Filosofi Gitar dan Tahapan Pemilu

Filosofi Gitar dan Tahapan Pemilu

Filosofi Gitar dan Tahapan Pemilu

Oleh: Agusliadi Massere

Ada tiga hal strategis yang harus mendapatkan porsi perhatian yang lebih untuk mewujudkan Pemilu yang berintegritas dan berkualitas. Ketiga hal tersebut adalah: Pertama, kerangka hukum pemilu (electoral law); Kedua, proses pemilu (electoral process) dan untuk hal ini adalah tahapan pemilu; dan ketiga, penegakan hukum pemilu (electoral law enforcement).

Ketiga hal tersebut, sebagaimana diuraikan di atas, saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Memiliki relasi yang saling berkorelasi positif. Meskipun demikian, tulisan ini hanya fokus pada tahapan pemilu. Lalu dieksplorasi, dielaborasi dan diintegrasikan dengan filosofi gitar. Tulisan ini dan judulnya terinspirasi dari flyer yang diunggah oleh akun media sosial KPU RI yang menampilkan foto Pak August Mellaz (salah satu anggota KPU RI Periode 2022-2027) sambil memegang gitar dengan caption yang pada substansinya menegaskan persamaan antara “gitar” dan “tahapan pemilu”.

Telah diketahui bersama, bahwa sejak 14 Juni 2022 sampai dua puluh bulan ke depan, tepatnya tanggal 14 Februari 2024 adalah tahapan pemilu. Meskipun, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 167 ayat (4) yang pada pokoknya menguraikan “tahapan penyelenggaraan pemilu”, pasca tahapan “Pemungutan dan Penghitungan Suara” pada tanggal 14 Februari 2024, masih ada dua tahapan lainnya.

Saya tertarik menuliskan judul ini, dengan alasan yang jelas. Pada saat, saya pribadi diberikan amanah untuk merevisi Rencana Strategis (Renstra) KPU Kabupaten Bantaeng Tahun 2020-2024, maka saya wajib membaca, selain Keputusan KPU RI Nomor 357 Tahun 2021, yang pada pokoknya terkait “Pedoman Penyusunan Renstra dalam lingkup KPU”, saya pun membaca Keputusan KPU RI Nomor 197 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum Tahun 2020-2024, selain itu membaca pula sejumlah regulasi, pedoman, dan petunjuk teknis lainnya yang relevan.

Dalam Renstra KPU RI Tahun 2020-2024, pada bagian pendahuluan, sub bab “kondisi umum”, ada hal menarik yang relevan—meskipun bisa saja relasinya dinilai jauh—dengan flyer yang telah diunggah oleh akun media sosial KPU RI tersebut. Begitupun ada sejumlah unggahan di media sosial seperti facebook, tik-tok, dan lain-lain, yang relevan.

Hal menarik yang saya maksud, pada substansinya mengajak atau mengharapkan agar Pemilu Serentak sebagai “Pesta demokrasi” dimaknai lebih komprehensif daripada sebelumnya. “Pesta Demokrasi ke depan tidak saja mengenai Pemilu Serentak sebagai ajang masyarakat dalam menyampaikan kedewasaan politiknya, namun juga memaknai pesta yang identik dengan kegembiraan dan antusiasme yang tinggi”. Ini yang ditegaskan dalam Renstra KPU RI Tahun 2020-2024 tersebut.

Ditegaskan lebih lanjut dalam renstra tersebut, “…berbagai ekspresi kegembiraan masyarakat di segala penjuru perlu didukung serta difasilitasi mengiringi Pemilu Serentak ke depan sebagai bentuk budaya Pesta Demokrasi milenial”. Meskipun, saya yakin istilah atau terma “milenial” dalam renstra tersebut tidak sama persis dengan defenisi teori generasi Strauss-Howe, Millenium Saeculum (dalam Subhan Setowara,2018). Tetapi, saya yakin menggunakan defenisi baru yang diperluas maknanya, di antaranya yaitu “semua generasi yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia digital” dan “yang suka dengan dunia entertainment”.

Lalu, apa yang menarik dan relasinya antara filosofi gitar dan tahapan pemilu? Salah satunya, sebagaimana caption dalam flyer itu, bahwa secara substansial antara gitar dan tahapan pemilu, memiliki persamaan: gitar diatur tiap senarnya supaya bagus suaranya; dan tahapan pemilu diseleraskan jadwal dan aturanhya supaya penyelenggaraannya mulus.

Untuk mengeksplorasi lebih mendalam “filosofi gitar” dan relasinya dengan “tahapan pemilu” maka, saya melakukan pembacaan beberapa referensi sambil melakukan perenungan mendalam. Apa urgensi, signifikansi, dan implikasinya, sehingga tahapan pemilu dipandang penting mendapatkan sentuhan filosofi gitar?

Terinspirasi dari Bobbi DePorter, dkk dalam buku Quantum Teaching-nya, maka jangan hanya metode pembelajaran atau dalam ruang kelas perlu melakukan orkestrasi,  namun tahapan pemilu pun harus diorkestrasikan. Dengan mengorkestrasikan tahapan pemilu, baik jadwal, aturan, dan berbagai nilai dan spirit yang memiliki relevansi untuk mewujudkan prinsip efektif, efesien, tertib, dan berbagai prinsip penyelenggaraan pemilu lainnya, maka itu akan bermuara pada terwujudnya Pemilu yang berintegritas dan berkualitas.

Filosofi Gitar

Untuk menguasai gitar atau agar bisa pandai memainkan gitar dibutuhkan keseriusan, ketekunan, dan porsi waktu yang lebih intens. Memasuki tahapan pemilu, jajaran penyelenggara pemilu pun mengalami perubahan pola kerja, yang sebelumnya berdasarkan hari kerja, menjadi hari kalender. Perubahan pola kerja ini, sehingga bagi penyelenggara pemilu tidak lagi mengenal hari libur, dalam arti, bahwa pada hari libur pun seringkali tetap diharapkan kehadirannya di kantor. Selain itu jajaran ASN telah diatur pola kerja 24 jam, meskipun masih diatur secara bergilir (shift atau roling).

Dalam bermain gitar, yang harus diketahui, dipahami, dan dikuasai lebih awal adalah not dasar. Selanjutnya dari not dasarnya ini, pemainnya bisa merangkai satu irama yang indah dan merdu. Dalam tahapan pemilu pun, khususnya para penyelenggara pemilu harus memahami hal-hal mendasar atau hal substansial.

Dari kesadaran itu, sehingga harus belajar dan membaca semua regulasi atau hal teknis yang melandasi pelaksanaan setiap tahapan. Jika pun tidak sanggup, untuk membaca dari A sampai dengan Z, setiap regulasi yang ada, maka ada prinsip dasar, atau hal substansial yang harus dipahami dengan baik. Termasuk pula ada, pemantik, keyword, yang bisa mengarahkan ingatan pada sesuatu yang dibutuhkan dalam setiap regulasi dan petunjuk teknis yang ada.

Untuk menguasai atau bisa bermain gitar dengan baik, tidak hanya membutuhkan pengetahuan dan skill, tetapi harus mampu melibatkan perasaan atau dimensi psikologis. Bahkan Eddie Van Halen menegaskan harus terhubung secara emosional dan spiritual dengan instrumen tersebut. Begitupun dengan tahapan pemilu, saya sering menegaskan, bahwa tidak hanya membutuhkan pengetahuan dan pemahaman teknis dan regulatif. Dibutuhkan kemampuan menata hati, menjaga sikap dan spirit, serta harus mampu menjaga kode etik.

Selain yang di atas, harus pula mampu membangun relasi yang benar, baik, dan etis dengan para stakeholder. Berikutnya, memaksimalkan relasi spiritual dengan Allah melalui do’a, dzikir, dan ibadah lainnya agar senantiasa dalam bingkai hidayah dan ridho Allah untuk menjalankan amanah negara selaku penyelenggara pemilu.

Gitar adalah alat musik atau instrumen yang dikenal luas oleh masyarakat. Setiap tahapan pemilu pun harus diketahui atau disosialisasikan kepada stakeholder termasuk dipublikasikan secara luas melalui media. Apalagi penyelenggara pemilu, terutama dalam hal ini KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, untuk menyosialisasikan penyelenggaraan pemilu dan/atau berkaitan dengan tugas dan wewenangnya kepada masyarakat.

Gitar adalah instrumen untuk menghibur, menyenangkan hati bagi pendengarnya. Oleh karena itu, apalagi menjadi harapan secara institusional sebagaimana termaktub dalam renstra, maka tahapan pemilu pun dalam menyosialisasikan kepada masyarakat jangan menggunakan metode yang kaku. Harus dengan metode yang menarik, cair dan menggembirakan, tetapi tentunya tetap memperhatikan nilai-nilai yang benar sebagaimana diatur dalam regulasi, serta tetap mengedepankan nilai etis.

Saya pribadi memperhatikan metode sosialisasi teman-teman jajaran penyelenggara pemilu dari berbagai provinsi dan kabupaten/kota, dengan memaksimalkan penggunaan berbagai media sosial seperti facebook, tik-tok, instagram mengandung konten yang sangat menarik. Selain menghibur tentunya substansi harapannya bisa sampai kepada netizen khususnya yang telah memiliki hak memilih. Konten-konten yang menarik ini tentunya, sebagaimana harapan renstra, bisa pula memantik antusiasme yang tinggi bagi masyarakat.

Meskipun, saya tidak ingin mengeksplorasi lebih jauh dan mendalam tetapi saya yakin hal ini akan berpengaruh pada pencapaian target partisipasi pemilih yang lebih tinggi daripada pemilu sebelumnya.

Agusliadi Massere, Anggota KPU Kabupaten Bantaeng, Divisi Hukum dan Pengawasan

 

Exit mobile version