Tiga Kekuatan Persyarikatan

KEKUATAN PERSYARIKATAN

Prof Haedar Nashir Dok Unismuh/SM

Tiga Kekuatan Persyarikatan

Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Muhammaadiyah mampu bertahan dan berkembang hingga lebih satu abad karena memiliki kekuatan. Muhammadiyah sebagai organisasi terbentuk karena setiap anggota bersepakat berhimpun yang diikat oleh kesamaan prinsip, pandangan, dan tujuan. Di dalamnya terkandung prinsip gerakan seperti paham agama dan ideologi serta berbagai regulasi yang membentuk sistem organisasi untuk mencapai tujuan.

Muhamamdiyah dengan kemajuan amal usahanya tidak lepas dari unsur-unsur penting yang menjadikannya kokoh sebagai organisasi. Di antara kekuatan Muhammadiyah yang menjadi pilar penopang persyarikatan ialah kekuatan nilai gerakan, kekuatan sistem, dan kekuatan orang atau manusianya, yang membentuk satu kesatuan. Masalah sering terjadi, termasuk konflik, karena tiga kekuatan tersebut tidak terpenuhi syarat kohesivitas atau kelekatan dan kualitasnya.

Kekuatan Nilai

Muhammadiyah didirikan, tumbuh, dan berkembang karena kekuatan nilai yang menjadi penopang gerakannya. Nilai (value, qimah) adalah sesuatu yang berharga dalam kehidupan, termasuk kehidupan organisasi. Setiap organisasi memiliki nilai-nilai yang menjadi dasar atau prinsip, jatidiri, visi, misi, dan cita-citanya yang diidealisasikan serta menjadi rujukan bersama dalam mencapai tujuan.

Nilai yang  menjadi landasan penting gerakan Muhammadiyah ialah Islam sebagai azas dan identitas utama. Islam yang dipahami Muhammadiyah terbangun sejak awal berdiri oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang kemudian direformulasikan menjadi pokok-pokok pikiran Islam dan Kemuhammadiyahan sebagai manhaj dan pemikiran resmi organisasi.

Al-Quran dan Sunnah Nabi yang maqbullah merupakan sumber nilai Muhammadiyah. Pemahaman tentang Islam tidak bersifat perorangan tetapi secara jama’i dan organisasi melalui Manhaj Tarjih dengan segala dasar pemikiran keislamannya yang diputuskan dan difatwakan serta menjadi rujukan keislaman Muhammadiyah. Dikembangkan ijtihad untuk menjawab tantangan zaman disertai pemahaman Islam secara bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi dan multiperspektif. Misi gerakannya   Menjalankan dakwah dan tajdid.

Nilai-nilai dasar gerakan kemudian dikodifikasikan menjadi pemikiran-pemikiran resmi Muhamamdiyah seperti Statuten (AD-ART) Muhamamdiyah 1912 dengan berbagai keputusan Muhamamdiyah generasi awal. Kemudian lahir Lankah Dua Belas, Muqaddimah AD, Kepribadian, MKCH, GJDJ, Khittah, PHIWM, Dakwah Kultural, Pernyataan Pikiran Abad Kedua, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa, Indonesia Berkemajuan, Dakwah Komunitas, Negara Pancasila Daril Ahdi Wasyahadah, Tafsir At-Tanwir, berbagai Fikih Kontemporer, serta pemikiran-pemikiran resmi lainnya yang menjadi pedoman, tuntunan, dan arah gerakan.

Nilai-nilai dasar gerakan tersebut harus dihayati, dipahami, dilaksanakan, dan menjadi rujukan dalam berorganisasi. Jangan dibiarkan pemikiran-pemikiran resmi tersebut sebagai teks belaka. Anggota, kader, dan pimpinan harus membaca dan memahami serta melaksanakam pikiran-pikiran resmi tersebut. Jangan sebaliknya tidak membaca, tidak memajami, dan tidak dijadikan rujukan berorganisasi. Ironi  bila yang dijadikan rujukan malah pemikiran sendiri, yang berbeda dari pikiran organisasi.

Masalah sering terjadi karena anggota, kader, dan  pimpinan Muhammadiyah tidak menjadikan pemikiran-pemikiran resmi tersebut sebagai rujukan pokok, termasuk dalam menyelesaikan masalah-masalah  organisasi. Akibatnya masalah bukan menjadi ringan dan selesai, tetapi membesar dan tidak terselesaikan karena para pimpinannya tidak memakai nilai organisasi. Hal yang dikedepankan dan dijadikan dasar justru pemikiran dan kehendak pribadi-pribadi!

Kekuatan Sistem

Muhammadiyah sejak berdiri merupakan suatau organisasi yang disebut persyarikatan. Persyarikatan ialah organisasi tempat bersyarikat. Menurut Berita Tahunan tahun 1927,  “Kalimat Syarikat itu berarti kumpulannya beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan semufakat mungkin dan bersama-sama”. Karenanya setiap dan semua orang yang berhimpun dalam Muhammadiyah harus mengikatkan diri dalam bersyarikat, yang lebih mengutamakan organisasi ketimbang dirinya. Jangan  mengedepankan kehendak diri daripada organisasi, sehingga orang melampaui sistem organisasi. Berbeda dengan budaya tradisional yang mengedepankan karisma personal, sehingga sang aktor leluasa menentukan segala urusan organisasi.

Organisasi atau persyarikatan itu kuat dan mampu bertahan karena dibentuk menjadi sistem, yaitu seperangkat unsur-unsur yang membentuk organisasi dengan memenuhi syarat sistem yaitu adaptasi, cara mencapai tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola sebagai Persyarikatan. Termasuk di dalamnya segala aturan atau regulasi yang menentukan keberadaan dan jalannya organisasi.

AD-ART, qoidah, pedoman, dan segala ketentuan organisasi adalah sistem tempat berpijak yang menjadi rujukan segala pengurusan organisasi Muhammadiyah. Sistem tersebut menjadi objektif untuk mengatasi perbedaan kepentingan, kehendak, dan pandangan perorangan atau para pihak. Manakala sistem masih kurang maka dapat disempurnakan sesuai mekanisme organisasi. Musyawarah ditempuh secara organisatoris, bukan dengan mobilisasi  dan politisasi.

Sistemlah yang menjadikan Muhammadiyah kuat dan maju. Sistem memang tidak sempurna, selain terbuka perbaikan, tetapi semua pihak harus berdasar pada sistem dengan segala perangkat organisasinya itu. Bila ada perorangan yang mengabaikan sistem atas alasan apapun, apalagi dengan cara memaksakan kehendak, maka penting menghayati dan memahami kembali sistem Muhammadiyah. Anggota, kader, dan pimpinan yang tertempa kaderisasi dan pengalaman pergerakan secara mendalam biasanya memahami dan mampu meletakkan sistem tersebut sebagai rujukan dalam berorganisasi.

Ketaatan terhadap sistem harus dibiasakan dan dibudayakan menjadi karakter utama bergerakan. Semua unsur di lingkungan Persyarikatan agar bertindak dalam kerangka dan koridor organisasi Muhammadiyah, jangan bereaksi dan mengambil langkah sendiri-sendiri sebagaimana peringatan Allah “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS Ash-Shaff: 4).

Karena itu dalam berorganisasi semua harus ikhlas menyatukan hati, pikiran, dan tindakan dalam satu barisan sistem yang kokoh. Organisasi itu bukan milik sendiri. Janganlah bertindak sendiri-sendiri, menonjolkan diri sendiri, berdasarkan pikiran sendiri, memaksakan kehendak sendiri, dan mengambli jalan sendiri-sendiri. Jika hal itu terjadi maka rusaklah bangunan organisasi.

Kekuatan Orang

Kunci bertahan dan berkembangnya Muhammadiyah karena kekuatan kualitas manusianya yaitu anggota, kader, dan pimpinan di seluruh tingkatan dan lini organisasi. Termasuk di organisasi otonom, majelis dan lembaga, amal usaha, serta unit-unit kelembagaannya dari Pusat sampai Ranting. Kualitas orang Muhamamdiyah menyamgkut hal dan nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, keterpercayaan, komitmen, pengkhidmatan, kesungguhan, kejujuran, dan aspek-aspek ideal lainnya yang menjadi dasar nilai bermuhammadiyah.

Kualitas visi, ilmu, keahlian, dan wawasan juga menjadi faktor penting dalam Muhamamdiyah. Penting meningkatkan kualitas diri agar semakin unggul, sebab organisasi Islam lain juga memiliki orang-orang yang berkualitas maju. Jangan sampai terjadi sebaliknya, orang Muhamamdiyah tertinggal kualitas dan pemikirannya dari pihak lain, sehingga yang tampak menjadi sosok-sosok yang reaktif, konfrontatif, konservatif atau kolot, dan tidak berkemajuan.

Kualitas keruhanian sama pentingnya di Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah dalam bersikap dan mengurus organisasi memerlukan jiwa irfani atau ihsan. Yakni mengedepankan hati dan rasa. Baik dalam berhubungan dengam sesama, menyikapi persoalan di dalam dan di luar, maupun dalam menyelesaikan masalah-masalah internal diperlukan aspek hati dan rasa. Agar tidak semata rasio dan  menampilkan sikap keras, tega, memaksa, mengancam, dan intoleran.

Menghidupkan hati dan rasa bagian dari ihsan, yakni kebaikan yang melampaui. Nabi berkisah tentang Si A yang membeli tanah dari Si B, ternyata ada emas di dalamnya. Si A mengembalikan emas itu ke Si B karena merasa bukan barang yang dibeli secara akad. Tapi Si B menolak, karena menjual tanah dengan yang ada di atas dan di dalamnya. Akhirnya keduanya minta Qadi memutuskan. Sang pengadil bersikap adil dengan membagi kepada keduanya, serta diberikan kepada hamba sahaya. Itulah mutiara irfani atau ihsan dalam menyikapi kehidupan dan persoalan, tidak dengan menang-menangan dan rasio semata. Apalagi menyangkut urusan dunia yang memerlukan dialog dan solusi bersama.

Muhammadiyah mampu bertahan dan berkembang karena bersatu atau utuh sebagai persyarikatan, antara lain karena orang-orangnya ikhlas, rendah hati, bersahaja, dan mengedepankan kepentingan organisasi dibingkai jiwa irfani. Orang-orang Muhammadiyah tidak egois, angkuh, keras, dan memaksakan kehendak dalam menyelesaikan masalah. Jauhi sikap merasa benar sendiri dan mengabaikan pihak lain. Kedepankan musyawarah dan koridor sistem dengan menempatkan kepentingan organisasi yang lebih luas disertai hikmah dan jiwa irfani!

Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2021

Exit mobile version