Rumah Yatim Muhammadiyah di Masa Kolonial
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Didirikan di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1912, Muhammadiyah lahir dan tumbuh di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda. Di tahun-tahun formatifnya Muhammadiyah memusatkan perhatian pada usaha dakwah agama Islam, terutama guna memurnikan ajaran Islam dari sinkretisme, membangun sistem pendidikan Islam yang modern, dan menyesuaikan ajaran Islam dengan kebutuhan zaman, khususnya dalam memberikan pelayanan sosial secara teorganisir kepada kaum Muslim Hindia Belanda.
Sudah cukup banyak kajian sejarah yang menerangkan tentang langkah-langkah awal yang diambil para tokoh Muhammadiyah untuk mewujudkan cita-cita tersebut, di antaranya dengan mengoreksi arah kiblat di Masjid Gedhe Yogyakarta, mendirikan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (1918) yang sebelumnya merupakan Sekolah Guru Muhammadiyah (Kweekschool Moehammadijah), dan membangun klinik PKO Muhammadiyah (1923), yang sekarang menjadi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.
Membicarakan kiprah pelayanan sosial Muhammadiyah di era awal eksistensinya tidak lengkap tanpa menyebut nama satu institusi lain yang didirikan Muhammadiyah: Moehammadijah Weeshuis, atau yang dikenal juga di masa itu sebagai Roemah Jatim Moehammadijah. Tidak tersedia cukup sumber sejarah primer dari dokumentasi Muhammadiyah sendiri untuk dapat membangun sebuah rekonstruksi yang utuh tentang sejarah awal panti asuhan Muhammadiyah. Namun, beberapa sumber primer eksternal (dari luar Muhammadiyah) yang tersebar yang berasal dari tahun 1920an dan 1930an bisa dijadikan fondasi dalam merekonstruksi masa lalu panti asuhan Muhammadiyah ini.
Salah satu sumber primer paling awal yang menyebut tentang rumah yatim piatu Muhammadiyah adalah surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda. Ini bisa dilihat dari laporan koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, sebuah koran ekonomi berbahasa Belanda yang terbit di Semarang sejak tahun 1924.
Walaupun fokus utama surat kabar ini adalah pada urusan perdagangan orang Belanda di Hindia Belanda, dalam berbagai kesempatan redaksinya juga memberi ruang yang cukup banyak tentang dinamika sosial di tengah masyarakat pribumi. Salah satu gerakan sosial kaum pribumi yang menarik atensi redaksi koran ini adalah Persyarikatan Muhammadiyah, yang berperan di tengah publik tidak hanya dalam mendakwahkan ajaran agama Islam, tapi juga mempraktikkannya dalam berbagai usaha yang mendorong emansipasi sosial kalangan pribumi.
Pada 29 Oktober 1928, koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië menurunkan satu kolom khusus tentang Rumah Yatim Muhammadiyah. Kolomnya memang singkat saja (hanya terdiri dari 9 baris termasuk judul), namun kalau diperhatikan lebih jauh, kolom ini mengirimkan pesan bahwa Rumah Yatim Muhammadiyah adalah suatu institusi baru pribumi yang patut diperhatikan masyarakat kolonial di Hindia Belanda, termasuk kalangan Eropa, yang menjadi pembaca utama koran ini.
Mengenai Rumah Yatim Muhammadiyah, di sana tertulis:
Een Inlandsch Weeshuis
Het hoofdbestuur van de vereeniging Moehammadijah heeft een flinke lap grond aangekocht in kampong Sarangan, Djokja met het doel daarop een gebouw op te zetten, waarin Inlandsche weezen zullen worden ondergebracht en verzorgd.
Voor dit doel heeft Moehammadijah een som van f 10.000 beschikbaar gesteld.
(Suatu Panti Asuhan Pribumi
Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah telah membeli sebidang tanah yang luas di kampung Sarangan, Yogyakarta, dengan tujuan untuk mendirikan bangunan tempat tinggal dan pengasuhan untuk anak yatim piatu pribumi.
Muhammadiyah telah menyediakan uang sebanyak f 10.000 untuk tujuan ini.)
Ada beberapa hal menarik dan penting yang bisa disimpulkan dari berita di atas. Pertama, Muhammadiyah menaruh perhatian besar pada usaha untuk melindungi dan merawat anak-anak yang kurang beruntung. Uang f 10.000 cukup banyak untuk era itu. Sebagai perbandingan, harga koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië itu adalah 15 sen per eksemplar dan harga langganannya ialah f 7,5 per tiga bulan. Untuk memastikan bahwa fasilitas yang tersedia memadai, Muhammadiyah membeli lahan tanah berukuran besar.
Kedua, berita ini menandai perhatian yang semakin besar dari pers Belanda terhadap aktivitas sosial Muhammadiyah. Terlebih lagi bila mengingat fakta bahwa di edisi hari itu tidak hanya ada satu berita tentang Muhammadiyah, tapi secara total ada tiga berita di tiga kolom berbeda yang menyebut-nyebut Muhammadiyah. Pertama, tentang Rumah Yatim Muhammadiyah yang sedang dibahas ini. Kedua, berkaitan dengan posisi Muhammadiyah sebagai rival dari gerakan Ahmadiyah yang kala itu sedang melebarkan pengaruhnya di Hindia Belanda. Ketiga, subsidi Departemen Pendidikan Hindia Belanda terhadap sekolah-sekolah, termasuk milik Muhammadiyah.
Dalam satu dekade kemudian, Rumah Yatim Muhammadiyah semakin berkembang hingga ke luar Yogyakarta. Di Malang, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah (PAM) Malang telah berdiri sejak tahun 1934. Dalam catatan sejarah yang tertera di situs PAM Malang, diketahui bahwa ada sekitar 20-30 anak yang diasuh di panti asuhan ini di masa kolonial. Secara finansial, panti ini ditopang oleh swadaya masyarakat sekitar serta bantuan tidak tetap dari pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui gubernur jenderalnya, salah satunya bantuan berupa uang sebanyak 250 gulden (setara dengan sekitar 80 kuintal beras) dari Ratu Belanda, Wilhelmina.
Tidak hanya di Malang Muhammadiyah mendirikan Rumah Yatim. Menurut pengamatan salah satu referensi pokok tentang sejarah Hindia Belanda yang terbit pada masa kolonial, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, per tahun 1939, Muhammadiyah telah berhasil mendirikan panti asuhan yatim di berbagai kota di Pulau Jawa. Ensiklopedi itu menyebut sembilan kota, yakni Yogyakarta, Kartasura, Tegal, Kutoarjo, Mojokerto, Malang, Bandung, Tasikmalaya, dan Meester-Cornelis (Batavia). Yang patut dicatat, ensiklopedi ini menekankan bahwa kota-kota yang disebutkannya di atas barulah ‘o.a.’ (onder andere) atau ‘antara lain’. Itu artinya, jumlah panti asuhan Muhammadiyah di tahun 1939 itu sebenarnya lebih banyak lagi.
Yang juga patut digarisbawahi adalah kekuatan finansial Muhammadiyah dalam mengorganisir panti asuhannya pada masa itu. Ini tampak dalam sebuah artikel mengenai usaha pemeliharaan orang miskin di Tegal yang dimuat di koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië tanggal 18 Februari 1939. Di sana, koresponden koran ini di Tegal menulis sebuah berita bertajuk ‘Armenzorg in de Gemeente Tegal’ (Usaha Pemeliharaan Orang-orang Yang Kurang Beruntung di Tegal). Di salah satu bagiannya ia menyebutkan:
Het Moh. Weeshuis (Roemah Jatim) van Moehammadijah is in 1937 en 1938 ook betrokken geweest bij de gemeentelijke armenbedeeling, doch deze vereeniging kon zich in hoofdzaak zelf bedruipen, zoodat de door de gemeente verleende steun niet groot behoefde te zijn.
De subsidieering wordt o.a. afhankelijk gesteld van de eigen inkomsten, welke verkregen zijn.
(Panti Asuhan [Rumah Yatim] Muhammadiyah juga ambil bagian dalam administrasi yang berkenaan dengan orang miskin di kotapraja pada tahun 1937 dan 1938, tetapi perkumpulan ini terutama sekali mampu menghidupi dirinya sendiri, sehingga dukungan yang diberikan oleh pemerintah kotapraja tidak harus besar.
Subsidi tersebut, antara lain, bergantung pada pendapatan sendiri yang diperolehnya)
Dari kutipan berita di atas dapat diketahui bahwa kemampuan keuangan Muhammadiyah dalam hal pengadaan panti asuhan ini bahkan mendapat apresiasi dari kalangan orang Belanda sendiri. Kemampuan keuangan Muhammadiyah dalam mengurus panti asuhannya membuatnya hampir sepenuhnya mandiri dari subsidi dari pemerintah kotapraja, setidaknya di Tegal.
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2021