Sak dan Mud dalam Satuan Takaran dan Timbangan Modern
Oleh: Prof Dr Syamsul Anwar, MA
Dalam hadis-hadis Nabi saw sering disebut beberapa macam satuan takaran terkait ketentuan syariah, baik mengenai masalah ibadah maupun muamalat. Misalnya takaran sak terkait dengan kewajiban membayar zakat fitrah untuk mengakhiri puasa Ramadan. Takaran mud terkait dengan pembayaran fidyah atas wanita hamil dan menyusui yang mendapat rukhsah untuk tidak berpuasa Ramadan. Terkait dengan zakat kekayaan (mal) disebutkan nisabnya lima wasak. Begitu pula dalam aspek muamalat disebutkan ketentuan-ketentuan hukum syariah terkait tiga jenis takaran di atas. Dalam tulisan ini pembicaraan dibatasi pada dua jenis takaran terkait dengan puasa Ramadan, yaitu sak untuk menentukan zakat fitrah dan mud terkait fidyah dan kafarat Ramadan, yang sering dipertanyakan masyarakat.
Beberapa hadis Nabi saw yang menyebutkan dua jenis satuan sukatan adalah,
Pertama, hadis Ibn ‘Umar yang menyatakan bahwa Rasulullah saw mewajibkan pembayaran satu sak tamar atau jewawut atas setiap orang Muslim,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ [رواه مسلم].
Dari ‘Abdullh Ibn ‘Umar [diriwayatkan] bahwa Raulullah saw mewajibkan membayar zakat fitrah guna mengakhiri Ramadan atas setiap jiwa orang Muslim, baik orang merdeka maupun hamba, orang laki-laki maupun perempuan, atau anak kecil maupun orang dewasa, sebanyak satu sak tamar atau satu sak syair (jewawut) [HR Muslim].
Kedua, hadis Ibn ‘Umar juga tentang fidyah yang harus dibayar oleh ibu hamil dan menyusui yang tidak menjalankan puasa Ramadan lantaran khawatir atas kesehatan dirinya dan bayinya, yaitu sebanyak satu mud gandum hintah.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَامِلِ إِذَا خَافَتْ عَلَى وَلَدِهَا وَاشْتَدَّ عَلَيْهَا الصِّيَامُ فَقَالَ تُفْطِرُ وَتُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيناً مُدّاً مِنْ حِنْطَةٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [رواه مالك والشافعي].
Dari Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Umar [diriwayatkan] bahwa ia ditanya tentang wanita hamil apabila merasa khawatir atas janinnya dan merasa berat untuk menjalankan puasa (Ramadan) dan beliau menjawab, “Wanita itu boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa sebanyak satu mud dengan mud Nabi saw” [HR Mālik dan asy-Syāfiʻī].
Ketiga, terdapat hadis panjang yang menyebutkan kifarat atas orang yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari Ramadan, berupa memberi makan 60 orang miskin sebanyak satu mud untuk satu orang.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا أَتَى إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ فَقَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ أَتَيْتُ أَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً؟ قَالَ لَا قَالَ فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا أُطِيقُ الصِّيَامَ قَالَ فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا لِكُلِّ مِسْكِينٍ مَدًّا … … … [رواه الطبراني].
Dari ‘Alī Ibn Abī Ṭālib r.a.[diriwayatkan] bahwa seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah celaka!” Rasulullah bertanya, “Apa yang mencelakakanmu?” Ia menjawab, “Aku berhubungan badan dengan istriku di siang Ramadan.” Rasulullah bertanya, “Apakah engkau mempunyai bidak?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu puasa dua bulan berturut-turut.” Lelaki itu menjawa, “Aku tidak kuat berpuasa.” Lalu Rasulullah mengatakan, “Beri makan enam puluh orang miskin, setiap satu orang satu mud … … … [Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis, tetapi penyebutan mud hanya ada dalam riwayat aṭ-Ṭabarānī].
Dalam hadis-hadis di atas disebutkan sak dan mud. Pertanyaannya apa sak dan mud itu, dan bagaimana mengkonversikannya ke dalam satuan takaran dan timbangan modern yang dipakai di zaman kita sekarang.
Dalam bahasa Indonesia kata “sak” berarti saku, karung, kantong. Misalnya saku baju atau karung semen (Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI, h. 1203). Artinya konsep umum dalam kata “sak” itu adalah sebuah wadah. Kata ini berasal dan diserap dari bahasa Arab aṣ-ṣāʻ, dan sedikit mengalami perubahan makna walaupun masih sama dalam konsep umumnya, yaitu menggambarkan suatu wadah tempat menampung sesuatu, biasanya air minum, seperti piala yang merupakan cawan tempat minum para raja atau tamu. Dalam Al-Quran dikatakan dikatakan,
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ [يوسف : 72].
Mereka menjawab, “Kami kehilangan sak (piala / cawan) raja; dan barang siapa dapat mengembalikannya akan mendapat (bahan makanan) sepikulan unta, dan aku menjamin hal itu” [Q 12: 72].
Mud dalam KBBI diartikan sebagai ukuran isi sama dengan 5/6 liter (KBBI, h. 932). Di belakang akan diuji kebenarannya. Kata “mud” juga diserap dari bahasa Arab mudd, yang secara leksikal berarti tampungan bentangan dua tangan. Maksudnya seseorang membentangkan dua tangannya lalu kedua bentangan tangan itu diisi dengan, misalnya, beras, maka tampungan dua tangan itu adalah satu mud. Sedangkan menurut istilah mud adalah satuan ukuran takaran yang digunakan oleh Nabi saw untuk menentukan takaran sesuatu yang menjadi kewajiban syarʻi yang volumenya adalah seperempat sak (Lisān al-ʻArab, VIII: 215).
Untuk menentukan besaran takaran sak dan mud Rasulullah saw itu digunakan satuan ukuran timbangan yang dapat diketahui dan menjadi perantara bagi para fukaha dan juga bagi kita sekarang untuk mengetahui kadar takaran Rasulullah saw itu. Yaitu satuan timbangan yang dinamakan ritil (pon). Para fukaha menggunakan satuan timbangan ini guna mengkonversi sak dan mud. Hanya saja ritil itu banyak ragamnya dan berbeda-beda dari satu ke lain negeri. Ada ritil Damaskus, ada ritil Mesir, ada ritil Hijaz, ada ritil Bagdad, sehingga Ibn al-Ukhuwwah (w. 729/1329) mengatakan, “Di setiap tempat terdapat ritil tersendiri … … … sehingga saya jarang sekali mendengar ada suatu negeri yang ritilnya sama dengan ritil negeri lain” (Ibn al-Ukhuwwah, Maʻālim al-Qurbah, h. 140). Tetapi ritil yang digunakan oleh para fukaha untuk mengkonversi sak dan mud Rasululah saw adalah ritil Bagdad (ritil Irak), karena ritil ini yang luas pemakaiannya di kalangan umat Islam. Al-Fayyūmī (w.770/1368) memberikan patokan bahwa apabila disebut ritil saja, maka yang dimaksud adalah ritil Bagdad.
Menurut ‘Alī Mubārak (w. 1311/1893), yang banyak melakukan kajian mengenai masalah ini, ritil Bagdad berasal dari ritil Romawi yang pada gilirannya berasal dari ritil Mesir di zaman Firaun (dengan sedikit perubahan). Hal itu karena dinasti Ptolemaus yang menggantikan kekuasaan Firaun di Mesir dan kemudian pada gilirannya digantikan oleh bangsa Romawi tidak mengubah satuan ukuran yang digunakan di zaman Firaun. Mereka semua meneruskan penggunaan satuan ukuran Firaun tersebut dengan sedikit perubahan saja. Melalui bangsa Romawi ini kemudian satuan timbangan ini berkembang di sejumlah tempat yang kemudian dikuasai oleh Islam dan dipergunakan di zaman Islam.
Perlu dicatat bahwa sak dan mud adalah satuan takaran (sukatan). Sedangkan ritil adalah satuan ukuran berat (timbangan).
Para fukaha mengkonversi sak dan mud ke dalam satuan ukuran timbangan yang disebut ritil (pon) Bagdad. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hal tersebut. Imam Abū Ḥanīfah dan murid-muridnya mengatakan satu sak sama dengan delapan ritil Bagdad. Sementara Imam Mālik (w. 179/795) dan jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa satu sak itu sama dengan 5⅓ ritil Bagdad.
Abū Yūsuf (w. 182/798), murid Abū Ḥanīfah dan Hakim Agung Kerajaan Abbasiah, mula-mula mengikuti pendapat gurunya Abū Ḥanīfah ini. Tetapi kemudian ia meninggalkan pendapat itu dan menganut pendapat Imam Mālik. Dalam Kitāb al-Kharāj beliau menyatakan bahwa ukuran satu sak itu sebanding dengan 5⅓ ritil Bagdad (Al-Kharāj, h. 53). Hal ini setelah beliau dan Khalifah Hārūn ar-Rasyīd (w. 193/809) mendatangi Imam Mālik di Madinah pada suatu musim haji untuk mendiskusikan masalah tersebut.
Imam Mālik menghadirkan sejumlah pedagang Madinah dan meminta mereka membawa sak masing-masing yang mereka warisi turun temurun dari moyang mereka dan yang dahulu digunakan untuk membayar kewajiban syariah kepada Nabi saw. Harun ar-Rasyīd dan Abū Yusūf menakar dan menimbang isi sak tersebut dan ternyata memang beratnya 5⅓ ritil. Atas dasar itu Abū Yūsuf meninggalkan pendapat gurunya dan memegangi pendapat Mālik dan jumhur fukaha.
Perlu dicatat bahwa yang ditimbang tersebut adalah gandum. Jadi berat satu sak sama dengan 5⅓ ritil itu adalah berat gandum. Para fukaha pun juga menyatakan hal yang sama. Imam Aḥmad dan beberapa ulama lain menegaskan, “Satu sak itu adalah 5⅓ ritil gandum (al-ḥinṭah). Al-Baihaqī (w. 458/1066) meriwayatkan bahwa ‘Alī Ibn al-Madīnī (w. 234/849) menyatakan bahwa ia mengukur sak Rasulullah saw dengan tamar dan ternyata satu sak itu adalah 5⅓ ritil. Tamar ada yang lebih berat dan ada yang lebih ringan dari gandum, tetapi kebanyakannya lebih ringan.
Para fukaha mengaitkan pula ritil (Bagdad) dengan timbangan lain, yaitu miskal dan dirham. Perlu dicatat bahwa masing-masing miskal dan dirham ada dua macam, yaitu miskal dan dirham sebagai bandul timbangan barang (yang kecil-kecil) dan dirham serta miskal mata uang yang disebut dinar. Ukuran bandul timbangan barang dan timbangan mata uang itu berasal dari zaman Romawi dan tidak mengalami perubahan setelah zaman Islam. Ketika ‘Abdul Malik (w. 86/705) membangun Rumah Peneraan Islam sendiri, ia memerintahkan membuat bandul timbangan sebagaimana yang telah berlaku itu.
Bandul miskal beratnya 4,53 gram dan bandul dirham beratnya 3,17 gram. Nisbah antara keduanya adalah 10 berbanding tujuh. Bandul timbangan ini dibuat dua macam. Pertama bandul babon yang disimpan di Rumah Peneraan Damaskus sebagai standar ukuran berat, dan kedua, bandul yang diedarkan di pasar agar dimiliki dan digunakan oleh masyarakat dalam penimbangan barang dagang.
Di samping itu Rumah Peneraan tersebut juga mencetak mata uang emas yang disebut dinar dengan berat seperti berat mata uang dinar yang sudah ada, yaitu 4,25 gram dan mata uang dirham dengan berat 2,97 gram (al-Khārūf dalam suntingannya terhadap Kitāb al-Īḍāḥ, karya Ibn ar-Rifʻah, h. 48-49, catatan kaki 8). Menurut Imam an-Nawawī (w.676/1277) berat satu ritil sama dengan 90 miskal dan sama dengan 1284/7 dirham (al-Majmūʻ, V: 503).
Apabila berat 1 miskal sama dengan 4,53 dan berat 1 ritil sama dengan 90 misal, maka berat satu ritil sama dengan 90 miskal dikali 4,53 gram = 407,7 gram (terkadang para penulis membulatkannya menjadi 408 gram). Jadi 1 ritil beratnya 407,7 gram, dan berat 1 sak (5⅓ ritil) sama dengan 407,7 x 5,33 = 2.174,26 gram (2,17426 kg (dibulatkan 2,174 kg). Ini adalah berat gandum sebagaimana disebutkan di atas. Berat jenis gandum bervariasi antara 0,70 sampai 0,80. Menurut Ali Mubarak berat jenis gandum Hijaz rata-rata 0,79 (al-Mīzān, h. 88). Artinyanya setiap 1 liter gandum Hijaz sama dengan 0,79 kg.
Pertanyaan sekarang adalah berapa berat 1 sak beras? Untuk mengetahui hal tersebut kita harus mengetahui terlebih dahulu konsep berat jenis. Berat jenis adalah rasio berat suatu benda terhadap besaran volume yang disebutkan dalam satuan angka. Antara benda yang satu dengan benda yang lain terdapat perbedaan berat jenis yang beragam sekali. Hal itu disebabkan oleh kepadatan massa masing-masing benda. Benda yang lebih padat massanya akan lebih besar berat jenisnya seperti logam. Benda yang lebih renggang massanya seperti kapas berat jenisnya lebih ringan.
Benda yang sama besar volume dan beratnya maka berat jenisnya adalah 1, dan itu adalah air dingin pada suhu 4º. Jadi satu liter air dingin beratnya adalah satu kg. Terdahulu telah dijelaskan bahwa berat jenis rata-rata gandum Hijaz adalah 0,79. Dengan data ini dapat dihitung berat 1 sak air dingin dengan mengalikan berat 1 sak gandum dengan perbandingan berat air dan gandum, yaitu 2,17426 kg x 100 : 79 = 2,7522278481 kg (dibulatkan 2,752 kg). Dengan demikian dapat diketahui bahwa 1 sak air sama dengan 2,752 liter. Satu mud air dingin berarti 2752 : 4 = 0,688 liter/kg. Jadi 1 mud tidak sampai 5/6 liter sebagaimana dinyatakan dalam KBBI, melainkan hanya 4/6 liter, tepatnya 413/600 liter.
Beras berat jenisnya sangat beragam. Dalam literatur dikatakan ada yang berat jenisnya 0,720; 0,730; 0,753. Penulis juga mencoba menimbang sendiri. Penulis membeli dari beberapa toko swalayan dan Pasar Beringharjo Yogyakarta berbagai jenis sukatan liter, baik yang plastik maupun yang aluminium. Kemudian sukatan liter itu penulis bawa ke Kantor UPT Peneraan Legal Kota Yogyakarta dan di sana penulis direkomendasikan untuk menggunakan sukatan liter yang terbuat dari alimimium yang telah ditera oleh Kantor UPT Peneraan Legal dan yang di situ ada cap peneraannya.
Penulis kemudian membeli beberapa jenis beras dari super market, pasar tradisional, dan orang kampung pedagang beras mentik. Kemudian beras-beras itu penulis timbang dengan menggunakan timbangan digital yang juga telah diuji kesahihannya dengan menggunakan bandul-bandul timbangan standar. Hasil penimbangan menunjukkan berat beras yang beragam, tergantung kandungan airnya. Beras yang sudah lebih lama dipetik lebih ringan dan sebaliknya yang baru lebih berat. Bahkan beras dengan merek yang sama, tetapi berasal dari karung berbeda, juga berbeda berat jenis. Dari beragam jenis beras yang penulis timbang, yang paling ringan adalah yang berat jenisnya 0,766 dan yang paling berat adalah 0,823. Di tengah-tengahnya terdapat variasi antara lain: 0,794; 0,817; 0,819; 0,821.
Dengan data di atas kita dapat mengetahui berat 1 sak beras dalam satuan kg. Terdahulu telah diketahui bahwa 1 sak Rasulullah saw itu volumenya adalah 2,752 liter. Apabila itu adalah air dingin, maka beratnya adalah 2,752 kg dan apabila gandum Hijaz, maka beratnya 2,17426 (dibulatkan 2,174) kg. Apabila volume satu liter itu adalah beras, maka tergantung kepada berat jenis berasnya. Mari kita ambil yang paling berat dari daftar di atas, yaitu 0,823. Ini adalah beras pulen C4 dari Jawa Tengah. Cara menghitungnya adalah dengan mengalikan berat 1 sak air dingin (2,752 kg) dengan berat jenis beras, yaitu 2,752 kg x 0,823 = 2,264896 kg (dibulatkan 2,26 kg).
Apabila dipakai beras yang lebih ringan, hasilnya akan lebih ringan pula. Misalnya, dari daftar di atas, beras dengan berat jenis 0,794 (C4 dengan merek tertentu, harga Rp. 10.000,- per kg). Satu sak (2,752 kg) x 0,794 = 2,185088 kg (dibulatkan 2,19 kg).
Dengan demikian dapat dihitung berat satu mud beras di mana mud adalah seperempat sak. Jadi 1 mud beras pulen C4 Jawa Tengah adalah 2,26 : 4 = 0,565 kg. Sedangkan beras C4 biasa (bj 0,794) satu mudnya adalah 2,19 : 4 = 0,5475 kg (0,55 kg). Tetapi volumenya dalam liter adalah 0,688 liter.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa penetapan zakat fitrah sebesar 2,5 kg sudah sangat jauh mengantisipasi kekurangan timbangan atau perbedaan bermacam-macam jenis beras. Kadar zakat fitrah tidak perlu ditingkatkan sampai 3 kg atau lebih, karena banyak masyarakat Indonesia yang kemampuan ekonominya minim, meskipun hal itu tidak terasa oleh kelas menengah ke atas. Tetapi apabila ada yang mau membayar zakat fitrah secara suka rela lebih dari itu, maka itu dapat dipandang sebagai tatawuk.
Prof Dr Syamsul Anwar, MA, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah