FISIP UMJ Kaji Penataan Ulang Sistem Perwakilan Politik di Indonesia

Politik

Foto Dok Ilustrasi

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Penataan sistem perwakilan politik di Indonesia masih terbuka sampai dengan perubahan yang mendasar. Penataan itu terkait dengan fungsi dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan perubahan dapat dilakukan melalui bentuk hukum berupa amandemen konstitusi, Ketetapan MPR dan Undang-Undang.

Demikian sebagian dari butir-butir pendapat dalam Webinar Penataan Ulang Sistem Perwakilan di Indonesia hari Kamis (23/6). Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Anggota DPD Tamsil Linrung, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Murod dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Januari Aquarta. Webinar diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan  Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Wakil Ketua MPR Dr Hidayat Nurwahid menegaskan bahwa perubahan terhadap sistem perwakilan di MPR, DPR dan DPD sebagai opsi yang masih terbuka. Alasannya adalah untuk perbaikan sistem politik di Indonesia dimana lembaga-lembaga perwakilan rakyat ini menghasilkan kebijakan yang berkualitas untuk kehidupan masyarakat Indonesia. Dan perbaikan semua kewenangan lembaga perwakilan itu ada di dalam Undang-Undang Dasar.

Amandemen konstitusi ini telah diatur dalam UUD Pasal 37 yang antara lain berbunyi “Usul Perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apbila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawartawan Rakyat”. Dalam hal ini, katanya, masyarakat terutama dalam pemilu 2024 tinggal memilih apakah akan mendukung mereka yang ingin melakukan amandemen konstitusi untuk Indonesia yang lebih baik atau tidak.

Anggota DPD Tamsil Linrung, yang mengaku pihaknya sudah memiliki konsep amandemen konstitusi,  menjelaskan bahwa amandemen itu masih terbuka asal syaratnya terpenuhi. Untuk amandemen konstitusi ini diperlukan 237 suara dari 711 suara di MPR. Namun demikian juga dicatat oleh Tamsil Linrung cara perubahan melalui amandemen bukan hal yang mudah. Salah satu alasannya dikhawatirkan dalam proses amandemen konstitusi ini muncul para penumpang gelap antara lain perpanjangan masa jabatan presiden. Oleh sebab itulah gagasan amandemen ini sejak awal ditegaskan sebagai amandemen terbatas fokus pada penataan haluan negara serta fungsi dan wewenang MPR, DPR dan DPD.

Penataan MPR lebih menekankan kepada penguatan lembaga ini yang dikatakan sudah dilemahkan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi lembaga tertinggi negara. Sedangkan penataan DPD menyangkut antara lain pasal 22a dan 22b Konstitusi Indonesia.

Tiga pilihan perubahan

Tamsil Linrung kemudian menjelaskan bahwa masih ada dua pilihan bentuk hukum lainnya dalam melakukan penataan sistem perwakilan politik di Indonesia selain amandemen konstitusi. Yang kedua melalui Ketetapan MPR meski ada yang berpendapat juga harus dilakukan melalui amandemen konstitusi. Pilihan bentuk hukum ketiga adalah melalui Undang-Undang.

Bahkan Anggota DPD Tamil Linrung menyatakan, kalau bisa perubahan sistem perwakilan ini juga menjangkau eksekutif. Alasannya, agar pimpinan eksekutif yang dipilih rakyat ini benar-benar mencerminkan asas demokrasi. Selain itu jangan sampai terjadi pemilihan di lembaga eksekutif ini terkesan seperti pembagian tugas mana yang menang dan mana yang kalah. Namun setelah selesai pemilihan bergabung dalam sebuah pemerintahan. Dengan perkembangan ini dikhawatirkan tidak ada lagi checks and balances dalam demokrasi di Indonesia.

Namun demikian Rektor UMJ Ma’mun Murod mencatat tidak mudah melakukan amandemen ini karena situasi politik sekarang sudah menemui jalan buntu. Pilihan-pilihan konstitusional untuk terjadinya perubahan sistem perwakilan di dalam politik Indonesia sudah sulit ditempuh, katanya. Meski ruang amandemen itu dibuka namun Rektor UMJ menyebutkan agenda juga sudah bermacam-macam dan sempit hanya semata-mata kepentingan politik tertentu. Jadi, tampaknya usulan amandemen itu tidak bertujuan menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Dalam Webinar yang dipimpin moderator Kaprodi Mipol FISIP UMJ Asep Setiawan dihadirkan pula paparan dari Mahasiswa Mipol UMJ Januari Aquarta. Januari menjelaskan bahwa dalam menata ulang sistem perwakilan, perlu dibangun sistem parlementer dua kamar (bikameral) yang substantif antara DPR dan DPD yang kekuasaannya bukan saja setara tetapi juga bisa saling imbang saling kontrol satu sama lain. Dengan demikian mekanisme checks and balances antara kedua lembaga ini bisa terwujud. Salah satunya dengan dirumuskannya sistem bikameral yang lebih kuat dalam konstitusi, diharapkan nantinya akan memperkuat kewenangan DPD.

Menurut Januari, Indonesia sebagai sebuah negara yang besar, memiliki kondisi geografis dan wilayah yang sangat luas dengan penduduk yang sangat beragam dari segi etnik dan latar belakang, dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda.  Oleh karena itu seharusnya, wewenang kamar di parlemen yang mewakili daerah  lebih besar. Dengan demikian, apabila wewenang DPD masih jauh dari DPR, maka tujuan untuk menghasilkan checks and balances ini tidak akan tercapai. Kemudian apabila dilakukan amandemen kembali terhadap UUD 1945, pasal mengenai DPD sekurang-kurangnya harus mengatur bahwa: DPD juga diberi wewenang untuk membahas dan ikut memutuskan mengenai seluruh RUU yang dibahas di DPR.

Urgensi Penataan Ulang

Dalam sebuah kajian, wacana menata ulang pemilu, partai politik dan parlemen, merupakan hal yang patut menjadi perhatian serius dengan tujuan meningkatkan kualitas demokasi Indonesia. Demokrasi yang berkualitas tentunya akan menciptakan  pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. Salah satu yang penting untuk di tata ulang adalah peran parlemen  menjadi lebih jelas dan terarah.

Pasca perubahan UUD 1945 sistem perwakilan yang dianut di Indonesia adalah sistem perwakilan dengan tiga lembaga perwakilan sekaligus (sistem trikameral), terdapat tiga lembaga perwakilan yaitu MPR, DPR, dan DPD yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang berbeda dan terpisah.

Jika dilihat dengan berjalannya sistem ini, tampak belum terakomodasinya secara optimal terutama kepentingan di daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat pusat. Jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut semakin dekatnya akses antara pusat dan daerah peran DPD yang merupakan representasi daerah tidak memiliki wewenang yang siginifikan.

Sementara itu proses legislasi selama ini cenderung hanya mengarah kepada DPR, padahal diperlukan adanya keseimbangan internal untuk saling mengkontrol dalam hal ini DPR dan DPD, dimana seharunya DPD juga terlibat sebagai fungsi legislasi agar regulasi yang dibuat benar – benar efektif untuk kepentingan rakyat. (Asep/Riz)

Exit mobile version