Dampak Pornografi dan Sumber Munculnya LGBT Menurut Pakar

Dampak Pornografi dan Sumber Munculnya LGBT Menurut Pakar

Dampak Pornografi dan Sumber Munculnya LGBT Menurut Pakar

BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Ada data menunjukkan bahwa generasi Z menghabiskan waktu lebih dari delapan jam sehari di depan layar gadget. Hal yang lebih mencengankan yakni salah satu aktivitas di dalamnya adalah menonton konten terkait pornografi.

Kemenkominfo melaporkan bahwa Indonesia adalah negara pengakses konten pornografi kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

”Mereka yang sering mengakses konten-konten pornografi menurut riset mengalami kerusakan pada otak depan yaitu prefrontal cortex–bagian otak yang bertanggung jawab terhadap proses berpikir, merencanakan, dan mengambil keputusan–sehingga sulit mencari solusi pemecahan masalah yang sederhana, mudah cemas, lalu mengurung diri, dan sulit mengendalikan emosi, bahkan bisa sampai kepada hal yang paling parah, yakni bunuh diri,” ucap dosen psikologi Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung) Dr. Irianti Usman, M.A. dalam “Gerakan Subuh Mengaji” yang tayang di TvMu, belum lama ini.

Lebih lanjut Irianti Usman mengungkapkan bahwa ada sebuah riset yang dirilis WHO, kecanduan pornografi akan sulit dihapus karena menyebabkan efek kesenangan yang akan tersimpan di memori jangka panjang.

Otak yang dirangsang oleh gambar-gambar porno akan menyebabkan keluarnya hormon dopamin (hormon kepuasan) bagi orang yang menontonnya.

Tidak hanya itu, jika dopamin terus keluar maka akan menimbulkan keinginan untuk membuat pengalaman yang sudah dilakukan menjadi nyata dan berfantasi menciptakan pengalaman lebih unik.

Dampak buruknya, kata Irianti Usman, hal tersebut akan memunculkan aksi peniruan dan pemodelan yang tidak pantas; diikuti keinginan mencoba yang berbeda terlepas dari resiko dan melanggar norma-norma agama ataupun sosial.

”Nah, itulah salah satu sumber kemunculan seks bebas dan perilaku seksual menyimpang seperti LGBT, yang pada awalnya mungkin masih sebatas menonton dan normal-normal saja, tapi kemudian ingin mencoba sesuatu hal yang berbeda,” jelas Kepala Pusat Kajian Kepemimpinan dan SDM UM Bandung ini.

Bila hal tersebut dilakukan sebelum usia 21 tahun dengan otak depan yang belum sempurna fungsinya, maka akan sulit untuk menentukan mana yang baik atau buruk dalam mengambil suatu keputusan.

”Jika itu belum sempurna, semua pengalaman pornografi tersebut, itu akan tersimpan di otak mereka sebagai standar,” katanya.

”Dampak kecanduan pornografi juga akan menyebabkan volume otak mengecil sampai 14 persen dari orang normal, kemudian memori jangka panjang atau memori verbalnya terganggu,” ujarnya.

Oleh karena itu, ungkap Irianti Usman, jangan heran kalau misalnya anak-anak yang kecanduan pornografi itu dikasih nasihat secara verbal, misalnya, akan masuk telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Hal itu terjadi karena kemampuan mereka untuk menyimpan atau memaknai kata-kata dalam bentuk verbal sudah terganggu.

Pentingnya kehadiran ayah

Alumnus Ball State Univesity, Indiana, Amerika Serikat, ini menjelaskan salah satu permasalahan yang terjadi di kalangan milenial tersebut, sebetulnya tidak jauh-jauh dari bagaimana pola pengasuhan dan kehadiran sosok ayah.

Kebanyakan kasus LGBT atau seks bebas itu terjadi di antaranya pada anak-anak dalam keluarga yang ayahnya ada secara fisik, tetapi tidak hadir secara emosi.

Kemudian secara kualitas perhatian atau atensi dari ayah juga tidak tampak sehingga berakibat pada dinginnya hubungan kedua belah pihak.

Oleh sebab itu, pola pengasuhan yang ideal dari seorang ayah sangat diharapkan, khususnya kepada anak perempuan. Pasalnya, hal itu akan berpengaruh kepada kepercayaan diri, keberanian, dan kreativitas anak perempuan tersebut termasuk dalam hal memilih pasangan hidup nantinya.

”Mereka yang sudah mendapatkan figur pelindung dari seorang ayah di dalam keluarga bisa terhindar dari perilaku seks bebas dan hamil di luar pernikahan,” tegasnya.

Bagi anak laki-laki, sosok ayah menjadi role model yang baik dalam proses bagaimana dia menjadi seorang pria yang baik: berani, percaya diri, kreatif, bertanggung jawab, dan cenderung menyelesaikan pendidikannya.

”Makanya hubungan ayah dan anak harus intensif sehingga dapat melatih khususnya anak lelaki menjadi pribadi yang berani dan bertanggung jawab,” tandas Irianti Usman.***(Firman Katon)

Exit mobile version