita harus mengikuti perkembangan sehingga bisa membawa manfaat dan isu ini bisa menjadi perhatian kita.”
Dina Afrianty dari La Trobe University dalam pemaparannya dengan tema “Perspektif GEDSI untuk Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Akses” menyebutkan bahwa prinsip utama yang harus kita gunakan ketika merujuk kepada GEDSI adalah memastikan dengan GEDSI kita selalu ingat untuk tidak akan memarginalisasi siapapun, tidak akan meminggirkan, tidak akan menghapus hak setiap individu.
Menurutnya ‘Aisyiyah sebagai sebuah gerakan perempuan Islam berkemajuan sudah memberikan solusi yang sistemik dari isu inklusi sosial. “‘Aisyiyah menurut saya sudah sistemik, solusi yang diberikan sudah sitemik bukan hanya memberikan pemenuhan dan penguatan kepada perempuan tetapi sudah melakukan penguatan kepada kelompok disabilitas kepada anak apalagi dengan jaringans ekolah dari TK bahkan kelompok bermain sudah ada yang itu merupakan pemenuhan hak anak, jadi itu sudah sistemik solusinya, itu merupakan salah satu ciri pendekatan GEDSI.” (Suri)