Penguatan Strategi Gerakan ‘Aisyiyah di Era Digital

Penguatan Strategi Gerakan ‘Aisyiyah di Era Digital

Penguatan Strategi Gerakan ‘Aisyiyah di Era Digital

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Menjelang dekatnya tempo pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48, Universitas ‘Aisyiyah Surakarta mengadakan Webinar Pra-Muktamar pada Sabtu, 25 Juni 2022. Tema yang diusung pada webinar kali ini adalah “Penguatan ‘Aisyiyah Untuk Pencerahan Perempuan Berkemajuan di Era Digital”. Acara kali ini turut mengundang Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr Tri Hastuti Nur Rochimah, SSos., MSi.

Menurut Tri, jejak sejarah ‘Aisyiyah itu bersumbu pada kehidupan di masa KH Ahmad Dahlan ada 6 murid perempuan mendapatkan Pendidikan umum dan agama. KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh besar bangsa pada era tersebut sudah bisa berpikir konstruktif dan berkemajuan. Memiliki pandangan cerah bagi masa depan kehidupan bangsa. Di mana pada tahun 1912, perempuan harus memperoleh Pendidikan yang sangat matang.

“Ini saya kira pemikiran-pemikiran yang maju, di saat pada waktu itu perempuan pergi bersekolah itu tidak di izinkan. Kalau bapak/ibu menonton film kartini juga memberikan pemahaman kepada kita bahwa perempuan tidak boleh bersekolah, tapi KH Ahmad Dahlan memiliki 6 murid yang sangat luar biasa yang kemudian menjadi tokoh-tokoh ‘Aisyiyah di awal ‘Aisyiyah berdiri yang mereka belajar Pendidikan umum dan Pendidikan agama. Saya kira ini lompatan pemikiran yang sangat luar biasa pada masa itu,” terang Tri.

Kemudian, kehadiran Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah karena keterbelakangan perempuan dalam segala bidang. Pada masa itu, kondisi perempuan sangat keterbelakang. Dalam menelusuti rekam jejak kesejarahan, KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Wal-Asri dan Sschool Magrhribi dapat dilihat bahwa pemberian akses Pendidikan tidak hanya saja pada kaum-kaum bangsawan, tetapi juga kaum buruh batik. “Luar biasa itu saya kira pemikiran-pemikiran pada masa itu,” bebernya.

Menginjak era masa depan, ‘Aisyah berkobar semangat mendirikan sekolah kebidanan (keperawatan). Hingga kini, ‘Aisyiyah telah memiliki 9 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Ini yang perlu warga ‘Aisyiyah berbangga hati. Dan sejak kepemimpinan Alm Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif mengatakan dalam siding muktamar bahwa ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom khusus Muhammadiyah. ‘Aisyiyah diberikan wewenang secara khusus untuk mendirikan amal usaha seperti halnya Muhammadiyah.

“Saat ini kita memiliki peluang yang sangat luar biasa untuk beramal saleh. Oleh karena itu 9 perguruan tinggi ‘Aisyiyah Sebagian besar berawal dari sekolah-sekolah Kesehatan baik kebidanan dan keperawatan,” tandasnya.

Kemudian, diadakannya lomba baby show sebagai komitmen terhadap isu-isu Kesehatan ibu dan anak. Menurut Tri, tahun 1930 ‘Aisyiyah sudah membuat kursus Bahasa Indonesia. Dan 2 tahun pasca kongres Sumpah Pemuda, ‘Aisyiyah sudah berpikiran maju di mana harus diadakannya kursus Bahasa Indonesia. Karena ‘Aisyiyah tidak hanya di Yogyakarta, tetapi di seluruh penjuru negeri. Ini menunjukan bahwa Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan.

Dosen Ilmu Komunikasi UMY itu juga memberikan karakteristik dari Gerakan ‘Aisyiyah. Yang pertama Gerakan Islam berkemajuan. Nilai-nilai Islam dalam tarikan napas Al-Quran dan As-Sunnah Maqbulah yang dipromosikan baik dalam internal maupun eksternal sebagai Gerakan Islam berkemajuan. “Bapak/ibu Ketika kita berbicara Gerakan Islam berkemajuan kita bicara tentang Islam tengahan (wasathiyah). Ini menjadi ciri khas kita. Kita tidak berada di ekstrem kanan dan tidak berada di ekstrem kiri, tetapi Gerakan Islam berkemajuan adalah nila-nilai wasathiyah atau tengahan,” tukasnya.

Kedua, Gerakan perempuan berkemajuan. Dalam pokok-pokok pikiran ‘Aisyiyah abad 2 dengan jelas mengatakan bahwa meyakini laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama, perbedaannya hanya dari ketakwaannya. “Ini terus menjadi spirit kita untuk terus berjuang. Karena sekarang nilai-nilai yang banyak muncul wacana-wacana yang banyak muncul di media social ingin mengembalikan perempuan dalam peran-peran domestic,” ujarnya.

Ketiga, Gerakan kebangsaan. Tahun 1928 terdapat dua tokoh dalam Kongres Perempuan Indonesia yakni Munjiyah dan Hayinah. Kedua tokoh tersebut sudah masuk dalam jaringan-jaringan Gerakan perempuan di Indonesia. “Saya kira ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah juga terus menguatkan bahwa kita memiliki kontribusi yang besar di dalam kemajuan dan perkembangan negara Indonesia, negara yang sangat kita cintai ini,” terangnya.

Keempat, mengelola amal usaha dalam berbagai bidang. Salah satu kiprah pengelolaan amal usaha di mulai dari bidang Pendidikan, Kesehatan, kesejahteraan, hukum, dan social. “’Aisyiyah itu harus besar di tingkat komunitas dan di tingkat ranting maupun cabang. Ini menjadi PR kita,” katanya.

Lebih lanjut, terdapat problem keumatan dan kemanusiaan di era digital. Pertama, terjadinya kesenjangan akses digital. Yakni kesenjangan dari factor pengaksesan dan penggunaan internet yang dibedakan oleh status social ekonomi, jenis kelamin, tingkat hidup, etnik, dan lokasi geografi (Wenhong, et al., 2003). Kesenjangan digital ini merupakan potret (cerminan) dari kesenjangan gender di dunia nyata (sterotype, peran domestic perempuan). Perkembangan digital menyebabkan keterasingan pada Sebagian kelompok masyarakat karena tidak mendapatkan akses teknologi digital.

Laporan HootSuite tahun 2021 mengatakan penggunaan internet di Indonesia mencapai 202,6/274,9 juta jiwa (73,7 persen). Dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta (61,8 persen) di antaranya telah menggunakan media social. Generasi milenial (generasi Y serta generasi Z) mendominasi penggunaan media social di Indonesia yang paling banyak berasal dari kalangan muda dengan rentang usia 25-34 tahun.

Terdapat juga problem pengguna internet, yakni kurangnya kompetensi dalam memahami kehidupan dunia digital (keterampilan, keamanan, budaya, dan etika) dan juga komersialisasi data pengguna internet, fenomena algoritma dan dijadikan target iklan, filter bubble.

Selain terdapat problem keumatan dan kemanusiaan, pada saat bersamaan juga terdapat problem kelembagaan. Antara lain sebagai berikut (1) Kultur digital belum menjadi perhatian semua pimpinan organisasi untuk menggerakkan organisasi baik di amal usaha maupun di pimpinan organisasi. Membuat sarana prasarana lebih mudah daripada membongkar kultur. (2) kemampuan dan ketersediaan SDM dalam digitalisasi harus menjadi prioritas. (3) Belum mengembangkan jejaring secara maksimal untuk mengembangkannya. (4) Manajemen digital dan dakwah dengan nilai Islam berkemajuan. (5) Belum memaksimalkan dakwah melalui digital dengan kelompok sasaran yang beragam inovasi terkait perkembangan digital.

Oleh karenanya, dalam menghadapi problema ini semua, hatta dibutuhkan beberapa sebuah strategi.

Pertama, penguatan pengelolaan system informasi ‘Aisyiyah (SIA).

Kedua, pemerataan akses digitalisasi, akses internet untuk semua (infrastruktur, kuota, perluasan jaringan, keterjangkauan harga perangkat digital, dan akses listrik).

Ketiga, digital literasi untuk remaja dalam menghindari Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO).

Keempat, literasi digital tidak hanya focus pada upaya menghindari hoaks/fakes news namun juga kompetensi penggunaan teknologi digital untuk meningkatkan perekonomian.

Kelima, memproduksi wacana keagamaan dengan nilai Islam berkemajuan secara massif.

Keenam, menghadirkan toma, infuencer dengan pandangan keagamaan yang progresif.

Ketujuh, kampanye pencegahan iklim melalui digital.

Kedelapan, Kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan ekonomi remaja dan perempuan dengan kompetensi digital.

Kesembilan, meningkatkan kompetensi perempuan pelaku usaha dalam digitalisasi dan fintech

Kesepuluh, beasiswa khusus bagi perempuan dalam bidang TIK.

Kesebelas, parenting pada anak-anak perempuan agar memiliki kepercayaan diri untuk belajar dalam bidang TIK.

Keduabelas, kurikulum Pendidikan dasar yang ramah perempuan untuk mencintai TIK/STEM. (Cris)

Exit mobile version