Memuliakan Tamu
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Memelihara silaturahim merupakan salah satu perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala sebagaimana terdapat di dalam Alquran Surat an-Nisaa (4): 1.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu dengan yang lain, dan (peliharalah) silaturahim. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Silaturahim dapat dipelihara dengan, di antaranya, saling mengunjungi. Dalam kunjung-mengunjungi inilah ada tamu dan penerima tamu.
Adapun memuliakan tamu merupakan salah satu bentuk akhlak memelihara silaturahim. Dalam hal memuliakan tamu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Tamu Kita
Di dalam Himpunan Putusan Tarjih 3 (2018:456) dijelaskan perilaku menerima tamu sebagai berikut:
- menjawab salam tamu yang datang;
- menerima tamu dengan ramah dan menghormatinya sesuai dengan usia dan kedudukannya, tanpa membedakan baik status sosial, jenis kelamin, ras maupun agama;
- jika ada tamu atau siapa saja yang datang, hendaklah berdiri sebentar, bersalaman, berkenalan, kemudian duduk kembali;
- menanggapi keperluan tamu dengan cara-cara yang menyenangkan;
- mengantar tamu sampai ke pintu atau sampai ke halaman, jika berkendaraan, antarlah sampai ke kendaraannya apabila mau pulang;
- meminta maaf jika ada kekurangan dalam penerimaan atau menyampaikan ucapkan selamat jalan dan ucapan salam;
- menjaga kehormatan diri dan keluarga bila menerima tamu lain jenis yang bukan mahram.
Perilaku tersebut bersifat umum. Kita dapat menjabarkannya dengan merujuk pada Alquran dan Assunah.
Dalam hal menjawab salam, kita merujuk pada firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam Alquran surat an-Nisaa (4): 86,
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Berdasarkan ayat tersebut, jika kita menjawab salam “Assalamu ‘alaikum”, jawaban yang diutamakan adalah (Wa) ‘alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”, sedangkan sekurang-kurangnya adalah (Wa) ‘ailaikumussalam.” Perhatikan! Bukan “Wa ‘alaikum salam”
Keramahan dapat diwujudkan dengan wajah dan gerak-gerik anggota tubuh. Wajah yang ramah ditandai dengan misalnya pandangan mata. Pandangan mata keramahan berbeda dari pandangan mata kemarahan. Bentuk mulut ketika berbicara ramah berbeda dari bentuk mulut ketika berbicara marah. Gerak-gerik anggota tubuh orang rendah hati berbeda dari gerak-gerik anggota tubuh orang tinggi hati. Menghormati tamu tanpa membedakan status sosial dapat kita wujudkan misalnya dengan menempatkannya di ruang tamu yang tertata rapi dan bersih. Tidak kita bedakan tamu yang berstatus sosial tinggi kita tempatkan ruang tamu, sedangkan tamu yang berstatus sosial rendah di teras. Tentu saja, rombongan “pegowes” yang dalam keadaan beringat, dapat saja kita terima di teras atau di kebun yang sudah kita kondisikan kenyamanannya.
Mereka biasanya lebih memilih tempat yang demikian. Masih ada lagi. Jika tamu datang bersama anak balita (anak dan/cucu), kita pun menyambutnya dengan ramah. Kita ucapkan salam. Kita ajak bersalaman. Kita sapa. Kalau belum/tidak mau, bahkan, belum mau masuk, kita tidak perlu memaksanya. Dalam keadaan demikian, ada orang tua yang berkata, “Yah, kok nakal, sih!” Tanggapi kata-kata itu dengan misalnya, “Nggak. Nggak nakal. Saleh.” Boleh jadi, akhirnya dia mau setelah kita rayu dengan mainan, makanan atau minuman kesukaannya. Jadi, kita tunggu momen yang pas. Setelah mau masuk, mungkin ada anak yang duduk tidak sopan atau malah berdiri di kursi. Ada juga yang berlarian dan menabrak meja sampai memecahkan cangkir atau yang lain. Tidak perlu kita marah. Kalau orang tuanya berkata, “Aduh! Memang anak nakal!” Kita tanggapi dengan kata-kata yang berisi doa kebaikan! Dalam usaha memulilakan tamu, yang tidak boleh kita abaikan juga adalah keramahan terhadap driver tamu. Dia pun kita muliakan!
Kadang-kadang dapat terjadi, ketika kita sedang menerima tamu, datang lagi tamu berikutnya. Tamu yang datang kemudian itu kita sambut dengan cara kita berdiri sebentar. Berkenalan jika belum mengenalnya. Jika sudah mengenalnya dengan baik dan dia mempunyai keperluan yang berbeda dari tamu sebelumnya, bersifat tertutup, dan mendesak/darurat (misalnya memerlukan bantuan), kita beri kesempatan menyampaikannya di tempat/ruang lain. Berkenaan dengan itu, kita minta izin pada tamu yang lain.
Menanggapi keperluan tamu dengan cara yang menyenangkan dapat kita lakukan dengan mendengarkan dan merespon pembicaraannya. Tamu kita beri kesempatan berbicara untuk menyampaikan keperluannya sampai selesai. Jika ada bagian yang perlu kita respon, baik dengan kata-kata maupun gerakan (mungkin gelengan atau anggukan kepala), respon itu kita lakukan secara tidak berlebihan apalagi sampai mendominasi permbicaraan atau mengubah topik. Jika tamu bermaksud minta bantuan dan kita dapat memenuhinya, kita penuhi. Jika tidak, kita memberinya solusi.
Sangat bagus jika tamu yang membawa kendaraan dapat memarkir kendaraannya di halaman rumah kita. Jika terpaksa memarkir kendaraannya di halaman rumah tetangga, kita mintakan izin kepada pemilik rumah.
Ketika berpamitan pulang, tamu kita antar sampai meninggalkan rumah/tidak tampak lagi. Kita ucapkan selamat jalan, terima kasih, minta maaf atas kekurangan dalam penyambutan, dan menjawab salamnya sesuai dengan tuntunan. Jika parkir di halaman rumah tetangga, ucapkan terima kasih kepada tetangga dan doakan semoga Allah Subhaanahu wa Ta’aala melimpahkan barakah-Nya. Sangat penting juga, jika hujan, kita antarkan tamu dengan payung dari rumah kita ke mobil/halaman tetangga.
Tamu yang berbeda jenis kelamin dan bukan mahram kita terima pada waktu dan di ruang tamu yang tidak menimbulkan fitnah. Jika tidak terkendala oleh hujan angin yang menyebabkan air hujan masuk ke ruang tamu, pintu rumah kita buka.
Di samping ketujuh perilaku itu, memuliakan tamu dapat juga diwujudkan dengan menjamunya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala si di dalam surat adz-Dzariyat (51): 26-27 berfirman,
فَرَاغَ اِلٰٓى اَهْلِهٖ فَجَاۤءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍۙ
فَقَرَّبَهٗٓ اِلَيْهِمْۚ قَالَ اَلَا تَأْكُلُوْنَ
“Maka dengan diam-diam dia pergi kepada keluarganya, maka datanglah dia dengan membawa anak sapi gemuk. Kemudian, dia menghidangkannya kepada mereka sambil berkata, “Tidakkah kalian akan makan?”
Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala tersebut berisi contoh cara Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memuliakan tamu. Dalam Tafsir al-Azhar karya Hamka, dijelaskan beliau menyambut tamu dengan sifat hormat. Beliau mempersilakan tamu itu duduk di tempat penerimaan tamu. Setelah itu, beliau pergi secara diam-diam memberi tahu keluarganya bahwa ada tamu. Lalu, segeralah seisi rumah sibuk menyambut tamu dengan sepantasnya. Ditangkaplah seekor anak sapi yang masih muda, disembelih, dan dibumbui baik-baik. Setelah itu, daging sapi itu dibakar sampai masak. Dibawanyalah hidangan anak sapi gemuk itu ke hadapan tamu itu, sebagai tanda menghormatinya.
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hai umat manusia, syiarkanlah salam, hubungkanlah silaturahim, menjamu makanlah dan salat (malamlah) kamu pada waktu orang (lain) tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejahtera.” (HR Turmudzi)
Beberapa hal yang perlu dipahami berkait dengan menjamu tamu adalah
- menjamu tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, dengan niat memberikan kegembiraan kepada tamu, terutama kepada sesama muslim;
- mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan baginya;
- mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib;
- mengangkat makanan yang dihidangkan jika tamu selesai menikmatinya,
- mengajak tamu berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan,
Tentu saja jika tamu hadir pada hari-hari puasa sunah misalnya enam hari pada bulan Syawal, Senin-Kamis, Arafah, atau asy-Syura, kita tanya apakah dia berpuasa atau tidak. Jika tidak, sedangkan kita berpuasa, sebaiknya kita membatalkan puasa. Jika tamu itu berpuasa, kita doakan. Sangat bagus jika kita jamu berbuka.
Kemungkinan ada tamu yang perlu bermalam. Berkenaan dengan itu, kita sediakan segala seuatu yang diperlukannya seperti kamar tidur dengan kelengkapannya yang pantas, jamuan, sarana beribadah, dan kamar mandi. Dalam keadaan darurat, mungkin untuk tamu perlu kita sediakan perlengkapan mandi dari handuk sampai sikat gigi. Kita siapkan handuk yang bersih, rapi, dan kering (baru diambil dari almari) dan kita siapkan sikat gigi baru. Kita usahakan tidak tidur sebelum dia tidur. Hal sangat penting juga adalah tidak mengeluhkan kehadirannya.
Kepada tamu yang memberikan oleh-oleh, kita ucapkan “Alhamdulillah”, terima kasih, dan doa memperoleh barakah” bukan “Ah, repot-repot.”
Jika memerlukan jemputan, kita jemput. Mungkin ada tamu yang perlu kita jemput di bandara, stasiun kereta api, pelabuhan, terminal bus, atau di tempat strategis lainnya.
Tamu Tetangga
- Jika menanyakan alamat yang akan dituju, kita antarkan jika dalam jangkauan kita.
- Jika minta izin memarkir kendaraannya di halaman rumah kita, kita izinkan. Jika tanpa minta izin, kita maafkan.
- Jika memarkir di depan pintu garase sehingga kita terganggu ketika akan pergi atau memasukkan kendaraan, kita maafkan dan kita cari solusi. Namun, jika ada kepentingan darurat, kita berkomunikasi tanpa marah dengan tetangga. Boleh jadi, ada yang mengetahui pemiliknya dan posisi pemiliknya. Namun, jika kita tahu, dengan baik-baik kita mohon agar kendaraan yang diparkir di depan pintu garase digeser/dipindahkan.
- Jika memerlukan bantuan yang dalam jangkauan kemampuan kita, misalnya meminjam payung, kita pinjami. Bahkan, sangat bagus kita sudah menawarkannya sebelum dia minta.
Tamu Kondangan
- Kita terima dan kita jamu dengan baik. Kita berucap alhamdulillah dan terima kasih meskipun dia hadir tidak sesuai dengan undangan.
- Kita terima dengan senang. Kita berucap alhamdulillah dan terima kasih atas pemberiannya meskipun mungkin ada yang tidak sesuai dengan harapan.
- Kita sediakan tempat yang memenuhi syarat syar’i sehingga dapat menikmati jamuan (sekurang-kurangnya kursi sehingga dapat makan dan minum dalam posisi duduk).
- Kita jamu pengantar tamu kondangan dengan menu dan kualitas yang baik.
Kata-kata kunci yang harus dijadikan pedoman adalah memuliakan tamu merupakan ibadah karena melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta ‘aala dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, semua kita lakukan dengan ikhlas. Keikhlasan inilah yang dapat memancarkan keramahtamahan. Yakinlah bahwa keikhlasan memuliakan tamu mendatangkan kebarakahan.
Nah, akan tetap berucap kepada tamu kondangan, “Lho, kok sekarang?” atau, “Lho, kok nggak di gedung? Wah, ya, maaf. Kami hanya dapat menjamu seadanya.” Lalu, mereka pun benar-benar hanya mnyediakan air bening kemasan dan cemilan sekadarnya.
Yuk, kita renungkan! Tamu kondangan datang karena kita undang dan kita mohon untuk memberikan doa. Menghadiri undangan yang demikian adalah wajib bagi muslim. Jadi, dia datang dalam rangka beribadah karena melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta ‘aala dan Rasul-Nya. Dia datang tidak sesuai dengan undangan karena ada kendala. Misalnya, pada waktu yang sama, dia menerima lebih satu undangan dan di tempat yang berbeda, bahkan berjauhan. Tambahan lagi, ada satu di antara undangan-undangan itu diterima dari saudara, besan, atau tetangga dekat. Mungkin pula, boleh jadi, ada kendala lain; ada keluarganya yang sakit atau tetangga yang memerlukan bantuan darurat. Bukankah perilaku memuliakan tamu yang sangat bagus jika dia kita sambut dengan senang, dengan ucapan alhamdulillah, terima kasih, dan doa keberkahan?
Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang