Filosofi Burung Pipit dan Kesuksesan Pemilu
Oleh: Agusliadi Massere
Pemilu Serentak tahun 2024, telah disepakati dan ditetapkan akan dilaksanakan pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Defenisi pemilu menurut para ahli sangat banyak, salah satunya dari Ramlan Subakti (dalam Syarifuddin Jurdi, 2020), adalah “Mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan dari rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wakil Presiden, dan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk membuat dan melaksanakan perubahan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat”.
Defenisi di atas, itu hanya satu di antara tiga defenisi yang diungkapkan oleh Ramlan. Khususnya bagi penyelenggara pemilu, pasti memahami bahwa defenisi dari Ramlan di atas mencakup objek atau lingkup pelaksanaan dari apa yang dimaknai sebagai “Pemilihan”.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ditegaskan bahwa “Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1994. Jika memahami dari Syarifuddin Jurdi, defenisi pemilu dari undang-undang pemilu yang satu ke undang-undang pemilu yang terakhir ini, secara substansial memiliki kesamaan, meskipun ada perbedaan dalam penegasannya.
Pemilu sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan demokrasi atau negara yang menganut sistem demokrasi, jika dipahami secara mendalam adalah tanggungjawab bersama apapun posisi dan perannya. Saya, sebagaimana dalam beberapa tulisan-tulisan sebelumnya, sering memberikan pemaknaan dan pengandaian progresif terkait relasi antara Pemilu, demokrasi, Indonesia, dan pemilih-berdaulat sebagai derivasi dari kedaulatan rakyat.
Indonesia, saya maknai dan memberikan pengandaian progresif sebagai “kapal kebangsaan”, yang tentunya harus berlayar menuju pulau harapan, minimal sebagaimana cita-cita dan tujuan nasionalnya yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Rakyat tanpa kecuali yang berstatus pemilih (bahkan memiliki peran strategis) adalah pemilik dan sekaligus bagian yang berada dalam kapal-kebangsaan tersebut.
Pemilu, bisa pula diandaikan sebagai memontum terbaik dan strategis untuk memilih aktor-aktor yang akan menakhodai kapal-kebangsaan tersebut. Keliru dalam memilih, sama saja membiarkan kapal-kebangsaan yang menjadi milik kita (baca: rakyat) dinakhodai/dijalankan dengan arah yang tidak jelas, dan siap menerima resiko sebagai konsekuensi logisnya, ketika kapalnya tenggelam atau minimal oleng, padahal kita pun ada di dalamnya.
Atas dasar pemikiran atau pandangan di atas, maka kesuksesan Pemilu seharusnya menjadi harapan dan tanggungjawab bersama seluruh rakyat Indonesia. Indikator kesuksesan Pemilu, minimal disematkan dalam penamaan “berintegritas” dan “berkualitas”. Kesuksesan Pemilu yang idealnya menjadi harapan dan tanggungjawab seluruh komponen bangsa, maka semestinya semua harus mengambil dan menjalankan peran sesuai tugas, fungsi, dan posisinya masing-masing.
Menurut saya, kurang lebih harapan dan kesadaran inilah, sehingga pada Rapat Koordinasi KPU Kabupaten Bantaeng,—yang dihadiri oleh jajaran Forkompinda Kabupaten Bantaeng, pimpinan partai politik, OPD, para camat, kepala desa/kelurahan, termasuk dari unsur APDESI—Uslimin sebagai salah satu pimpinan atau anggota KPU Provinsi Sulawesi Selatan, menegaskan agar bisa mengambil peran minimal seperti “Burung Pipit”. Seketika, pada saat itu, saya menyampaikan ketertarikan untuk membuat tulisannya, sebagaimana judul di atas, yaitu “Filosofi Burung Pipit dan Kesuksesan Pemilu”.
Mengapa harus dengan burung pipit? Dan apa filosofi yang bisa diambil dari burung pipit yang bisa direlasikan dengan kesuksesan pemilu? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya menegaskan terlebih dahulu, bahwa dengan penuh pemahaman dan kesadaran, ada satu filosofi burung pipit yang tidak tepat untuk diterapkan khususnya bagi penyelenggara pemilu, tanpa kecuali peserta pemilu. Mengapa filosofi tersebut tidak tepat diterapkan khususnya bagi penyelenggara pemilu? Penyelenggara pemilu dituntut untuk berintegritas dan profesional, serta bekerja penuh waktu.
Berdasarkan Wikipedia, pipit adalah nama umum bagi sekelompok burung kecil pemakan biji-bijian yang menyebar di wilayah tropis Dunia Lama dan Australasia. Ada beberapa jenis burung pipit, termasuk warna-warni bulunya cukup bervariasi. Hanya saja tulisan ini, tidak sedang diorientasikan untuk menguraikan secara detail terkiat ciri-cirinya, melainkan filosofi yang bisa diambil darinya.
Ada dua filosofi yang bisa diambil dari burung pipit dan bisa diinternalisasikan ke dalam konteks pelaksanaan pemilu, terutama dalam pencapaian kesuksesan pemilu. Filosofi pertama, burung pipit itu senang berkelompok, dan sering terlihat bergerak dan mencari makanan dalam gerombolan yang cukup besar/banyak. Filosofi kedua, kaitannya peran yang diambil, sebagaimana kisah dalam tradisi Islam, ketika nabi Ibrahim as dibakar oleh Raja Namrud.
Filosofi pertama, bagaimana karakter dan kebiasaan burung pipit, idealnya dikontekstualisasikan dalam pelaksanaan pemilu terutama untuk mencapai kesuksesan. Caranya dengan membangun kolaborasi dari setiap stakeholders. Bahkan, bagi seluruh komponen bangsa harus mampu membangun relasi, sinergi, dan integralitas untuk menyukseskan pemilu.
Kesuksesan Pemilu, idealnya jangan hanya dipandang dan diserahkan sepenuhnya sebagai tanggungjawab penyelenggara pemilu dan peserta pemilu semata. Kesuksesan pemilu, harus menjadi harapan dan tanggungjawab bersama, tanpa kecuali pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Mengapa? Pemilu akan menentukan nakhoda kapal-kebangsaan, yang selanjutnya memegang kendali strategis yang akan menentukan arah perjalanan kapal-kebangsaan ini.
Jika pelaksanan pemilu keliru atau hasilnya tidak sesuai harapan, maka kita, minimal akan merasakan kerugian sebagai pemilik dan yang menjadi bagian dalam kapal-kebangsaan tersebut. Ilustrasi lain, bahwa melalui pemilu, akan ditentukan siapa yang akan menakhodai kapal-kebangsaan yang bernama Indonesia itu, dan menjadi penentu masa depan serta nasib seluruh komponen bangsa.
Filosofi kedua, terkait peran burung pipit dalam upaya menyelamatkan atau memadamkan kobaran api yang akan membakar tubuh nabi Ibrahim. Secara logika, peran yang dijalankan oleh burung pipit mustahil akan mampu memadamkan kobaran api tersebut. Bahkan peran atau tindakan yang diambil oleh burung pipit, dicibiri oleh burung lainnya karena dipandang sebagai perbuatan yang sia-sia saja. Meskipun pada faktanya seperti itu dan secara logika benar adanya, namun burung pipit tetap pada pendirian, peran, sikap dan tindakannya untuk terus berupaya memadamkan api.
Burung pipit berupaya memadamkan kobaran api yang akan membakar nabi Ibrahim dengan cara, terbang ke sungai untuk kemudian dengan paruhnya yang kecil mengambil air, lalu kemudian membawanya ke atas api tersebut dan menyemprotkannya. Tentu saja, semprotan air dari burung pipit tersebut, dipandang sia-sia, ketimbang kobaran api yang amat besar dan meluas. Prinsip burung pipit ketika mendengar cibiran burung dan binatang lainnya, bahwa minimal dengan sikap dan tindakannya tersebut menunjukkan ketegasan, upaya, dan keberpihakannya pada sesuatu yang baik dan diridhoi Allah.
Filosofi kedua ini, sekali lagi saya tegaskan tidak tepat untuk diterapkan bagi penyelenggara pemilu dalam rangka menyukseskan pemilu. Penyelenggara pemilu dituntut untuk berintegritas, profesional, bekerja penuh waktu dan bahkan menjadi tanggungjawab utamanya. Setiap memasuki tahapan, maka pola kerjanya berubah, yang awalnya berdasarkan hari kerja, menjadi berdasarkan hari kalender.
Filosofi kedua ini minimal—meskipun jika berangkat dari pemahaman mendalam dan kesadaran tinggi akan konsepsi “pemilih berdaulat” (sebagai derivasi dari kedaulatan rakyat) atau “pemilik kapal-kebangsaan” tidak tepat juga bagi pemilih dan/atau masyarakat,—tetapi jika tidak bisa mengambil peran maksimal untuk menyukseskan pemilu, minimal bersikap dan berbuat seperti burung pipit. Meskipun sederhana peran yang dipilih, diambil, dan dilakukan tetapi menunjukkan kejelasan, ketegasan, dan keberpihakannya kepada urgensi dan signifikansi pemilu dan demokrasi.
Peran, sikap, dan tindakan sederhana pun jika mengikuti dan memahami perspektif busur dua derajat Syahril Syam—seorang pakar pengembangan diri dan/atau mind programmer—kelak akan memberikan dampak atau konsekuensi logis yang sangat terasa. Baik yang bersifat posifit maupun negatif, dalam perspektif busur dua derajat ini, dalam jangka waktu yang cukup lama, akan memberikan dampak yang sangat terasa. Meskipun, tulisan ini, tidak cukup menjadi ruang untuk menjelaskan secara detail terkait perspektif Syahril tersebut, tetapi dalam bebereapa tulisan lainnya, saya pernah menuliskannya sedikit lebih detail.
Jadi peran, sikap, tindakan, partisipasi masyarakat pun sangat diperlukan dalam upaya menyuksesakan pemilu. Partisipasi masyarakat dalam pemilu, jika merujuk pada konstitusi negara dan sejumlah regulasi yang ada, tidak terdapat frasa “wajib” sehingga tidak ada paksaan tanpa kecuali dalam memberikan pilihannya atau menyalurkan hak-suaranya. Namun, masyarakat yang memahami dan memiliki kesadaran akan konsepsi “pemilih berdaulat” dan/atau “kedaulatan rakyat” maka dirinya, idealnya mengambil dan menjalankan peran meskipun hanya seperti “burung pipit” tersebut.
Serendah-rendahnya peran dalam menyukseskan pemilu, adalah dengan cara mendatangi TPS pada hari Rabu, 14 Februari 2024 yang akan datang untuk memberikan pilihan atau menyalurkan hak suaranya. Harapan saya dan kami semua selaku penyelenggara pemilu, masyarakat seharusnya mengambil dan menjalankan pula peran maksimal dalam upaya menyukseskan pemilu, melampaui dari sekadar filosofi burung-pipit tersebut. Masyarakat yang telah bersyarat atau telah memiliki hak memilih harus cerdas dalam memilih, dan proaktif dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Mari kita senantiasa merenungkan dan mengingat, Indonesia yang diandaikan sebagai kapal-kebangsaan adalah milik kita semua, dan kita menjadi bagian di dalamnya. Keliru atau salah memilih nakhodai, maka berpotensi kapal ini salah arah atau kita akan tenggelam bersama di dalamnya. Tidak ada pilihan lain, marilah kita menjadi pemilih berdaulat, dengan cara menjadi pemilih yang cerdas dan proaktif dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023