Al-Muhyi, Allah Yang Maha Menghidupkan
Kata Al-Muhyi merupakan salah satu dari nama dan sifat Allah Yang Agung yang artinya Allah Yang Maha Menghidupkan. Di dalam al-Qur’an disebutkan pada beberapa ayat, di antaranya adalah surah Yunus [12]: 56,
هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Menghidupkan mengandung dua arti yakni, pertama, menjadikan sesuatu menjadi hidup sebelum adanya sesuatu tersebut, misalnya menciptakan manusia pada awalnya sebelum ada manusia sebelumnya (QS. al-Rum [30]: 11), dan kedua, menghidupkan sesuatu yang sebelumnya telah hidup, kemudian dimatikan, lalu dihidupkan kembali (QS. al-Hajj [22]: 66).
Oleh karena itu, lafaz Al-Muhyi hampir selalu dipasangkan dengan al-Mumît (Yang Maha Mematikan). Hal ini mengandung arti bahwa hanya Allah-lah yang Maha Menghindupkan sesuatu yang mati (tidak mempunyai potensi hidup) dan sebaliknya hanya Allah Yang Maha Mematikan. Dengan kekuasaan menghidupkan dan mematikan ini Allah merupakan satu-satunya tuhan di jagad raya ini, dan tidak ada tuhan yang lain selain Allah (QS. al-Dukhan [44]: 8).
Sesuatu yang tidak dapat hidup sendiri kecuali dihidupkan oleh zat lain merupakan makhluk, begitu sebaliknya Dzat yang hidup tanpa dihidupkan bahkan memberi kehidupan tentu bukan makhluk, Dialah Dzat Allah Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupkan (al-Hayyu dan Al-Muhyi). Oleh karena itu, pengingkaran akan Dzat Allah merupakan bentuk kebodohan sekaligus kesombongan manusia yang hakikatnya mereka hidup karena diberi kehidupan oleh Allah (QS. al-Baqarah [2]: 258).
Secara nalar, tidak mungkin ada keingkaran atas keberadaan Allah sebagai Tuhan sekalian alam. Namun, ketika terdapat keingkaran dalam diri manusia, bahkan menyekutukan Allah, sejatinya mereka telah dijerumuskan oleh syetan untuk berbangga dengan dirinya sendiri dengan mengingkari Allah (QS. al-A’raf [7]: 15-16), dan hal itu merupakan kezaliman yang sangat besar (QS. Lukman [31]: 13).
Dengan mengimani bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Menghidupkan sekaligus Maha Hidup, kita akan menyadari bahwa manusia hanya makhluk yang lemah yang membutuhkan sandaran hidup kepada Dzat Yang Maha Menghdiupkan, Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak mungkin manusia dapat hidup tanpa bersandar kepada dzat yang juga dihidupkan oleh dzat lain. Konsekuensinya perilaku manusia (kita) akan selalu mengacu pada aturan Dzat Yang Maha Menghidupkan, yakni Allah al-Muhyî. Wallahu a’lam bi al-shawwab.
Usatadi Hamzah, Pengajar Department of Religious Studies Faculty of Ushuluddin (Islamic Theology & Thought) State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2019