Gangguan Jiwa Karena Kurang Iman, Benarkah?

Gangguan Jiwa Karena Kurang Iman, Benarkah?

BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Penanganan gangguan kejiwaan di masyarakat menjadi masalah yang belum terselesaikan dengan semestinya hingga saat ini, baik di level nasional maupun global. Selain itu, masa pandemi Covid-19 juga semakin memperberat penyelesaian masalah kesehatan mental ini.

Itulah salah satu pembahasan menarik yang dikemukakan dalam talkshow interaktif Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung) yang digelar di Auditorium KH Ahmad Dahlan UM Bandung, Rabu 14 Juli 2022.

Acara ini mengangkat tema “Gangguan Jiwa Karena Kurang Iman, Benarkah?” dengan menghadirkan dosen Psikologi UM Bandung Dr Irianti Usman MA sebagai pembicara.

Irianti Usman mengatakan bahwa pada umumnya orang yang mengalami gangguan jiwa akan mengalami fase depresi.

”Jika gejala-gejala depresi sudah berlangsung lama dan menetap sehingga menggangu berbagai aspek kehidupan kita, maka secara general hal tersebut bisa dikatakan kita termasuk kategori orang yang mengalami gangguan kejiwaan,” ucap Irianti Usman.

Irianti Usman lantas mengutip data dari riset Human Rights Watch yang menyebutkan bahwa di Indonesia tercatat ada 57 ribu kasus gangguan jiwa.

Sebanyak 18 ribu orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut dipasung oleh orang-orang sekitar (keluarga atau masyarakat).

Hal tesebut mereka lakukan, tutur Irianti Usman, karena keterbatasn ilmu yang dimiliki mereka. Bahkan mereka menganggap orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut diakibatkan oleh sihir.

Padahal menurut Irianti Usman, dalam psikologi Islam sendiri, psikiater sufi kenamaan Al-Balkhi mengatakan bahwa penyakit jiwa itu nyata adanya, senyata penyakit-penyakit lainnya dan harus ditangani sesuai dengan kategori penyebab dan keparahannya.

Misalnya jika gangguan jiwa disebabkan karena abnormalitas metabolisme, harus mengkonsumsi obat-obatan yang bisa menstabilkan mood atau hormon sang penderita di samping pemberian konseling.

Jika kategori penyebabnya selain dari faktor internal bawaan lahir seperti yang sudah diungkapkan di atas, biasanya bisa ditanggulangi dengan Cognitive Behavioral Therapy (mengubah mindset tentang permasalahan yang dihadapi) atau dengan memberikan konseling saja.

”Kalau ada orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan sudah membahayakan dirinya dan orang lain, jangan dipasung, tetapi langsung koordinasi dengan RT setempat, lalu laporkan ke dinas sosial. Nantinya orang yang mengalami gangguan jiwa itu akan dijemput dan diberikan treatment,” lanjut dosen psikologi ini.

Kepala Pusat Kajian Kepemimpinan dan SDM UM Bandung ini menjelaskan fakta  bahwa orang yang sadar bahwa dia memiliki masalah kejiwaan dan bertekad ingin sembuh lebih cepat dapat dibantu mencapai penanganan yang tepat dibandingkan dengan orang yang mengingkari bahwa dia butuh bantuan psikolog atau psikiater.

“Sebanyak 50 persen kemungkinan sembuhnya sudah ada di situ, kalau enggak sadar, nah itu yang bermasalah,” tandasnya.

Sementara itu pembicara kedua, Novy Yulianty MPsi Psikolog, menjelaskan bahwa orang yang mengalami depresi akan merasa bersalah kalau dikait-kaitkan dengan masalah ibadah.

Dosen Psikologi UM Bandung ini mengungkapkan apabila hal tersebut menimpa orang-orang normal, itu akan menjadi motivasi bagi mereka.

“Namun, untuk orang-orang yang mengalami depresi berat, ketika kita berbicara seperti itu (mengaitkannya dengan ibadah), itu tidak bagus, karena mereka akan semakin drop,” ungkap Novy Yulianty.

Jangan takut minta bantuan

Dosen berkacamata ini lantas menceritakan bahwa dirinya adalah orang dengan gangguan bipolar dan rutin berobat ke psikiater untuk memeriksakan kondisinya.

Hal itulah yang membuat Novy Yulianty ingin terus mengedukasi orang-orang agar tidak takut dan tidak segan mencari bantuan ketika mengalami gangguan kejiwaan.

Setelah orang-orang tahu bahwa dirinya juga mengalami bipolar dan sekaligus mengakui sebagai seorang psikolog, akhirnya orang-orang yang sebelumnya takut datang ke psikiater, mau juga datang ke psikolog atau psikiater.

Terakhir, Novy Yulianty menyampaikan bahwa gangguan kesehatan mental ini bisa menimpa siapa saja dari berbagai kalangan mana pun.

”Siapa pun itu bisa kena, tidak melihat latar belakang pendidikan, tingkat ekonomi, oleh karena itu, jangan pernah takut datang ke psikolog kalau ada gejala gangguan kesehatan mental,” pungkas Novy Yulianty.***(Firman Katon)

Exit mobile version