SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Hajar (istri nabi Ibrahim) berlari-lari untuk mendapatkan air untuk putranya yang masih bayi, Ismail. Berlari dari bukti Shafa ke Marwa, sebuah usaha didorong kasih sayang sebagai seorang Ibu, panggilan tanggung jawab tak kenal lelah apalagi menyerah. Ia berusaha secara maksimal, meski gagal mendapatkan.
Disisi lain, jejakan kaki Ismail mengantarkan sebuah jalan keluar, memancar air kehidupan yang diabadikan oleh zaman, air Zamzam. Dari idul Adha kita belajar ketangguhan keluarga, belajar tentang tawakkal yang tidak pernah sia-sia dan lembaran lembaran nilai kemanusiaan nyata.
Sekelumit kisah perjuangan keluarga Nabi Ibrahim disampaikan khatib, Ustad Machnun Uzni dalam sholat Idul Adha 1443 Hijriyah, sabtu (9 juli 2022) di lapangan Rejodani Sariharjo Utara Ngaglik Sleman Yogyakarta.
Empat ribu jamaah lebih menghadiri kegiatan yang diselenggarakan Panitia Hari Besar Islam Sariharjo Utara Kabupaten Sleman. Kaum muslimin dari sepuluh dusun berhimpun dengan hidmat, datang berduyun-duyun semenjak pukul enam pagi memenuhi shaf-shaf sholat yang disiapkan.
Khatib yang juga ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Kalimantan Timur itu mengungkapkan, jauh sebelum Adversity Quotient (AQ) ini diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz pada tahun 1997. Adversity quotient (AQ) sebagai sebutan kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur, maka sosok teladan Nabi Ibrahim As beserta istrinya Hajar dan putranya Ismail telah memberi contoh bagaimana rangkaian AQ adalah memaksimalkan usaha yang diiringi dengan tawakkal.
Demikian pula dalam pembentukan keluarga, Nabi Ibrahim mampu melahirkan keturunan berkarakter seperti Ismail. Anak yang ketika usianya belasan tahun telah memiliki kepribadian matang melampaui usia biologisnya. Kedewasaan karakter itu tercermin dari logika keimanannya yang sempurna, ketika Nabi Ibrahim bertanya: Wahai, Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu (Quran, Ash-Shaffat 102).
Ketika Ismail tahu bahwa penyembelihan dirinya adalah perintah Allah, ia menjawab dengan tenang: “Wahai, Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Diungkapkan lebih mendalam oleh khatib, Idul Adha membawa kita pada kenangan ribuan tahun silam. Mengenang lagi manusia-manusia agung yang telah menciptakan arus terbesar dalam sejarah manusia, membentuk arah kehidupan.
Bayangkanlah bahwa lebih dari sekian ribu tahun yang lalu tiga manusia agung itu Ibrahim, Hajar dan Ismail berjalan kaki sejauh lebih dari 2000 km dari negeri Syam yang sekarang menjadi Syria, Palestina, Jordania dan Lebanon menuju jazirah tandus yang oleh Al Qur’an disebut sebagai lembah yang tak ditumbuhi tanaman. Bayangkanlah bagaimana mereka memulai sebuah kehidupan baru tanpa siapa-siapa dan tanpa apa-apa.
Bayangkanlah bagaimana mereka membangun ka’bah dan memulai peradaban. Bayangkanlah bagaimana 42 generasi dari anak cucu Ibrahim secara turun temurun hingga Nabi Muhammad saw. membawa agama Tauhid dan mengubah jazirah itu menjadi pusat dan pemimpin peradaban.
Bayangkanlah bagaimana Ka’bah pada mulanya hanya ditawafi 3 manusia agung itu, kini setiap tahunnya ditawafi sekitar 5 juta manusia dari seluruh pelosok dunia yang melaksanakan ibadah haji.
Bayangkanlah bagaimana jazirah yang tandus tak berpohon itu dihuni oleh hanya mereka bertiga dan kini berubah menjadi salah satu kawasan paling kaya dan makmur di muka bumi.
Ditengah padang gersang, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail dengan untaian doa, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Kekuatan kebertahanan keluarga dengan pondasi ketaatan, diiringi dengan kesungguhan berusaha dan dibarengi doa menjadi pesan berharga Idul Adha dari kota Yogjakarta.