Oleh: Fikrul Hanif Sufyan
Memasuki tahun 1930 pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang dihadapkan pada situasi sulit. Di tengah persiapan Congres ke-19 di Fort de Kock, panitia harus menghadapi depresi ekonomi. Pemerintah Kolonial Belanda kala itu, bersikukuh mempertahankan standar emas dan tidak mendevaluasi guldennya, telah menyeret Hindia Timur masuk ke jurang krisis keuangan terburuk selama beberapa tahun.
Kondisi serupa juga menimpa Padang Panjang, yang masih berjuang merecovery perekomian pasca Gempa 1926. Asisten Residen harus menjalankan instruksi de Jonge–dalam beberapa kebijakan yang membebani pegawainya, sekaligus membuat rakyat kembali dibebani belasting.
Beberapa instruksi de Jonge–dikenal sebagai politik deflasi, antara lain: menurunkan gaji dan upah, mengadakan pajak-pajak baru dan menurunkan berbagai tarif. Dampak kebijakan itu, menyeret nagari-nagari di Padang Panjang kearah depresi, serta menurunnya harga hasil bumi, ketela, jagung dan padi.
Hampir setiap hari laki-laki yang duduk di kedai-kedai kopi, mengeluh berkurangnya sewa tanah dan upah buruh tani. Kondisi yang lebih buruk terlihat pada ekspor-impor hasil bumi dan perkebunan Hindia Timur.
Perbandingan ini, bisa dilihat sejak 1926 yang menunjukkan eskpor sebesar 1599 ton dan impor 924 ton. Setahun kemudian naik menjadi 1656 ton untuk ekspor dan impor sebesar 927 ton. Pada tahun 1929, grafik ekspor menukik tajam sebesar 1488 ton dan impor 1166 ton.
Kondisi berbeda terjadi, saat memasuki zaman Malaise. Tahun 1930, nilai ekspor Hindia Timur menurun 1192 ton dan impor sebesar 932 ton. Dan setahun kemudian, ekspor terjun bebas ke angka 798 ton dan impor menurun 610 ton.
Catatan dari Persamaan menginformasikan jelang depresi ekonomi, perekonomian Hindia Timur, justru dinamis. Hal ini ditandai, dengan meningkatnya jumlah ekspor hasil-hasil pertanian dan pemenuhan kebutuhan rakyat di pedesaan, melalui impor luar negeri.
Kesulitan yang dialami Hindia Timur pada masa depresi ekonomi dirasakan–terutama untuk ekspor gula, teh, tembakau dan nila. Akibatnya, industri di Hindia Belanda merosot tajam. Harga gula jatuh sampai 22 % daripada harga tahun 1925; getah sampai 10 %; kopra sampai 18% ,teh 50% dan kopi 27 %. Rata-rata harga barang penghasilan tanah-tanah jajahan jatuh di pasar Eropa sampai lebih kurang 31%.
Sepanjang kurun waktu 1930-1936, Asisten Residen Padang Panjang kembali dipusingkan, dengan defisit dalam neraca keuangan. Untuk menyiasati keadaan ekonomi yang tidak kunjung membaik, ia mengajukan tambahan kepada de Jonge.
De Jonge kemudian harus mengambil pilihan pahit. Tenaga pegawai dikurangi, gaji dipotong, dihentikannya penambahan pegawai dari Eropa, program pensiun lebih awal dicanangkan, biaya belanja pemerintah daerah dikurangi, dan dikenainya cukai tambahan untuk kas Hindia Belanda. Kondisi ini menambah derita pegawai Padang Panjang dan Tanah Datar (Tjaja Sumatra, 2 November 1930).
Krisis 1930 turut memengaruhi omzet saudagar Minangkabau, yang nota-benenya ikut mendorong gerakan Islam modernis di Sumatera Barat. Malaise benar-benar telah membuat perbankan tidak berdaya, menambah beban pabrik-pabrik pakaian sulit bertahan.
Beberapa saudagar ternama dan terkenal ringan tangan, berdomisi di Pasar Mudik dan Pasar Gadang Padang. Mereka adalah Abdullah Basa Bandaro. Abdul Latif, Thaher Marah Sutan, dan Abdul Fatah Sutan Malano. Dan yang memiliki hubungan emosional kental dengan dunia pembaruan Islam di Sumatera Barat adalah Abdul Latif.
Perusahaan N.V Abdul Latif yang berpusat di Pasar Mudik, turut merasakan pil pahit Malaise. Usaha bisnisnya terancam pailit karena berhutang pada bank pemerintah Kolonial Belanda. Colombijn (t.t: 89) dalam karyanya menarasikan situasi sulit di Kota Padang. Pemerintah daerah masa itu mengucurkan utang besar f 450.000 untuk para saudagar. Namun melonjaknya suku bunga, menyebabkan pemerintah menyerah. Akibatnya tunggakan makin membengkak.
Muhammadiyah Cabang Padang Panjang yang selama ini berhubungan elok dengan Abdul Latif, turut merasakan efeknya. Menurunnya kas dari Abdul Latif, turut berpengaruh besar terhadap dunia pergerakan. Latif tidak mau menyerah dengan situasi itu.
“Maka dengan hatinya yang tabah, taatnya dan senyum simpulnya, dihadapinyalah kesulitan itu. Meskipun keadaannya dalam sangat sulit, namun kalau orang datang meminta bantu, diberinya juga bantuan, tidak pernah bermuka masam,” demikian ungkap Hamka (1958) menarasikan ketulusan Abdul Latif.
Panitia Kongres ke-19 Minangkabau yang diketuai Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, menyadari tidak bisa berbuat dalam situasi sulit. Melalui panitia yang diserahi tugas mencari donasi sebanyak-banyaknya di perantauan.
Rupanya, panitia berhasil mengumpulkan serapan dana dari saudagar besar yang berada di Padang, Pariaman, Fort de Kock, Fort van der Capelen, dan Padang Panjang. Catatan sumbangan ini, nantinya diungkap Comite van Ontvangst Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur.
Sebelum Kongres diselenggarakan, panitia berhasil mengumpulkan dana, yang berasal dari beragam pemasukan. Donasi yang dikumpulkan Muhammadiyah se-Minangkabau tercatat sekitar f 918,42, sedangkan dari Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur terkumpul sebanyak f 1185,66. Sisanya berasal dari celengan (f 938,26), pendapatan perusahaan (f 1713,97), dan iklan (f 332,90) (Kas van Comite van Otvangst Congres Muhammadijah ke-19 di Bukittinggi Minangkabau).
Fikrul Hanif Sufyan, Pemerhati Sejarah, Staf Pengajar STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh, dan Ketua PUSDAKUM Muhammadiyah Sumatra Barat.