Prof Haedar Nashir: Pancasila dan Demokrasi Harus Satu Jiwa

Prof Haedar Nashir: Pancasila dan Demokrasi Harus Satu Jiwa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi hadir menjadi keynote speech dalam acara CSIS Indonesia, Rabu (29/6). Acara tersebut mendiskusikan mengenai “Pancasila dan Demokrasi di Indonesia: Menyelami Pemikiran Prof A Syafii Maarif.”

Prof Haedar menyebut keprihatinan Alm Buya Syafii Maarif—demikian sapaan tenarnya—sampai akhir hayatnya mengenai butir kelima dari Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Menurutnya, Pancasila harus senantiasa diamalkan dalam bingkai kehidupan sehari-hari, bukan menjadi retorika dan dogma.

“Dalam konteks Pancasila secara keseluruhan dari lima silanya, memang Buya Syafii Maarif selalu mengajak kita untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan kebangsaan, termasuk kehidupan bernegara yang diperankan oleh para elite bangsa. Dengan pesan tentang pentingnya jiwa kenegarawanan yang selalu disuarakan oleh Buya Syafii, sesungguhnya juga Buya menghendaki para pemimpin negara dari pusat hingga daerah mempraktikan Pancasila dalam mindset dalam alam pikiran yang visioner, sekaligus juga konsisten di atas nilai-nilai dasar Pancasila,” ungkapnya.

Pancasila dan demokrasi sejatinya akan hidup, subur, dan meluas dalam kehidupan kebangsaan manakala para elite bangsa, para pemimpin negara memiliki corak pemandangan yang luas dalam sketsa yang besar, dalam spektrum pemikiran yang luas. Tujuannya agar tidak terjebak verbalisasi Pancasila dan demokrasi. Di mana seolah-olah kita telah berpancasila dan berdemokrasi lewat pelbagai jargon demokrasi dan Pancasila.

“Tetapi sejatinya, karena kita tidak menghayati makna-makna terdalam dari Pancasila dan Demokrasi itu, lalu Pancasila dan demokrasi tidak kita praktikan dalam hidup,” tandasnya.

Prof Haedar juga mengingatkan agar tidak sampai terjadinya sebuah paradoks. Ketika membicarakan Pancasila dan demokrasi, tampak pengejawantahan dalam kehidupan bertentangan sila-sila Pancasila dan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam konteks Pancasila, menurutnya, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan juga Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus di ceklis dan berkontemplasi apakah nilai tersebut sudah menginternalisasi di dalam jiwa alam pikiran dan tindakan para elite dan warga bangsa dalam berbangsa dan bernegara. Lebih jauh lagi menginstitusionalisasi dalam seluruh kelembagaan negara dan juga kekuatan-kekuatan masyarakat.

“Nah, proses ini memerlukan pemikiran-pemikiran ulang dari kita semua, bagaimana memaknai lima dasar nilai Pancasila itu agar bisa kita internalisasikan dan kita institusionalisasikan sehingga menjadi praktik hidup kita berbangsa dan bernegara,” tukasnya.

Prof Haedar sempat mengutip secercah pesan sarat makna dari Presiden Pertama Republik Indonesia, Dr (HC) Ir H Soekarno mengenai sila Ketuhanan, “Bukan hanya Bangsa Indonesia yang bertuhan, tetapi negarapun harus bertuhan.” Menurutnya, pesan tersebut nian relevan. Dalam konteks Pancasila, negara tidak boleh menjadi negara sekuler dan juga negara agama. Tetapi mengimplementasikan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Itu memerlukan pemikiran-pemikiran atau juga reaktualisasi pemikiran yang mendalam dan luas, serta kontekstual bagi Indonesia hari ini dan ke depan. Supaya kita tidak menghabiskan waktu dalam perdebatan-perdebatan yang tidak pernah selesai,” pungkasnya.

Tidak hanya disitu saja, Prof Haedar juga menyigi sila berlambang pohon beringin, yakni Persatuan Indonesia. Dalam konteks HAM (Hak Asasi Manusia), sesungguhnya memiliki interkoneksi dengan nilai-nilai Agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa. “Sehingga, antara universalisme yang sesungguhnya universalisme itu sering juga dibatasi oleh praktik pengalaman dari bangsa-bangsa besar. Lalu mesti dipraktikkan dalam kehidupan bangsa-bangsa lain yang punya nilai yang berbeda. Masalah ini penting menjadi bahan diskusi,” katanya.

Dalam konteks politik dan demokrasi, sila Persatuan Indonesia ini, menurutnya demokrasi Indonesia telah dinilai oleh bangsa-bangsa lain cukup maju secara procedural, bahkan menjadi negara demokrasi setelah Negara India, sesungguhnya demokrasi yang memiliki tujuan dan memiliki koneksi pada ikhtiar mempersatukan bangsa.

“Jangan sampai demokrasi politik yang begitu luas dan bebas, justru juga merusak Persatuan Indonesia. Keterbelahan politik dan ideologi yang terjadi dalam satu dekade terakhir ini, ini merupakan sebuah peringatan buat kita bahwa demokrasi tidak hanya untuk demokrasi. Demokrasi juga perlu mempertimbangkan Persatuan Indonesia. Juga argumen-argumen kita tentang pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, itu sebagai satu kesatuan bukan sesuatu yang terpisah,” terangnya.

“Kita merayakan Kebhinnekaan, tetapi pada saat yang sama, kita merayakan keetaan atau Tunggal Ika. Sehingga Kebhinnekaan itu satu interkoneksi dengan Tunggal Ika. Tunggal Ika juga satu koneksi dengan satu kesatuan dengan Kebhinnekaan,” imbuhnya.

Merajut kebhinnekaan dalam konteks perbedaan memerlukan kearifan dan konstruksi pemikiran para tokoh bangsa dan pemikir bangsa, selain ilmu dibutuhkan pula kearifan. Dan tidak boleh suatu bangsa merayakan satu hal lain dan mengabaikan hal lain, maka akan menjadikan sebuah masalah. “Di sinilah pentingnya moderasi di dalam memaknai kehidupan kebangsaan dan nilai-nilai bangsa kita,” ungkapnya.

Termasuk jua sila dengan lambang Kepala Banteng, yakni Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. “Dulu, para pendiri bangs akita itu menghayati betul dialektika atau dinamika antara kebebasan dengan konsensus.  Antara konflik dan integrasi. Sehingga formulasi ini menurut saya menjadi bagian kearifan para pendiri bangsa. Kerakyatan dalam makna demokrasi itu punya korelasi, punya keterkaitan, dan punya jiwa juga dalam kontkes musyawarah,” tuturnya.

Tantangan sekarang adalah bagaimana cara memaknai demokrasi dan memfungsikan demokrasi Indonesia. Bukannya dalam konteks isu demokrasi procedural dan substansial, tetapi juga mengaitkan kerakyatan sebagai proses demokrasi dari rakyat untuk rakyat. Juga terkait hidupnya musyawarah dalam proses politik Indonesia.

“Jujur dalam konteks ini, kita nyaris kehilangan perspektif dan jiwa musyawarah dalam kehidupan kebangsaan. Bahkan Ketika demokrasi siapa kuat siapa menang, maka apapun akan menjadi keputusan politik hatta menimbulkan kontroversi dan tidak bisa diterima oleh banyak orang. Karena politik oligarki memaksakan apapun dalam tempo sekejap,” tuturnya.

Salah satu hal yang menjadi komitmen Alm Buya Syafii Maarif mengenai sila berlambang Padi dan Kapas, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dapat teraktualisasi. Dalam bingkai kehidupan ekonomi dan poiitik, wabilkhusus kehidupan ekonomi yang mana masih terjadi problematika dalam sisi kesenjangan. Tanpa menegasikan dan mengabaikan kekuatan-kekuatan ekonomi besar.

“Manakala konglomerasi, misalkan atau kekuatan-kekuatan oligarki ekonomi-politik, itu kemudian menghilangkan, mereduksi, dan tidak terkoneksi pada menyejahterakan orang banyak dan menciptakan Keadilan Sosial. Di sinilah sebenarnya problem besar kita. Usaha-usaha pemberdayaan ekonomi kecil, mikro, menengah tidak cukup dengan kebijakan-kebijakan yang artifisial, kebijakan-kebijakan tambal sebelah, kebijakan-kebijakan seperti kembang gula. Tetapi memerlukan kebijakan progresif yang oleh Muhammad Hatta disebut sebagai dengan Kebijakan Ekonomi Terpimpin, di mana negara hadir untuk rakyat banyak yang tidak beruntung hidupnya,” ungkapnya.

“Dalam konteks ini memerlukan negara dan para pemimpin negara yang memiliki jiwa keterpanggilan yang mencintai rakyat sepenuh hati, lahir secara autentik dari jiwanya bukan karena pesona dan menciptakan pesona, di mana rakyat hanya sekadar alat yang paling cepat untuk meraih kekuasaan dengan populisme. Tetapi para pemimpin negara yang betul-betul hadir jiwa dan tindakannya untuk menciptakan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tambahnya.

Prof Haedar juga mengajak seluruh rakyat tafakur diri tatkala Indonesia memasuki usia satu abad pada tahun 2045 mendatang. Di mana praktik Pancasila, demokrasi, dan konstruksi bangsa mengenai demokrasi dan Pancasila dalam satu napas satu jiwa dan satu kesatuan sistem berbangsa dan bernegara sebagaimana di idealisasikan dan dibangun fondasinya oleh para pendiri bangsa menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. (Cris)

Exit mobile version