Jiwa Berkorban Nabi Ibrahim As dari Perspektif Quantum Ikhlas

Jiwa Berkorban Nabi Ibrahim As dari Perspektif Quantum Ikhlas

Oleh: Agusliadi Massere

Dalam bentangan sejarah dan peradaban manusia, spirit pengorbanan Nabi Ibrahim as tidak akan pernah tertandingi oleh siapa pun. Spiritnya ini, menular pula dalam diri istri dan anaknya, Ismail. Kisahnya ini akan senantiasa hidup sepanjang masa. Dikisahkan secara berulang dan masif khususnya pada hari raya Idul Adha, untuk me-refresh ingatan umat, dengan harapan menjadi pemantik sikap dan perilaku positif dalam realitas kehidupan.

Kisah atau pun ulasan terkait jiwa pengorbanan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Sitti Hajar, bagi Prof. Haedar Nashir dan tentunya kita sepakat, sebagai “Bagian penting dari perintah berkurban bagi umat Islam setiap merayakan Idul Adha”.  Selain itu, di tengah kondisi kehidupan yang semakin individualistik, pragmatik, dan hedonistik, spirit ini memiliki urgensi, dan implikasi besar ketika diimplementasikan.

Jiwa berkorban Ibrahim yang menunjukkan kekuatan jiwa pengurbananannya kepada Allah, saya mendapatkan pemahaman yang menarik dan progresif dari Eko Prasetyo sebagaimana yang diulasnya dalam buku karnyanya Kitab Pembebasan Tafsir Progresif atas Kisah-Kisah dalam Qur’an. Membaca ulasan progresif Eko, saya menemukan ada hal yang kurang ditegaskan. Terkait ini, saya pun jarang mendengar penegasan dari para da’i di atas mimbar khususnya pada hari raya Idul Adha.

Keikhlasan adalah sesuatu yang, saya maksudkan, kurang atau jarang ditegaskan. Jika pun ditegaskan, mungkin tidak komprehensif. Padahal, keikhlasan adalah fondasi dari jiwa pengorbanan atau spirit pengurbanan, tanpa kecuali yang dimiliki oleh Ibrahim, Ismail, dan Hajar ataupun orang-orang yang mengikuti jejak sikap dan perilakunya. Saya menyimpulkannya sebagai fondasi, bukan tanpa alasan.

Pengertian sederhana ikhlas, baik yang bisa ditemukan dalam KBBI maupun Kamus Ilmiah Populer (Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry, 1994), adalah rela, dengan tulus hati, dan/atau rela hati. Untuk memahami dengan baik terkait keikhlasan tanpa kecuali kedahsyatannya, saya harus membaca dan menginterpretasikannya dari buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu, baik seri pertama maupun seri keduanya. Dan untuk mengeksplorasi lebih mendalam gagasan spektakuler Sentanu ini, saya pun meminjam pandangan Arvan Pradiansyah dari dalam buku karyanya The 7 Laws of Happiness Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia.

Kedahsyatan dan kekuatan jiwa pengorbanan Ibrahim, Ismail, dan Hajar yang luar biasa, bisa dipahami dengan menggunakan perspektif Sentanu terkait Quantum Ikhlas-nya. Dalam perspektif Quantum Ikhlas Sentanu, ada yang dikenal dengan Zona Ikhlas (Hi-Energy) dan Zona Nafsu (Lo-Energy).

Zona ikhlas itu mencakup syukur, sabar, fokus, tenang, dan bahagia. Sedangkan zona nafsu mencakup di dalamnya takut, marah, cemas, dan keluh. Jika kita membaca bentangan sejarah atau kisah Ibrahim, pada mulanya Ibrahim membawa istrinya, Hajar, dan Ismail yang pada saat itu masih bayi ke sebuah tempat yang disebut lembah Bakka, yang kelak popular dengan nama Mekah.

Pada saat itu, tentu saja lembah Bakka, adalah tempat yang kurang kondusif apalagi Ibrahim bermaksud meninggalkan istri dan anaknya berdua saja. Pada awal Ibrahim melangkahkan kakinya meninggalkan istri dan anaknya tanpa memberikan penegasan dan alasan atau pergi begitu saja. Tentu saja naluri manusiawi dan zona nafsu Hajar—khususnya perasaan cemas, Eko menyebut dalam ulasan kisah progresifnya tersebut dengan terma “gelisah”—teraktivasi ketika melihat badai, terik dan tak ada sumber mata air.

Hajar berteriak berkali-kali kepada Ibrahim, suaminya yang sedang melangkah jauh untuk meninggalkannya bersama anaknya Ismail. Teriakan terakhir Hajar “Apakah Allah memerintahkanmu berbuat demikian?” Ibrahim menengok ke arah Hajar sambil menjawab dengan keyakinan penuh “Aku menitipkanmu kepada perlindungan Allah”.

Apa yang saya pahami dari perspektif Quantum Ikhlas Sentanu, baik pertanyaan Hajar, sebagai teriakan terakhirnya yang membuat Ibrahim merespon, maupun jawaban tegas Ibrahim adalah sesuatu yang memantik dan atau mengaktivasi zona ikhlas.

Selain itu, jika dilihat dari perspektif Quantum Ikhlas, maka yang membuat Hajar memiliki keberanian dan rela ditinggalkan oleh Ibrahim, dan begitupun sebaliknya Ibrahim berani dan rela meninggalkan orang-orang atau keluarga yang dicintainya karena, baik Ibrahim maupun Hajar mengedepankan positive feeling (perasaan positif) dan goal praying. Jika keduanya ini menyatu maka akan melahirkan power, yang melampaui dari sekadar force.

Sentanu menegaskan bahwa positive feeling dan goal praying, itu berarti penyatuan antara kekuatan diri dan Allah. Dan hal ini pula merupakan bentuk quantum transformation dari positive thinking dan goal setting yang hasilnya lebih jauh hanya sebatas force. Terkait yang terakhir ini pula, berdasarkan kacamata saya, lebih banyak digunakan oleh manusia modern yang hampir melupakan keberadaan Allah.

Saya yakin dan begitu pun pembaca pasti sepakat, andaikan pada saat itu Ibrahim dan Hajar hanya mengandalkan positive thinking dan goal setting dengan realitas empirik lembah Bakka yang sangat memprihatinkan, bisa dipastikan mereka tidak akan sanggup melakukannya. Apalagi ini terkait dengan kondisi yang akan mengorbankan nyawa atau kehidupan orang yang dicintainya.

Sama halnya kehadiran mata air zam-zam—yang menjadi jawaban atas ikhtiar Hajar ketika Ismail yang masih bayi itu, Eko menyebutnya akan mengalami dehidrasi, karena selain tidak ada air, ibunya pun, Hajar tidak memiliki air susu—adalah efek dahsyat dari zona ikhlas mereka. Terkait zona ikhlas, selain yang bisa ditemukan preseden historisnya dari kisah Ibrahim, Sentanu pun tanpa kecuali saya pribadi, sering merasakan keajaibannya, miracle.

Dari zona ikhlas, perpaduan antara sabar, syukur, dan fokus itu pun kita bisa menemukan keikhlasan dalam makna kerelaan, tulus hati itu sendiri, termasuk pula sikap pasrah akan kekuasaan, kehendak, dan ridho Allah. Zona ikhlas pun bukan hanya memantik fungsi terbaik pikiran tetapi termasuk perasaan. Di mana antara perasaan dan pikiran jika kita memahami dengan baik dari Sentanu, akan dipahami bahwa itu berelasi dengan kedahsyatan fungsi sesuatu yang berada di zona fisika quantum dan selanjutnya memengaruhi sesuatu yang berada di zona fisika klasik atau dikenal pula fisika newton.

Syukur dan Sabar

Sabar dan bersyukur—sebagai sesuatu yang berada dalam zona ikhlas—jika kita memperhatikan perspektif The 7 Laws of Happiness-nya Arvan Pradiansyah adalah sesuatu yang berada dalam wilayah intrapersonal relation. Dan ini pun, berdasarkan yang saya pahami dari tradisi pemikiran Islam khususnya tasawuf, meskipun garis relasinya bisa dinilai cukup jauh, maka itu bersentuhan dengan hal transenden, ilahiah.

Mengapa saya menyimpulkan seperti itu? Intrapersonal relation, itu berarti membangun relasi dengan diri sendiri, melakukan inner journey atau penelusuran ke dalam diri. Dan telah ditegaskan pula sebagaimana ungkapan dalam wilayah tasawuf “man arafa nafsahu arafa rabbahu” (Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal tuhannya).

Syukur dan sabar adalah dua hal yang menjadi modal penting yang membuat jiwa kita memiliki kekuatan pengurbanan atau pengorbanan yang tinggi. Tidak mungkin kita rela mengorbankan, apalagi sesuatu yang sangat dicintai jika tanpa diawali dengan rasa syukur dan kesabaran.

Ketika kita bersyukur, maka secara otomatis itu akan mengarahkan diri kita untuk lebih fokus pada sesuatu yang lebih positif atau kelebihan daripada yang negatif atau kekurangan. Sehingga ketika Ibrahim diminta untuk berkurban dengan mengorbankan anak yang sangat dicintainya, Ibrahim lebih fokus pada ketaatan kepada Allah daripada godaan-godaan lainnya. Begitupun istrinya, Hajar, dan anaknya, Ismail.

Bersyukur pun mengarahkan diri seseorang untuk senantiasa berorientasi pada hikmah atau pelajaran berharga dari setiap peristiwa yang ada. Selain itu, bersyukur akan senantiasa mendorong diri untuk memanfaatkan secara maksimal apa yang ada baik dalam pandangan sebagai sesuatu yang dimiliki maupun sebagai titipan, untuk mencari ridho Allah.

Ketika Ibrahim telah siap melakukan perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail sebagai bagian dari perintah untuk berkurban, maka Ismail pun dengan penuh keyakinan dan ketegasan sebagaimana dalam QS. Ash-Shaffat [37]: 102 berkata “…hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”.

Dalam ayat tersebut, Ismail menegaskan kepada ayahnya, Ibrahim, bahwa diri akan mampu menjadi orang yang sabar. Salah satu makna sabar yang diungkap oleh Arvan sebagai intrapersonal relation adalah menunda respon. Dan betul, sebagaimana dalam kisah, ketika Ismail digoda untuk menolak harapan ayahnya untuk disembelih, justru dirinya mampu menolak godaan itu. Hal ini, salah satunya yang bisa dimaknai menunda respon.

Karena keikhlasan adalah sesuatu yang ringan diucapkan tetapi berat dilaksanakan, maka marilah kita berupaya untuk senantiasa mengaktivasinya dengan membiasakan diri berserah diri, bersabar, bersyukur, fokus, tenang, dan bahagia. Dan jika diri kita senantiasa berada dalam zona ikhlas, maka kita akan memiliki jiwaa pengurbanan, meskipun tentunya mungkin saja belum bisa selevel dengan yang dimiliki oleh Ibrahim dan keluarganya.

Dan saya pun teringat, dan ini telah beberapa kali jelaskan dalam tulisan lain, bahwa suasana hati akan memengaruhi kedahsyatan fungsi otak. Zona ikhlas, tanpa kecuali apa yang dimaknai dengan kekuatan pengurbanan adalah sesuatu yang akan mengaktivasi suasana hati, dan selanjutnya memiliki korelasi positif dengan kedahsyatan fungsi otak. Selain itu otak pun sebagai pusat saraf atas segala fungsi organ tubuh yang lainnya.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version