Bertamu pada Resepsi Pernikahan

Resepsi Pernikahan

Foto Dok Ilustrasi Bridestory

Bertamu pada Resepsi Pernikahan

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Dalam kajian ini diuraikan akhlak bertamu pada resepsi pernikahan, baik yang diseleng­garakan di rumah maupun di gedung. Resepsi pernikahan yang digelar di rumah dalam hal tertentu sama dengan yang digelar di gedung, yakni dilengkapi dengan jamuan. Namun, cara menyajikan jamuan itu tidak selalu sama. Kadang-kadang jamuan pada resepsi pernikahan di rumah diantarkan oleh “sinoman”, tetapi kadang-kadang disajikan dengan cara prasmanan. Di samping itu, resepsi pernikahan di rumah umumnya dilengkapi dengan kursi untuk duduk tamu sehingga tamu dapat makan dan minum sambil duduk.

Sementara itu, pada resepsi pernikahan di gedung jamuan umumnya disajikan dengan cara prasmanan. Pada resepsi pernikahan di gedung sering tidak dlengkapi dengan kursi untuk duduk tamu atau popular dengan istilah standing party.

Sebagai tamu, kita wajib menyesuaikan atau mengikuti ketentuan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Berikut ini dipaparkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.

Berpakaian sesuai dengan ketentuan syar’i dan harmonis (indah)

Setiap orang dapat berpakaian untuk menampilkan diri sebaik-baiknya. Cara berpakaian merupakan satu di antara faktor-faktor penyebab harga diri. Oleh karena itu, kita harus menya­dari  benar-benar mengapa dituntut berpakaian pantas sesuai dengan martabat sebagai mus­lim; tidak sebarang menu­rut selera pribadi.

Orang yang berpakaian rapi dan harmonis biasanya mendapat penghormatan dari orang lain dan dicintai Allah Subhaanahu wa Ta’aala karena Dia suka pada keindahan. Hal ini menimbulkan rasa percaya diri.

Untuk bertamu pada resespi pernikahan, kita mengenakan pakaian luar, yaitu pakaian  yang digunakan di atas pakaian dalam dan lazim dipakai keluar rumah dan menerima tamu. Dalam kajian ini, ada dua macam pakaian yang dipaparkan, yakni pakaian kerja dan pakaian bepergian.

Pakaian kerja dibuat sesuai dengan macam pekerjaan. Di antaranya adalah pakaian bengkel, pakaian guru olahraga, dan pakaian petugas laboratorium. Untuk bertamu pada resepsi pernikahan, baik di rumah maupun di gedung, sebaiknya kita tidak mengenakan pakaian kerja yang demikian. Apalagi, pakaian itu sudah terkena keringat, kotoran atau yang berbau tidak enak yang lain. Pakaian kerja model keki dapat juga jika kita pakai untuk menghadiri resepsi pernikahan jika tidak ada kesempatan berganti pakaian yang lazim untuk menghadiri resepsi pernikahan seperti batik atau lurik.

Salah satu di antara pakaian bepergian adalah pakaian resepsi. Untuk bertamu pada resepsi perni­kahan, perempuan muslim wajib berpakaian yang sesuai dengan standar syar’i dan memenuhi unsur keindahan (dapat memakai kain kebaya atau model gamis), sedangkan lelaki muslim dapat memakai celana panjang dan kemeja (tidak harus batik atau lurik); memakai jas lengkap dasi, atau dapat pula mengenakan pakaian model gamis.

Pakaian yang ketat sehingga lekuk-lekuk tubuh tampak syur kiranya tidak tepat bagi muslimah. Demikian halnya pakaian mini pun tidak pantas. Di samping itu, rias wajah yang menor kiranya ti­dak cocok. Penggunaan aksesori yang berlebihan pun tidak perlu. Islam menganjurkan kese­derhanaan sebagaimana dijelaskan di dalam HR at-Tirmidzi,

“Barangsiapa meninggalkan pakaian (mewah) karena tawadu’ pada Allah, padahal dia mampu melakukannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan para makhluk hingga Dia memberikan hak memilih dari baju iman mana yang ingin dia pakai.”

Berpakaian-baik tidak didasarkan naluri pribadi, tetapi didasarkan terutama norma Islam. Demi keamaan, berhias tidak berlebihan sangat dianjurkan sebab orang yang hadir pada resepsi perni­kahan belum tentu tamu.

Perlu kita pahami dan amalkan bahwa pakaian bertamu untuk keperluan selain resepsi perni­kahan pun tetap memperhatikan kesesuaiannya dengan standar syar’i dan unsur keindahan. Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi kaum lelaki memakai kain sutra dan perhiasan yang terbuat dari emas.

Mengenai pakaian perempuan, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman di dalam Alquran surat al-Ahzab (33): 59,

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan permpuan-perempuan mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh badannya sehingga mereka tidak diganggu (oleh orang jahat). Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berkenaan dengan pakaian, perlu pula kita perhatikan hadis berikut ini.

“Pada hari kiamat Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret kain sarungnya karena sombong.” (Muttafaq ‘alaih)

Frasa menyeret sarung di dalam hadis itu sudah dipahami oleh umat Islam umumnya, yakni di bawah mata kaki. Telah dipahami pula bahwa yang dimaksud sarung di dalam hadis tersebut termasuk juga celana panjang. Dalam hubungan ini, ada dua pemahaman, (1) pemahaman tanpa memper­hatikan frasa karena sombong dan (2) pemahaman dengan memperhatikannya sehingga membolehkan sarung atau celana panjang di bawah mata kaki (isbal) selama tidak dimaksudkan untuk menyom­bongkan diri. Pemahaman yang kedua itu merujuk pada hadis berikut ini,

“Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak melihat kepadanya pada hari kiamat. Abu Bakar berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya sarung saya melorot di bawah mata kaki kecuali kalau saya (tetap) menjaganya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”

Sementara itu, dalam hubungannya dengan pengharaman lelaki memakai emas dan kain sutra,  dijelaskan di dalam hadis, di antaranya, adalah berikut ini.

Diriwayatkan sayidina Ali radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Saya melihat Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil sutra, maka lalu Rasul menaruh sutra itu di sebelah kanannya, dan mengambil emas lalu menaruhnya di sebelah kirinya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya dua benda ini (sutra dan perhiasan emas) itu haram bagi para lelaki dari umatku.” (HR Abu Dan dan Nasa’i).

Mengikuti ketentuan yang diberlakukan

Cukup banyak ketentuan yang perlu ditaati. Di antara ketentuan itu adalah memarkir kendaraan, memasuki dan meninggalkan tempat resepsi, mengantre mengisi daftar hadir, meletakkan tali asih di tempat yang disediakan, mengantre menerima atau mengambil jamuan, dan berfoto bersama pengantin.

Berjabat tangan dan mendoakan pengantin

Jika tidak ada uzur syar’i, kita berjabat tangan dengan penuh kehatangan, baik dengan sahibul hajat maupun pengantin. Lalu, kita mendoakan pengantin dengan doa yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana terdapat di dalam Shahih Sunan Tirmidzi,

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ

“Semoga Allah member­kahimu, semoga engkau mendapat keberkahan, dan semoga Allah mengum­pul­kan kalian berdua di dalam kebaikan.”

Doa yang isi dan lafalnya sama terdapat pula dalam hadis Abu Dawud,  Ahmad, dan ad-Darimi.

(Baca: https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/07/14/logika-dan-kesahihan-doa-untuk-pengantin/)

Duduk di tempat yang disediakan

Jika di VIP,  tetap bersikap sopan dan menyadari bahwa di tempat itu juga ada tamu lain. Jika satu meja dengan tamu lain, bertegur sapa dengan sopan. Jika satu meja dengan tamu yang berbeda agama, kita hormati ketika berdoa akan dan sesudah makan dan minum. Namun, yang lebih penting, kita harus menjadi tamu yang lebih baik daripada mereka. Untuk itu, dalam hal makan dan minum, kita selalu mengikuti tuntunan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam.

Membatasi waktu menikmati jamuan dan perbincangan karena tempat VIP biasanya terbatas. Pasti ada tamu lain yang termasuk tamu VIP. Jika ditempatkan sebagai tamu biasa, tetaplah senang.  Tidak perlu merasa terhina atau kecewa, apalagi melampiaskan perasaan itu kepada sesama tamu atau orang-orang yang membantu sahibul hajat.

Mungkin di tempat VIP kita bertemu dengan mantan anak buah (staf) atau murid yang sukses, bahkan lebih sukses daripada kita. Terhadap mereka, kita wajib hormat. Kita sapa dengan sapaan yang memuliakannya meskipun mereka seketika bertemu langsung menjabat tangan dengan cara mencium tangan kita. Kita tidak perlu mengungkit masa lalunya yang “abu-abu”.

Berhati lapang

Sahibul hajat yang menyelenggarakan resepsi pernikahan di rumah biasanya sudah menyiapkan  sebagian besar keperluan tamu seperti tempat dan petugas parkir kendaraan, daftar hadir tamu, tempat tali asih, “sinoman”, dan juru foto. Namun, belum tentu mereka dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan harapan kita.

Petugas daftar hadir tamu, mungkin sambil bermain gadget-nya atau ngobrol dengan sesama petugas ketika melayani kita. Boleh jadi pula, ada sesama tamu yang main serobot mengisi daftar hadir lebih dulu.

Jika jamuan disajikan secara prasmanan, telah disiapkan tempatnya oleh sahibul hajat, tetapi sangat mungkin petugas kebersihan belum bekerja secara cepat sehingga ada sampah berserakan karena tidak disediakan tempat sampah di tempat strategis bagi tamu. Ada hal lain yang sering terjadi juga, yakni sesama tamu main serobot mengambil piring, sayur, lauk, dll. lebih dulu.

Jika tidak disajikan dengan prasmanan, biasanya jamuan disajikan oleh “sinoman”, tetapi belum tentu mereka memahami bagaimana seharusnya memegang gelas. Sangat mungkin ada di antara mereka yang memegang gelas pada bagian atas (mulut gelas), padahal bagian itu yang digunakan untuk minum oleh tamu.

Tidak tertutup kemungkinan rasa jamuan makan tidak seenak masakan sendiri atau katering lain yang pernah kita nikmati masakannya. Bahkan, mungkin jamuan makan habis, padahal kita belum kebagian. Perlu kita ketahui bahwa di antara sahibul hajat ada yang berprinsip “Jangan sampai sisa” dengan pengertian jangan sampai persediaan lebih banyak daripada tamu yang diundang. Biasanya jamuan yang disiapkan oleh sahibul hajat yang berprinsip demikian tidak cukup. Namun, dapat saja kekurangan itu terjadi karena ulah petugas katering.

Ada sebagian dari mereka yang secara sem­bunyi-sembunyi menyimpan sebagian jamuan. Kekurangan itu dapat juga terjadi karena ada tamu tidak diundang (misalnya tunawisma, pencopet, preman atau yang lain), yang menyamar jadi tamu ikut “nimbrung”. Namun, jamuan makan yang disiapkan oleh sahibul hajat yang berprinsip “Jangan sampai kurang” biasanya cukup. Sahibul hajat ini sudah memperkirakan adanya tamu tidak diun­dang yang hadir untuk “melakukan perbaikan gizi.” Di hati sahibul hajat ini ada niat bersedekah.

Mungkin resepsi pernikahan di rumah diselenggarakan dengan acara yang sangat padat. Kadang-kadang acara itu berlangsung lebih dari dua jam dan hal ini tidak sesuai dengan keinginan kita.

Mungkin sekali ketika kita hampir sampai pada giliran berjabat tangan dengan sahibul hajat, tiba-tiba dihentikan karena tamu di depan kita diminta berfoto bersama pengantin. Dapat terjadi juga karena sahibul hajat adalah mantan anak buah (staf), teman dekat atau tetangga, kita berharap mendapat kesempatan berfoto bersama pengantin dan orang tuanya, tetapi tidak terwujud. Bahkan, mereka dingin-dingin saja menyambut kita.

Jika semua itu terjadi, kita buka pintu maaf selebar-lebarnya. Manfaatkan kesempatan itu untuk “kuliah akhlak” dan mengamalkannya. Kita tetap menjadi tamu yang ber­akhlak mulia.

Makan dan minum sambil duduk; tidak meniup-miup minuman atau makanan

Aprilia Margiastuti dalam artikelnya “Syariat Makan dan Minum dalam Islam: Kajian terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan (Walīmatul ‘Ursy)” yang dimuat di dalam Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016 meneliti hadis yang berisi keterangan tentang cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam makan dan minum. Dia menyimpulkan bahwa  hadis  yang  membolehkan dan hadis yang melarang makan dan minum sambil ber­diri tidak bertentangan karena kedua-duanya mempunyai dasar kesahihannya masing-masing.

Makan dan minum sambil berdiri pernah dilakukan oleh Nabi, tetapi bukan merupakan kebiasaan, melainkan karena se­buah kekhu­susan ketika melakukannya. Dari pene­lusurannya terhadap asbabul wurud hadis-hadis tersebut, dapat di­ketahui bahwa hadis-hadis tersebut muncul ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sedang melaksanakan ibadah haji.

Saat musim haji tiba, kantong-kantong air (bejana) terbuat dari kulit hewan diletakkan  dengan  cara  digantung  di  pintu  gerbang  Kuffah  sehingga situasi yang paling memungkinkan saat itu untuk meminumnya adalah dengan  posisi  berdiri. Di  sisi  lain, saat itu suku-suku bangsa di Arab merupakan bangsa nomaden, yaitu seringnya mereka berpindah-pindah lokasi atau tempat tinggal untuk menggembala ternak-ternak mereka dan mencari sumber air (oase) maupun sumber makanan bagi ternak-ternak  tersebut  sehingga  makan  dan  minum sambil berdiri merupakan suatu hal yang mungkin dilakukan dalam situasi tersebut.

Demikian pula, pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan  masa-masa sering  terjadi pepe­rangan dan masa hijrah sehingga  dapat digambarkan sebagai masa genting atau keadaan  darurat.  Pada situasi dan kondisi tersebut, makan dan minum dilakukan dalam kondisi apa pun, terma­suk dalam posisi berdiri.

Dalam hubungannya dengan larangan makan dan minum sambil berdiri, dijelaskan di dalam HR Muslim,

“Bahwa beliau melarang seorang laki-laki minum sambil berdiri. Qatadah berkata, “Kami bertanya kepada Anas, “Kalau makan?” Dia menjawab, “Itu lebih buruk atau lebih jelek lagi.”

Berkenaan dengan larangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam tersebut, makan dan minum sambil duduk lebih utama. Apalagi, menurut hasil penelitian kesehatan, makan dan minum sambil berdiri tidak baik bagi kesehatan ginjal. Kita tentu memilih cara makan dan minum yang memperoleh keutamaan, yakni sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Agar sahibul hajat pun memperoleh keutamaan, mereka perlu menyadari bahwa menyediakan tempat duduk bagi tamu menjadi bagian dari kewajibannya.

Sementara itu, meniup-niup minuman makruh hukumnya sebagaimana dijelaskaan di dalam HR at-Tirmidzi,

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang meniup minuman, maka seseorang bertanya, “Saya melihat kotoran di dalam bejana.’ Beliau menjawab, ‘Tuangkanlah.’ Dia berkata, ‘Hausku be­lum hilang hanya dengan satu nafas.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu jauhkan gelas dari mulut­mu.”

Meniup-niup minuman atau makanan sering dilakukan ketika orang tua bermaksud membantu anak kecil agar dapat segera dapat minum atau makan. Namun, setelah mengetahui hukumnya, sebaiknya meniup-niup minuman atau makanan tidak lagi dilakukannya agar memperoleh barakah.

Berusaha hadir sesuai dengan undangan

Hal yang sangat membahagiakan sahibul hajat adalah tamu dapat hadir sesuai dengan undangan, baik waktu maupun tempat. Namun, sering ada kendala di luar rencana kita sehingga terpaksa hadir tidak sesuai dengan undangan.

Jika tidak dapat hadir sesuai dengan undangan, kita perlu memberitahukan dan mengemukakan alas­an misalnya pada waktu yang sama memperoleh undangan lebih dari satu dan di tempat yang berjauhan. Tambahan lagi, satu di antara undangan itu berasal dari keluarga atau tetangga dekat atau alasan lain yang syar’i.

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version